tirto.id - Asep Setia (49) buru-buru mengurus KTP baru di kelurahan setelah kawannya, Bonnie Nugraha Permana, menjadi penghayat Jawa Barat pertama yang memegang kartu identitas berkolom "kepercayaan", bukan lagi "agama" seperti warga negara lain.
Mereka berdua sama-sama pengurus Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kota Bandung, organisasi tempat berhimpun para penghayat.
"Pas Kang Bonnie kasih tahu kalau KTP-nya sudah jadi, besoknya saya langsung urus punya istri dan saya ke kelurahan," kata Asep kepada reporter Tirto di rumahnya di kawasan Dago, Bandung, Selasa (26/2/2019).
Bonnie sendiri berupaya mengubah status "agama" jadi "kepercayaan" di KTP sejak Agustus 2018, tapi baru membuahkan hasil pada 12 Februari 2019. Dia dapat tiga KTP sekaligus: untuk dirinya sendiri, anak, dan istri.
Di KTP tersebut tertulis: "Kepercayaan: Kepercayaan terhadap Tuhan YME."
Memang tak disebut detail kepercayaannya apa, tidak seperti kolom agama yang spesifik. Tapi bagi mereka itu bukan masalah berarti. Setidaknya demikian menurut Bonnie dalam wawancara dengan Tirto, 22 Februari lalu.
"Kami yang tergabung dalam Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia sudah menyepakati tidak perlu ditulis spesifik dengan kepercayaan kami," katanya.
Asep pun merasakan hal serupa. Bagi dia perubahan status itu adalah kemajuan. Mengubah kolom "agama" jadi "kepercayaan" adalah pengakuan negara terhadap eksistensi aliran kepercayaan.
"Itu lebih baik daripada sebelumnya," kata Asep.
Sebelumnya, para penghayat hanya dibolehkan mengosongkan kolom agama atau mengikuti satu dari enam agama resmi. Bagi para penghayat, kedua pilihan tersebut sangat diskriminatif.
Selama ini Asep selalu mengosongkan kolom agama di KTP. Bahkan dia mengosongkannya sejak sebelum UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memang membolehkan itu disahkan.
"Hal seperti itu bukan keluarga saya saja, tapi ada juga di beberapa wilayah lain. Cuma yang pasti, yang melakukan itu biasanya penghayat yang benar-benar murni," imbuh Asep.
Baginya, mengosongkan kolom agama adalah bagian dalam memperjuangkan hak-hak penghayat, meski itu merugikan dia sendiri.
Asep punya cerita soal itu. Saat menikahi istrinya, Rela Susanti, pada 2000, pernikahannya tak dicatat oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) lantaran kolom agama di KTP Asep kosong.
Asep lantas menggugat Kepala Disdukcapil Kota Bandung. Dan menang, baik di tingkat pertama di PTUN Bandung atau PTTUN Jakarta, ketika Disdukcapil menolak putusan PTUN dan memilih kasasi.
Sanksi dijatuhkan. Disdukcapil diharuskan mencatatkan pernikahan Asep.
"Tugas negara hanya mencatat. Hanya mencatatkan saja negara enggak mau karena dianggap kepercayaan bukan agama," kata Asep kesal.
Rintangan sebagai penghayat yang mengosongkan kolom agama di KTP toh tak berhenti sampai di situ. Anak sulung Asep lahir saat ia belum memenangkan gugatan terhadap Disdukcapil. Akibatnya, dalam akta kelahiran si anak, nama Asep tak dicantumkan.
Harapan sempat datang saat UU nomor 23 tahun 2006 disahkan.Soalnya dalam aturan itu, terutama Pasal 61 ayat 1, disebutkan bahwa "keterangan mengenai kolom agama… bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan… atau bagi penghayat kepercayaan, tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan."
Alih-alih diubah, akta kelahiran si anak sekadar ditambah catatan pinggir yang berisi keterangan kalau Asep adalah bapaknya.
Rintangan tetap berdatangan setelah pengosongan kolom agama di KTP dibolehkan. Stigma negatif pun terus mengelilinginya.
"Ini maksudnya agama strip (-) di KTP, tuh, apakah ateis, tak punya agama, apa PKI?" imbuh Asep menirukan suara-suara sumbang banyak orang.
Masih Was-Was
Meski membawa angin segar, pencantuman kolom kepercayaan bukanlah hal yang semula diinginkan para penghayat, klaim Asep. Dia bilang, harusnya kolom bertuliskan "agama" tak usah diganti jadi "kepercayaan" seperti sekarang. Cukup isinya saja yang disesuaikan.
Kata "agama" diganti jadi "kepercayaan", kata Asep, karena usul dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tergabung dalam forum musyawarah lintas agama bentukan Kementerian Dalam Negeri.
Forum ini dibentuk untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan para penghayat bisa mencantumkan aliran kepercayaannya di KTP.
MUI menilai aliran kepercayaan tak bisa ditulis di kolom agama.
"Kami tidak mau [aliran kepercayaan] disejajarkan dengan agama," ujar Asep, menirukan perwakilan MUI yang datang saat itu. MUI lalu menawarkan usulan untuk mengganti redaksi "agama" menjadi "kepercayaan".
Usul itu kemudian disepakati dan diimplementasikan sekarang.
"Bukannya mengubah redaksional di KTP. Kalau keputusan MK agama sejajar dengan kepercayaan, artinya tinggal dimasukkan saja di kolom agama: Kepercayaan terhadap Tuhan YME," imbuh Asep.
Pada akhirnya Asep hanya bisa pasrah. Dia merasa masih akan mendapatkan diskriminasi karena KTP-nya (jika sudah keluar) bagaimanapun beda dengan kartu penduduk lain, meski mungkin tak sesulit dulu untuk mengurusi berbagai hal administratif.
"Kami sementara ini gimana, ya, mau menolak susah lagi. Kami terima aja," Asep menandaskan.
Penulis: Mulia Ramdhan Fauzani
Editor: Rio Apinino