tirto.id - Reema binti Bandar al Saud adalah duta besar perempuan pertama Arab Saudi untuk Amerika Serikat yang tidak punya riwayat pekerjaan serta latar belakang pendidikan dalam bidang diplomatik. Ia anak Bandar binti Sultan, anggota keluarga kerajaan Arab yang pernah ditugaskan sebagai duta besar Saudi untuk AS pada 1983-2005.
Sekitar dua minggu lalu, Putri Reema—sapaan akrabnya—ditugaskan raja Arab Mohammed bin Salman untuk menggantikan peran adiknya, Khalid bin Salman, sebagai duta besar di AS.
“Saya akan melayani negeri saya, pemimpinnya, seluruh warganya. Dan akan melakukannya dengan suka hati,” kata perempuan yang tadinya enggan terlibat dalam ranah politik.
Media-media barat seperti Washington Post, New York Times, dan CNNmenganggap pengangkatan Reema adalah jalan guna memuluskan hubungan Saudi-AS yang sempat terganggu setelah pembunuhan Jamal Khashoggi—jurnalis Washington Post, warga AS asal Saudi—di Istanbul. Badan Intelijen AS menganggap kematian Khashoggi ialah hasil konspirasi Salman yang geram melihat tulisan Khashoggi kerap mengkritik pemerintah Saudi.
Kasus Khashoggi bikin sebagian anggota senat AS meminta Trump membatasi relasi dengan Saudi, bahkan memberi hukuman kepada pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Sebagian anggota senat lain bilang bahwa menjaga hubungan dengan Saudi jauh lebih penting ketimbang perkara lain.
Trump condong ke opsi kedua. Ia menyadari Saudi adalah target pasar paling potensial bagi bisnis persenjataan dan inovasi teknologi nuklir AS. Ia tak rela relasi dagang rusak, sehingga si presiden pun memilih menyetujui ide-ide Salman.
Lembaga analisis United World International melihat pengangkatan Reema sebagai cara Salman memperbarui citra di mata pemerintah AS. Ia ingin menghapus persepsi raja sewenang-wenang dan berupaya memberi kesan sebagai pemimpin modern yang terbuka terhadap pembaruan.
“Reema bisa mengubah persepsi publik terhadap Saudi secara dramatis. Ia muda, aktif memperjuangkan hak-hak perempuan Arab, seorang pebisnis sukses, pun sosok yang dihormati di ranah seni. Reema adalah bukti usaha realisasi program reformasi sosial Salman : Vision 2030 yang salah satu fokusnya adalah pemberdayaan perempuan Saudi,” tulis United World International.
Ibu satu anak ini menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya di AS. Ia menempuh pendidikan kajian museum di George Washington University dan setelah lulus bekerja di Arab World Institute, Paris. Setelah bekerja selama beberapa tahun di Paris, ia kembali ke AS untuk bekerja di Field Museum Chicago—tempat yang memajang sejumlah koleksi karya seni orangtua Reema.
Ia kembali ke Saudi pada 2008 dengan niat jadi ibu rumah tangga. Apa daya, bisnis keluarga di bidang retail Alfa Internasional yang membawa lisensi department store premium Harvey Nichols tengah merugi sehingga Reema diperbantukan di sana.
Perempuan ini melakukan rebranding dengan menampilkan berbagai lini busana premium di dalam toko. Itu pekerjaan mudah bagi Reema yang punya banyak kenalan kaum sosialita dan desainer di Saudi pun luar negeri. Ternyata, misi utama Reema bukan cuma bikin toko laku. Ia pernah punya tekad agar toko jadi tempat kerja nyaman bagi para perempuan Saudi.
“Ia adalah orang yang membuat para perempuan bisa bekerja. Reema membuat kebijakan seperti penyediaan transportasi bagi pekerja perempuan, pembukaan jasa penitipan anak, dan membebaskan para perempuan mengenakan hijab atau niqab,” tulis Fast Company yang menobatkan Reema sebagai Most Creative People 2014.
Aturan-aturan tersebut dinilai sebagai pembaruan berarti bagi kondisi Saudi yang kala itu masih begitu membatasi aktivitas dan peran perempuan.
“Di sini, perempuan bahkan baru diperbolehkan punya rekening sendiri beberapa tahun belakangan,” kata Reema pada Karen Valby penulis "How Princess Reema Opening Doors For Women in Saudi Arabia".
Artikel panjang yang terbit pada 2015 itu juga menyatakan bahwa Reema membentuk lembaga pelatihan bagi perempuan yang ingin bekerja. Tapi itu semua sulit terealisasi lantaran para perempuan masih takluk di bawah kuasa para pria dalam keluarga.
“Rasanya aku memaksa mereka untuk berlari ketika mereka bahkan belum bisa berjalan dengan baik,” katanya.
Akhirnya, ia meninggalkan jabatan sebagai CEO Harvey Nichols dan fokus pada Zahara Breast Cancer Association, organisasi yang ia buat guna membangun kesadaran perempuan terhadap kanker payudara—penyakit yang dianggap tabu untuk diperbincangkan di Saudi. Ia menyediakan berbagai ruang agar para wanita bisa memeriksakan payudara dan berkonsultasi tentang penyakit tersebut.
“Tapi tidak ada seorang pun yang datang ke tempat tersebut,” kata Seema Khan, anggota organisasi.
Reema pun mencoba memperluas peluang untuk menolong para wanita dengan membuka jasa konsultasi kesehatan mental, terutama bagi para pengidap kanker payudara. Ia juga meminta izin pada pengurus stadium olahraga untuk mengadakan acara di sana.
Status sebagai putri membuat Reema mendapat izin tersebut. Kali itu ialah kali pertama para wanita masuk ke stadion olahraga di Arab Saudi. Ini adalah cikal-bakal munculnya kebijakan Salman memberi izin bagi perempuan untuk masuk ke stadion olahraga.
Pada 2017, ia dinobatkan sebagai ketua Saudi Federation for Community Sports. Jabatan ini membuatnya punya wewenang untuk memotivasi para perempuan aktif berolahraga, membangun fasilitas olahraga bagi perempuan, dan menjamin mereka bisa berolahraga di tempat umum seperti pusat kebugaran di Saudi hal yang sebelumnya dilarang pemerintah. Ia pun mengupayakan agar perempuan diperbolehkan bermain sepakbola.
Di luar itu, Reema pun menyempatkan diri untuk bicara di berbagai forum guna menjelaskan berbagai perubahan peran perempuan Saudi. Kini, ia akan meninggalkan negara tersebut dan hanya bisa mengontrol segala hal yang telah dilakukannya dari jauh.
Editor: Maulida Sri Handayani