tirto.id - Pada Senin (28/1/2019) waktu Amerika Serikat, Rashida Tlaib berkesempatan berbicara di Creating Change Conference. Acara digagas oleh National LGBTQ Task Force, lembaga non-profit yang bergerak di akar rumput untuk mengorganisir aktivisme pro-lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer AS.
Tentu saja Rashida datang untuk memberikan dukungan. Apalagi acara digelar di Detroit, kampung halamannya. Mengutip Colorlines, mengingat posisinya sebagai anggota dari Kongres Distrik ke-13 Michigan, Rashida mendiskusikan berbagai jenis kebijakan yang akan ia bawa ke badan legislatif.
Secara kultural, misalnya, dengan mendorong para elite untuk lebih cerewet membicarakan isu-isu LGBTQ. “Kami akan memastikan agar setiap undang-undang baru sesuai dengan pengalaman dan kebutuhan komunitas LGBT,” katanya.
Rashida menambahkan bahwa dirinya adalah pertama-tama seorang organisator, anggota masyarakat, dan aktivis. Setelahnya baru status sebagai politisi. Sehingga tanggung jawab yang ia emban pada akhirnya tidak berkutat dalam identitas gender, tapi juga spektrum politik identitas yang lebih luas.
Pendeknya, Rashida siap pasang badan menghadapi segala jenis fobia yang hingga kini masih memercik ketegangan di masyarakat Amerika yang multi-kultur.
“(Politisi) harus melakukan perlawanan terhadap transfobia, homofobia, rasisme, anti-kulit hitam, Islamofobia, xenofobia, anti-semitisme, seksisme—dan seterusnya.”
Ia melanjutkan, “karena kita tahu bahwa hal-hal ini saling terkait, mereka pun saling terhubung. Kita tahu bahwa mereka yang mempromosikan kebencian sebenarnya sedang berusaha menyangkal keberadaan kita semua.”
Dalam konteks politik, pernyataan tersebut akan terdengar biasa-biasa saja jika keluar dari mulut seorang laki-laki Kristen, kulit putih, dan asli Amerika. Tapi Rashida menyandang status yang berlawanan: perempuan Muslim, berkulit kecoklatan, dan keturunan Palestina.
Rashida Harbi Tlain lahir pada tanggal 24 Juni 1976 di Detroit, Michigan, AS, sebagai anak tertua dari 14 bersaudara. Ayah dan ibunya adalah imigran asal Palestina. Ayahnya lahir di Beit Hanina, kawasan dekat Yerusalem, sementara ibunya asli Beit Ur El Foka, dekat Kota Ramallah, Tepi Barat.
Ayah Rashida mula-mula pindah ke Nikaragua, lalu ke Detroit untuk bekerja di jalur perakitan pabrik Ford Motor Company. Rashida menulis di Elle bahwa ibunya datang ke Negeri Paman Sam di usia 20 tahun. Ia ingin anak-anaknya sukses, tapi tidak juga lupa asal-usul tanah kelahiran dan kebudayaannya.
Ibunya hanya seorang tamatan sekolah menengah pertama. Ia keluar saat baru naik kelas 8, lalu bekerja di toko jahit, sehingga jago membuat pakaian untuk anak-anaknya. Sebagai anak tertua, Rashida punya kewajiban mengurus adiknya selama kedua orang tuanya bekerja.
“Ibuku tahu soal perjuangan hidup dan mengajariku cara memimpin dengan belas kasih, kasih sayang yang seharusnya ada dalam diri setiap perwakilan (pejabat) di setiap tingkat pemerintahan.”
Rashida masuk sekolah dasar Benner Elementary dan Pheonix Academy. Setelah lulus dari Southwestern High School di Detroit, pada 1994 ia melanjutkan kuliah jurusan ilmu politik di Wayne State University. Ia lulus pada 1998. Rashida memperoleh gelar doktoral dari Cooley Law School, Western Michigan University, pada 2004.
Karier politiknya dimulai dengan magang di kantor Steve Tobocman, anggota legislatif Michigan, hingga direkrut jadi salah satu stafnya. Pada 2008, Steve mendorong Rashida untuk maju pada pemilihan elite Partai Demokrat—dan berhasil. Sejak saat itu namanya makin meroket mulai mengalahkan nama-nama lama.
Di sela-sela kegiatan politiknya, Rashida juga bekerja di Sugar Law Center. Sugar Law Center adalah lembaga swadaya masyarakat di Detroit yang menyediakan layanan hukum gratis bagi para buruh.
Kemudian pada 2018 ia mengumumkan untuk maju di pemilihan anggota kongres untuk Distrik ke-13 Michigan. Ia mengincar kursi John Conyers, elite Partai Demokrat yang akan pensiun dari jabatan perwakilan kongres AS untuk wilayah Michigan.
Rashida tak gusar akan tantangan kandidat Partai Republikan karena Distrik ke-13 adalah wilayah yang dikuasai Demokrat. Dukungan untuknya juga paling kuat di antara kandidat Demokrat lain. Per Juli 2018 ia mampu mengumpulkan dana sumbangan sebesar hampir $900 ribu—lima kali lipat ketimbang dana sumbangan yang diterima lima pesaingnya.
Hari pemilihan berlangsung pada 6 November 2018. Rashida mencetak sejarah dengan sebagai perempuan muslim keturunan Palestina pertama yang terpilih sebagai anggota Kongres AS—selain Olhan Omar, politisi muslim keturunan Somalia yang mewakili Distrik ke-5 Minnesota.
New York Times melaporkan pada Kamis (3/1/2019) Rashida tiba di Capitol Hill, Washington D.C., untuk dilantik. Publik tidak hanya terkesima dengan fakta bahwa ia disumpah dengan menggunakan Al Quran. Tapi juga karena Rashida mengenakan gaun tradisional Palestina (thobe) yang dihiasi motif sulaman (tattriz).
Rashida memamerkan busananya di Instagram dan mendapat belasan ribu like. Banyak yang berkomentar positif, tapi sebagian ada juga yang mengkritik—termasuk sedikit komentar rasis. Rashida mengabaikannya. Ia berpegang pada pesan sang ibu: tidak lupa dengan akar Palestinanya.
Rashida adalah pengkritik keras Presiden Donald Trump. Pada hari pertamanya di kantor, ia langsung menyerukan pemakzulan Trump. Dalam wawancara dengan The Intercept, Rashida merujuk kasus pemakzulan Presiden Richard Nixon yang didukung kubu Republikan maupun Demokrat.
Tapi yang paling jadi sensasi adalah momentum beberapa jam usai dilantik, saat Rashida menghadiri undangan kampanye Move On. Dalam orasi yang intinya sebuah ajakan untuk memakzulkan Trump, ia berkata:
“Lihat, Mama, kamu menang. Tukang bully (Trump) tidak menang. Mereka (jajaran pemerintahan Trump) tidak akan menang, karena kita akan ada disitu (kongres) dan kan memakzulkan si bajingan (Rashida menyebut motherf*cker),” demikian mengutip Newsweek.
Daya juang Rashida sedang panas-panasnya belakangan ini. Seperti rekan-rekannya di Democratic Socialists of America (DSA), organisasi sayap kiri yang punya aliansi politik dengan Partai Demokrat, ia mempromosikan kebijakan-kebijakan progresif.
Ia memperjuangkan jaminan kesehatan universal, Medicare For All. Rashida berasal dari kelas pekerja, maka ia berjanji untuk memperjuangkan upah minimum pekerja sebanyak $15 per jam. Sebagai anak seorang imigran, ia mendukung gerakan pembubaran ICE, lembaga negara yang mengurus imigran di AS dengan cara kontroversial.
Sikap Rashida terkait konflik Israel-Palestina jelas. Ia mendukung solusi satu negara di mana seluruh warga Palestina yang pernah terusir dikembalikan lagi ke tanah airnya. Ia adalah salah satu anggota Kongres AS yang secara terbuka mendukung gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Israel.
Satu hal yang unik ditemukan seorang reporter BuzzFeed di peta dunia yang ada di kantor Rashida. Sebagaimana dilaporkan Middle East Monitor, lokasi Israel dalam peta tersebut tertutup oleh stiker bertuliskan “Palestina” disertai penanda panah yang menunjuk wilayah Israel.
Belum jelas siapa yang memasang stiker tersebut—entah Rashida sendiri, salah satu stafnya, atau bahkan musuh politiknya. Yang jelas, keberadaan Rashida di kongres membuat banyak pihak berharap akan ada perlawanan yang lebih kuat terhadap lobi-lobi pro-Israel di tubuh pemerintahan AS.
Kembali mengutip tulisannya di laman Elle, “Sepanjang karier saya di bidang pelayanan publik, orang-orang mendorong saya untuk memperjuangkan siapa diri saya, terutama didasarkan pada akar Palestina saya, dan inilah yang akan saya bawa ke Kongres AS.”
Editor: Windu Jusuf