tirto.id - Baru-baru ini, Transparency International mengeluarkan laporan indeks Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) terbarunya, yang mengukur persepsi di sektor publik di sebuah negara. Indeks yang melibatkan 180 negara ini dihitung menggunakan skala 0 (korupsi yang tinggi) hingga 100 (korupsi yang rendah). Semakin tinggi nilai persepsi korupsi sebuah negara, artinya semakin rendah pula korupsi terjadi di negara tersebut.
Skor IPK Indonesia sendiri, di indeks tersebut, mengalami kenaikan tiga poin menjadi 37 pada tahun 2024, dari sebelumnya stagnan di 34 sejak 2022-2023. Dengan skor tersebut, Indonesia memegang ranking 99 dari 180 negara.
Skor IPK Indonesia juga setara dengan beberapa negara di indeks tersebut, yakni Argentina, Ethiopia, Maroko, dan Lesotho. Sementara itu, Indonesia unggul dari beberapa negara ASEAN seperti Thailand (34), Laos (33), Filipina (33), Kamboja (21), dan Myanmar (16). Akan tetapi, Indonesia berada di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Vietnam (40), Timor Leste (44), Malaysia (50), dan Singapura (84).
“Yang pertama memang indeks persepsi korupsi kita 37 dari 100, artinya tetap masih merupakan negara yang korup ya. Kita masih berada di bawah rata-rata global ya di angka 43,” ujar peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, kepada Tirto, Rabu (12/1/2025).
Kenaikan skor IPK Indonesia seolah menjadi "kenaikan semu", mengingat masalah korupsi yang masih merajalela di sektor publik.
Bahkan jika ditarik ke belakang, skor IPK 37 ini masih di bawah angka pada 2021 lalu ketika skor IPK Indonesia berada di angka 38. Bahkan, Indonesia sempat menyentuh skor 40 di tahun 2019.
“Angka kita ini sama persis dengan angka di tahun 2020 yaitu 37,” imbuh Zaenur.
Terkait skor IPK Indonesia yang mencapai 40 di tahun 2019, hal itu wajar, kata Zaenur, karena pada saat itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang garang-garangnya dan masih cukup independen. Setelah 2019, terjadi penurunan drastis pada skor IPK Indonesia setelah revisi Undang-Undang KPK.
Perlu diketahui, terdapat sembilan indikator yang digunakan Transparency International dalam menyusun IPK. Indonesia mengalami kenaikan skor di lima indikator, yakni IMD World Competitiveness Yearbook (IMD) naik lima poin menjadi 45; Bertelsmann Foundation Transform Index (BFTI) naik dua poin menjadi 39; PERC Asia Risk Guide (PERC) naik 10 poin menjadi 38; PRS International Country Risk Guide (PRS) naik satu poin menjadi 33; dan World Justice Project - Rule of Law Index (WJP) naik dua poin menjadi 26.
Sedangkan, terdapat tiga indikator yang mengalami penurunan skor, yakni Economist Intelligence Unit Country Ratings (EIU) turun dua poin menjadi 35; Global Insight Country Risk Ratings (GIC) turun lima poin menjadi 32; dan Varieties of Democracy Project (VDP) turun tiga poin menjadi 22. Namun, yang mengejutkan, satu indikator yang pada tahun sebelum nya absen, kini kembali hadir, yaitu World Economic Forum EOS (WEF) 2024 dengan skor 61.
Kembalinya WEF dalam indikator IPK 2024 berdampak positif pada kenaikan skor IPK Indonesia. WEF kembali dengan angka yang sangat signifikan, bahkan jauh meningkat jika dibanding pada tahun 2021 sebesar 53 dan 2020 sebesar 46. Tanpa kehadiran WEF, skor IPK Indonesia belum tentu berada pada posisi sekarang.
“Perlu dicatat bahwa salah satu faktor kenaikan skor CPI 2024 ini dikarenakan indikator World Economic Forum yang kembali hadir setelah dua tahun absen sebagai indikator dalam CPI di Indonesia.” ungkap Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Wawan Suyatmiko, dalam keterangannya, Rabu (12/2/2025).
WEF adalah indikator yang mengukur tentang seberapa wajar bagi perusahaan untuk melakukan pembayaran tambahan atau suap yang tidak tercatat terkait impor-ekspor, utilitas publik, pembayaran pajak tahunan, pemberian kontrak dan lisensi publik, serta memperoleh keputusan pengadilan yang menguntungkan. Dengan skala asli 1-7, di mana 1 sangat biasa dan 7 tidak pernah.
Pada 2022 dan 2023, WEF tidak memasukkan sejumlah negara karena mereka tidak mendapatkan tanggapan yang cukup untuk survei dan karena ada kekhawatiran mengenai kualitas data. Ada 39 negara yang tidak ikut dalam survei tahun tersebut dan salah satunya adalah Indonesia. Absennya WEF dalam penilaian IPK 2022 dan 2023 diduga menyebabkan skor IPK Indonesia pada tahun tersebut merosot.
Di sisi lainnya, Zaenur Rohman ikut menyoroti dua indikator yang menyebabkan skor rendah. Dua diantaranya adalah World Justice Project - Rule of Law Index (WJP) yang hanya mendapat skor 26 meski terbilang naik dan Varieties of Democracy Project (VDP) turun tiga poin menjadi 22.
“Demokrasi projek ini mengalami penurunan karena memang demokrasi kita itu hancur-hancuran. Etik tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam politik. Prinsip-prinsip demokrasi dikesampingkan dan seterusnya gitu,” kata Zaenur.
Maka, untuk perbaikan ke depan lanjut Zaenur, pemerintah bisa fokus pada dua yang paling rendah yaitu indeks demokrasi dan indeks penegakan hukum. Solusinya pertama adalah sehatkan demokrasi dengan memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi, menghormati konstitusi, menjaga prinsip-prinsip negara hukum.
Kedua adalah penegakan hukum. Penegakan hukum ini bisa dilakukan dengan cara pemerintah kembalikan independensi KPK, berantas korupsi dengan sungguh-sungguh, reformasi institusi penegak hukum, serta kepastian hukum.
“Itu yang paling penting,” imbuh dia.
Butuh Komitmen Serius Pemberantasan Korupsi
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menilai kenaikan skor IPK Indonesia dari 34 ke 37 seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah untuk melakukan tindakan yang lebih serius untuk menunjukkan realisasi komitmen pemberantasan korupsi.
Di satu sisi, kenaikan skor ini adalah momentum positif bagi pemerintah. Akan tetapi, pada sisi lain, indikator demokrasi, yang jadi salah satu komponen penilaian CPI, mengalami penurunan. Kemudian, upaya pemberantasan korupsi yang belum konkret menjadi hal yang perlu dituntaskan secara serius.
“Jadi nilai ini bukanlah suatu pencapaian yang patut dibanggakan, karena apabila dibandingkan dengan skor 10 tahun lalu, maka kenaikannya hanya 1 angka. Ini menunjukan daya rusak yang luar biasa pada 10 tahun terakhir, sehingga membutuhkan upaya luar biasa untuk memperbaikinya,” jelas Lakso kepada Tirto, Rabu (12/2/2025).
Setidaknya, kata Lakso, momentum ini harus digunakan Presiden Prabowo secara tepat melalui penanganan sektor prioritas secara serius. Potensi program yang melibatkan nilai signifikan, seperti Makan Bergizi Gratis, menjadi titik krusial yang berpotensi menjadi korupsi apabila tidak dikawal secara serius.
Selain itu, indikasi demokrasi yang menurun dalam IPK ini menunjukkan, demokrasi tetap merupakan prasyarat penting yang harus direalisasikan dalam perlindungan kebebasan masyarakat sipil serta penguatan lembaga antikorupsi. Penuntasan kasus korupsi secara konsisten masih jadi pekerjaan rumah pemerintah.
“Momentum ini soal ujian bagi presiden ditengah berbagai kritikan kinerja 100 hari yang mencatatkan berbagai blunder termasuk soal isu korupsi,” kata dia.
Sementara itu, mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, menilai IPK 37 tentu akan menjadi legasi Jokowi dan menjadi pijakan pemerintahan Prabowo ke depannya.
Mengingat pemberantasan korupsi adalah salah satu asta cita pemerintahan Prabowo, ke depannya, pemerintah diharapkan melakukan pencegahan korupsi di segala bidang, untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan mencegah adanya kebocoran, kata Yudi.
Kedua, pemerintah juga perlu melakukan perbaikan sistem dan digitalisasi, yang mempermudah pelayanan kepada masyarakat dan pelaku bisnis, termasuk investor asing. Ketiga, pemerintah juga perlu melakukan perbaikan kehidupan kebebasan berdemokrasi yang berpihak kepada rakyat.
Keempat, pemerintah juga perlu melakukan penindakan pelaku korupsi dan pengungkapan kasus-kasus korupsi besar, dengan memaksimalkan pemulihan aset-aset yang dikorupsi. Terakhir, pemerintah juga perlu menyusun regulasi hukum yang menjamin kepastian penegakan hukum yang independen.
“Kenaikan indeks persepsi korupsi ini harus dibaca sebagai optimisme terhadap pemerintahan baru sebagai keberlanjutan, namun jangan melupakan hal yang sangat penting ketika berbicara korupsi, yaitu KPK yang independen dan pengesahan perampasan aset,” jelas Yudi kepada Tirto, Rabu (12/2/2025).
Selain itu, Yudi juga berharap dengan pembentukan Korps Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) di badan Polri, ditambah Kejaksaan Agung yang semakin menggeliat menangani kasus korupsi, maka ia berharap, ke depannya, skor IPK Indonesia akan semakin naik. Bahkan, mungkin hingga skornya kembali 40 seperti 2019 lalu, pungkasnya.
Editor: Farida Susanty