tirto.id - Tiga tahun lalu, Haya Bint al-Hussein, anak perempuan mantan Raja Yordania, menyatakan kepada wartawan BBC bahwa ia begitu mengagumi suaminya Sheikh Mohammed bin Rashid al Maktoum, penguasa Dubai yang disebut-sebut berpandangan progresif. Ia merasa menjadi perempuan beruntung karena bisa hidup berdampingan dengan Sheikh Mohammed.
Tapi, pendapat itu kini berubah. Pada pertengahan 2019, Haya yang merupakan isteri keenam sang Raja, pergi dari Dubai untuk mencari suaka di Jerman. Upaya itu gagal, tapi Haya enggan kembali ke Dubai. Ia akhirnya menetap di London, kota tempat tinggalnya sejak kecil hingga sebelum jadi permaisuri Dubai.
Pada Juli lalu, Haya mendatangi pengadilan tinggi London untuk meminta perlindungan hukum dari aksi kekerasan dalam pernikahan, tindak pelecehan seksual, dan perlindungan anak.
Hal itu ia lakukan setelah mendengar kabar soal Sheikha Latifa--anak perempuan Sheikh Mohammed dari istri yang lain--yang mengaku telah jadi korban kekerasan domestik. Ia menyatakan disiksa secara fisik dan dilarang bekerja, belajar, hingga tak boleh keluar rumah.
Latifa pun berniat kabur dari negaranya demi kehidupan yang lebih manusiawi. Sayangnya niatan itu selalu gagal terwujud. Sang ayah senantiasa sukses menangkap Latifa dan mengurungnya kembali di dalam rumah.
Upaya kabur pertama dilakukan saat usia Latifa masih 16 tahun. Setelah tertangkap, ia ditahan selama tiga tahun dan kerap mendapat siksaan fisik maupun mental. “Para pengawal bilang bahwa Sheik Mohammed memerintah mereka untuk menyiksa Latifa sampai mati,” tulis Guardian.
Tahun lalu, Latifa yang telah berusia 33 tahun, mencoba kabur ke AS. Ia mengatur rencana pelarian diri selama enam bulan dan awalnya ia menjalani rencana dengan sukacita. “Untuk pertama kalinya aku bisa duduk di kursi depan saat naik mobil,” tutur Latifa.
Rencana pelarian itu gagal ketika Latifa tertangkap saat berlayar di kawasan perairan India. Insider melaporkan bahwa sejak penangkapan itu, sudah tidak ada kabar lagi soal Latifa. Kabar yang beredar hanya sebatas kepulangannya ke Dubai.
Kini Latifa tinggal di Dubai. Menurut catatan Guardian, ia mengalami gangguan psikologis.
Hak Perempuan UEA
Di antara negara-negara teluk lainnya, terutama Saudi, Uni Emirat Arab (UEA) dipandang sebagai negara yang lebih modern dari segi infrastruktur dan tata kelola ekonomi. Pada 2010, International Federation for Human Rights melansir laporan yang menyebut bahwa sekitar 80 persen penduduk UEA adalah pekerja tamu yang berasal dari banyak negara, termasuk Inggris dan AS.
Di samping itu UEA juga terobsesi mendapat predikat baik dalam ranah internasional. Pemerintah setempat tak segan-segan memasang target bahwa pada 2030 UEA akan jadi negara yang memaksimalkan peran perempuan dalam program pemberdayaan sosial. Studi "Signalling for Status: UAE and Women’s Rights" oleh Vania Carvalho Pinto yang terbit di jurnal Contexto Internacional edisi Mei/Agustus 2019 bahkan mencatat pemerintah UEA berambisi menjadi "negara terbaik" di dunia pada 2071.
Salah satu cara yang ditempuh pemerintah UEA menetapkan beberapa kebijakan yang pro-perempuan, misalnya menempatkan perempuan dalam parlemen sejak 2006 dengan delapan anggota. Kebijakan semacam itu membuat mereka berani mengklaim sebagai pionir pemberdayaan perempuan di kawasan Arab.
Menurut laporan Gulf News pada 8 Oktober lalu, parlemen UEA mensahkan Piagam Arab untuk Hak Perempuan, dasar hukum pertama yang menjamin pemberdayaan perempuan.
Shaikha Fatima Bint Mubarak, kepala General Women’s Union (GWU) menyatakan piagam tersebut memuat aturan-aturan yang mendudukkan perempuan dalam tanggungjawab memerangi idiologi ekstrem, intoleransi, kekerasan, ketimpangan peran dalam keluarga, dan berbagai hal lain yang bisa mengancam stabilitas sosial serta pelaksanaan ajaran agama, dan nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat Arab.
Piagam itu menyatakan bahwa perempuan berhak untuk “berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, pembentukan dan penerapan kebijakan, pemberian suara dalam pemilu, ikut serta jadi anggota legislatif, terlibat dalam institusi pemerintah dan non-pemerintah yang berkaitan dengan ranah politik dan sosial, mendapat akses ke institusi pendidikan sesuai keinginan, memperjuangkan keilmuan dalam segala bidang termasuk sastra dan ilmu pendidikan.”
Piagam juga memuat berbagai aturan yang melindungi perempuan dari tindakan kekerasan seperti pemerkosaan, eksploitasi yang mungkin terjadi dalam berbagai kondisi darurat seperti perang, dan berbagai perilaku yang melecehkan perempuan.
“Dokumen tersebut juga hendak menjamin perempuan bisa mendapat kesempatan kerja dan penghasilan yang sama dengan pria serta jaminan sosial seperti dana pensiun, asuransi kesehatan, dan lingkungan kerja yang layak,” demikian tulis Gulf News.
Aturan-aturan tersebut gencar disuarakan karena pemerintah dan warga UEA sempat (atau bisa jadi pula masih) memperlakukan perempuan dengan tidak adil.
UEA masih memberlakukan hukum syariah yang melanggengkan praktik perwalian laki-laki (male guardianship).
Dalam kehidupan sehari-hari, pria berhak melarang perempuan keluar rumah, berwisata ke luar negeri, berobat, belajar, bekerja, dan menikah dengan orang yang dikehendaki. Bila tidak mematuhi aturan tersebut, mereka dianggap telah melanggar hukum dan berhak mendapat sangsi. Perempuan diwajibkan mematuhi segala perkataan pasangannya, mengurus rumah, dan membesarkan anak.
Di luar kasus Latifa, belum ada data resmi terkait jumlah korban kekerasan domestik di negara tersebut.
“Perempuan biasanya enggan melapor kejadian kekerasan dan polisi cenderung menolak melindungi perempuan yang mengalami kekerasan lantaran hal tersebut dianggap urusan pribadi keluarga. Di samping itu, mereka takut dihukum karena dinilai mempermalukan keluarga,” demikian tulis Pinto.
Salah satu kasus kekerasan domestik yang terjadi adalah pemerkosaan dalam pernikahan. Tapi di UEA, pemerkosaan dalam pernikahan belum dikategorikan sebagai kekerasan.
Di tengah kasus kekerasan domestik yang masih ditutup-tutupi, sang raja ternyata percaya diri untuk memberi penghargaan kepada beberapa menterinya yang dinilai telah memperjuangkan kesetaraan gender. Guardian mengabarkan bahwa penghargaan ini menuai kritik di media sosial lantaran diberikan pada menteri laki-laki.
Layaknya di Saudi
Kasus-kasus perempuan yang hendak melarikan diri dari negaranya banyak terjadi di Saudi. Tempat di mana praktik perwalian laki-laki terhadap perempuan--yang biasanya dilakukan oleh ayah, suami, atau saudara laki-laki--masih berlaku sampai sekarang.
Muhammad bin Salman al Saud, putra mahkota Saudi sejak 2015, selama ini memberikan kesan mendukung kebebasan perempuan dengan membuat kebijakan seperti memperbolehkan perempuan menyetir dan mengizinkan perempuan Saudi bepergian ke luar negeri. Kebijakan-kebijakan itu membuatnya dipandang sebagai pangeran yang moderat.
Tapi upaya itu tidak cukup. Sepanjang 2019, masih mendengar kabar tentang pelbagai upaya pencarian suaka yang dilakukan perempuan Saudi.
Januari lalu Aljazeera memberitakan pengakuan Nojoud al Mandeel yang dipukul dan dibakar ayahnya. Najoud berusaha kabur dengan cara melompat dari jendela kamar menuju kolam renang tetangganya.
Sebulan setelahnya, Radio France Internationale (RFI) menuliskan kisah Julia (bukan nama sebenarnya) yang nyaris diperkosa suaminya. “Dia membiarkanku kelaparan karena aku tidak mau tidur dengannya,” katanya kepada RFI.
Julia yang berusia 27 tahun dipaksa menikah dengan pria berusia kepala enam. Ia memberanikan diri kabur kala sang suami mengajaknya berlibur ke Prancis. Ketika mendarat di bandara, Julia langsung meminta pertolongan ke petugas bandara. “Aku pencari suaka,” katanya kepada para petugas.
Para petugas bandara di Perancis maklum belaka dengan tindakan Julia. Bandara adalah tempat yang kerap jadi lokasi para pencari suaka untuk beraksi. Para petugas pun telah mendapat pelatihan soal cara menangani orang-orang seperti Julia. Kini, setelah diperkenankan untuk tinggal di Perancis, Julia punya pekerjaan dan keluarga baru yang mencintainya.
Ada pula cerita soal kakak beradik Wafa dan Maha yang berusaha kabur ke Georgia. Menurut laporan CNN pada 20 April lalu, mereka berusaha kabur karena disiksa oleh pasangan dan ayah kandung.
“Ayah memukulku di depan anakku. Aku lebih baik mati daripada hidup dikontrol seperti ini,” kata Maha.
“Aku harus meminta izin untuk bekerja, menikah, dan pindah ke tempat baru. Hal-hal itu mestinya adalah hak-hak mendasar tapi kami tidak pernah punya kebebasan untuk memilih,” tutur Wafa.
Sampai sekarang belum ada kabar lanjutan tentang nasib dua bersaudara itu.
Nasib baik dialami Rahaf al Qunun, anak seorang gubernur asal Saudi, yang mendapat suaka di Kanada pada Januari lalu.
Rahaf memutuskan kabur karena dilarang untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan dan diminta untuk tidak melaporkan tindak kekerasan fisik dan mental yang ia alami. Ia minggat setelah ayahnya melarangnya memotong rambut dengan alasan laki-laki menyukai perempuan berambut panjang.
Rahaf yang nekat memotong rambutnya lantas dikurung di dalam rumah sampai rambutnya kembali panjang. “Aku punya uang tapi aku tidak punya kebebasan. Yang aku mau hanya kebebasan dan kedamaian pikiran,” katanya kepada Ola Salem, wartawan Foreign Policy.
Visi 2030
Aljazeerasempat mewawancarai aktivis Hala Aldosari yang meyebut bahwa sistem perwalian laki-laki di Saudi adalah cerminan dari sikap pemerintah dan raja yang ingin disembah dan dipandang sebagai pembuat keputusan absolut.
Tak heran, perubahan aturan yang dirasa akan berdampak pada perubahan peran dan pandangan terhadap kekuasaan absolut raja mustahil dilakukan.
Saudi boleh saja menerapkan beberapa aturan baru, tapi kenyataannya mereka masih menahan aktivis perempuan yang menyuarakan perubahan.
Salman juga tidak pernah bicara blak-blakan bahwa ia akan menghapus sistem perwalian laki-laki dengan alasan bahwa ada tradisi yang harus tetap dipertahankan.
Jejak kekerasan terhadap perempuan di Saudi setidaknya bisa dilihat dari studi "Wife Abuse: A Hidden Problem" yang terbit di Eastern Mediterranean Health Journal pada 2009. Di sana tertulis bahwa 58% dari 658 responden perempuan jadi korban kekerasan domestik. Sebagian besar dari mereka mengalami kekerasan fisik seperti ditampar, didorong, ditendang, dipukul dengan benda keras, dijambak, diseret, dipelintir.
Sementara bentuk kekerasan non-fisik yang didapat diantaranya adalah bentakan, ancaman dipoligami, dan hinaan.
Pada 2017, penelitian bertajuk Social Determinants of Domestic Violence Among Saudi Married Women in Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia menunjukkan hasil yang masih serupa. Sebagian besar kekerasan yang terjadi dilakukan para suami dan hal yang jadi penyebabnya diantaranya adalah usia istri yang masih relatif muda, kondisi kesehatan suami, poligami, kurangnya dukungan sosial.
Pada 2016, Human Rights Watch telah mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada pemerintahan Saudi seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan dan Pemberdayaan Sosial, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan; untuk menetapkan sejumlah regulasi demi mengatasi permasalahan kekerasan domestik.
Di antara pokok rekomendasi tersebut adalah penerapan sanksi bagi institusi pendidikan yang melarang penerimaan siswi, larangan staf rumah sakit untuk meminta persetujuan wali saat menerima pasien perempuan, larangan regulasi yang mendiskriminasi perempuan di tempat kerja, dan pemberian izin bagi perempuan untuk memiliki kartu identitas keluarga dan paspor.
Human Rights Watch juga merekomendasikan agar Muhammad bin Salman mengubah peran polisi agama. Para polisi agama diharapkan tidak menghukum orang berdasarkan jenis kelamin mereka.
Raja Salman merancang Vision 2030 yang di antaranya menyebut bahwa bahwa pada 2030, pemerintahan Saudi akan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bisa mengembangkan potensi dan berkiprah dalam berbagai sektor seperti ekonomi dan politik. Salman menyatakan akan menjamin perempuan punya kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki.
"Perempuan Saudi termasuk aset terbaik. Kami akan terus mengembangkan talenta mereka, memberi investasi besar terhadap produktivitas dan kemampuan mereka dan memberi mereka keleluasaan untuk berkontribusi dalam masyarakat dan bidang ekonomi demi masa depan yang lebih baik," demikian yang tertera dalam dokumen Vision 2030.
Jalan mereka masih panjang.
Editor: Windu Jusuf