tirto.id - Kamis (24/1/2019) waktu Irlandia. Sidang Parlemen berakhir dengan pengambilan suara terkait rancangan undang-undang yang akan melarang kongsi perdagangan dengan pihak-pihak yang ada di Tepi Barat, kawasan yang berstatus di bawah kekuasaan Israel, demikian lapor Bloomberg.
Hasilnya: 78 anggota setuju, 45 lain menolak. Pengambilan suara itu adalah proses kedua menuju pengesahan. Rancangan telah melalui proses yang panjang, dan pihak penentang masih menjadi minoritas.
Pengambilan suara di tingkat parlemen dijadwalkan pada Januari 2018. Namun, berkat lobi-lobi pemerintahan Israel, pengambilan suara diundur pada Juli 2018. Hasilnya sama. Mayoritas anggota senat mendukung larangan ekspor-impor antara pebisnis di dalam negeri dengan pebisnis di teritori Palestina yang sedang diokupasi Israel.
Akan ada sekitar 500 ribu hingga 1 juta poundsterling per tahun yang hilang. Tapi pendukung RUU justru mengatakan bahwa aturan tersebut bisa menginspirasi negara-negara anggota Uni Eropa lain untuk mengikuti jejak yang sama.
Terlalu ekstrem? Tidak untuk Irlandia, yang selama ini memang punya reputasi sebagai negara Barat paling pro-Palestina. Irlandia, dengan demikian, juga jadi negara Eropa paling tidak ramah terhadap Israel. Akarnya bukan soal ras atau agama, tapi penindasan yang sama.
“Orang Irlandia, sebagai warga terjajah yang selama berabad-abad tinggal di wilayah pendudukan Britania Raya, secara naluriah mengidentifikasi diri dengan perjuangan kemerdekaan di seluruh dunia,” kata Gerry Adams, presiden partai nasionalis terbesar di Republik Irlandia dan Irlandia Utara, Sinn Fein, kepada Middle East Asia.
Sama-Sama Pernah Dijajah Inggris
Kolonialisme Britania Raya terhadap Irlandia berawal dari invasi Norman pada abad ke-12. Kerajaan Inggris meresmikan kontrolnya pada 1541 saat Raja Henry VII dideklarasikan sebagai penguasa Irlandia.
Di era itu pula bermula konflik sektarian antara warga asli Irlandia yang menganut Katolik dan warga Protestan sebagai pendatang dari Inggris.
Nasionalisme Irlandia mulai tumbuh pada paruh kedua abad ke-19. Menuju awal abad ke-20 perlawanan makin menguat, terutama melalui senjata.
Di masa yang sama orang-orang Yahudi sedang mengalami diskriminasi dan segregesi di Eropa. Orang-orang Irlandia mulai menebalkan simpatinya untuk mereka. Rory Miler menarasikan potongan sejarah tersebut di Foreign Policy. Tajuknya cukup kentara: “Why the Irish Support Palestine”.
Rory menulis dukungan itu berubah sejak Deklarasi Balfour pada akhir 1917. Deklarasi ini adalah pernyataan publik yang dikeluarkan pemerintah Britania Raya saat Perang Dunia I untuk mendukung tanah air bagi orang Yahudi di Palestina, wilayah yang saat itu dikuasai Kesultanan Usmani.
Deklarasi Balfour menuntun pada pendirian negara Israel pada 1948. Peristiwa yang memulai “kekacauan abadi” di Timur Tengah ini membuat dukungan orang-orang Irlandia semakin menipis, hingga akhirnya berbalik arah.
“Bagi banyak orang Irlandia, Israel tidak lagi terlihat sebagai komunitas agama-nasional yang sedang terkepung dan secara gagah berani memperjuangkan hak-hak alaminya, tapi lebih seperti sebuah koloni yang didirikan secara ilegal oleh kekuatan senjata Inggris dan memaksa penduduk asli untuk pergi,” catat Rory.
Kentalnya pengaruh gereja Katolik Vatikan terhadap kehidupan sosial dan politik Irlandia juga jadi faktor pendorong. Beberapa bulan setelah Israel berdiri, Paus Pius XII mengeluarkan pernyataan tentang karakter Yerusalem sebagai kota penting bagi tiga agama samawi.
Sejak saat itu pemerintah Irlandia mulai memperhatikan Yerusalem. Topik ini makin sering jadi obrolan antara elite Irlandia dan Vatikan. Makin hari kecondongan sikap untuk mendukung Palestina kian menguat. Manuver Israel yang agresif dalam perluasan wilayah turut mengukuhkan pandangan publik Irlandia bahwa Israel tersebut pada dasarnya negara penjajah.
Konsisten Bela Palestina
Irlandia baru mengakui Israel secara de jure pada 1963, di saat negara-negara Barat lain telah melakukannya jauh-jauh hari. Sepanjang dekade 1960-an makin banyak penduduk Palestina yang terusir dari rumahnya karena proyek perumahan ilegal Israel. Puncaknya adalah Perang Enam Hari pada Juni 1967.
Menteri Luar Negeri Irlandia Frank Aiken pada 1969 menyatakan penyelesaian problem pemukiman ilegal di tanah penduduk Palestina sebagai “tujuan paling utama dan mendesak” untuk kebijakan Irlandia di Timur Tengah.
Pada saat Frank melepas jabatannya setahun kemudian, Irlandia menyatakan tidak ada perdamaian tanpa adanya repatriasi sebanyak mungkin pengungsi Palestina, plus kompensasi penuh agar mereka bisa tinggal permanen seperti sedia kala.
Setelah bergabung ke Uni Eropa pada 1973, pemerintah Irlandia segera mengkampanyekan isu-isu pro-Palestina di level Eropa. Pada Februari 1980, misalnya, Irlandia menjadi anggota Uni Eropa pertama yang menyerukan pendirian negara Palestina. Baru pada akhir 1993 Irlandia membolehkan Israel untuk membuka kantor kedutaan besar di Dublin.
Israel merespon dengan dingin sekaligus sesekali marah-marah. Pada 1980, contohnya, Perdana Menteri Israel Menachem Begin menilai kebijakan Irlandia membantu “PLO (Organisasi Pembebas Palestina) menghancurkan negara Yahudi”. Irlandia adalah negara Eropa pertama yang mengakui PLO.
Sepanjang akhir 1970-an hingga 2000 pemerintah Irlandia konsisten memberikan dukungan moral maupun bantuan langsung untuk Palestina. Di sisi lain hubungan dengan Israel tetap panas, terutama karena konfrontasi pasukan perdamaian PBB asal Irlandia dengan tentara Israel dan milisi Kristennya di Lebanon. Total ada 45 tentara Irlandia yang meninggal selama bertugas.
Departemen Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Irlandia melalui laman resminya menyatakan salah satu bentuk dukungan kepada Palestina adalah dengan mendirikan kantor perwakilan di Ramallah sejak 2000.
“Kebijakan resmi kami adalah untuk mendukung kemerdekaan negara Palestina. Caranya macam-macam. Di level nasional, kami telah menyokong dana sebesar 90 juta poundsterling selama 10 tahun terakhir (2000-2010) untuk pembangunan dan kebutuhan warga Palestina.”
Kementerian menambahkan pemerintah Irlandia berfokus di bidang pendidikan karena ingin anak-anak Palestina bisa memaksimalkan potensi diri mereka. Pemerintah Irlandia menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintah lokal dan mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk lembaga pemerhati hak asasi manusia di Ramallah.
Di luar lembaga pemerintahan, LSM-LSM Irlandia terus menerjemahkan dukungan publik dalam aksi-aksi nyata. Saking konsistennya, Irlandia punya reputasi negara dengan cabang Kampanye Solidaritas Palestina (Palestine Solidarity Campaign) paling terorganisir dan efektif.
Ada beberapa kali percobaan masuk ke Gaza yang dilakukan kapal-kapal kemanusiaan Irlandia. Misalnya, pada 5 Juni 2010, kapal MV Rachel Corrie berlayar dari Irlandia ke Gaza. Mereka ditangkap angkatan laut Israel sebelum sampai di pelabuhan. Suhu politik kedua negara langsung memanas.
Pada 4 November 2011 giliran kapal MV Saoirse yang menjajaki usaha yang sama, dan menemui kegagalan serupa. Kapal dialihkan ke Ashdod, salah salah satu kota pelabuhan tersibuk di Israel, sementara krunya digiring ke ruang tahanan.
Pemerintah Irlandia melalui Menteri Luar Negeri Eamon Gilmore menyatakan bahwa pihaknya tidak menyetujui blokade Gaza karena bertentangan dengan hukum humanitarian internasional dan merugikan warga Palestina di Gaza.
“Kami telah berulang kali mendesak Israel untuk mengakhiri kebijakan yang tidak adil, kontra-produktif, dan pada akhirnya menjadi hukuman kolektif bagi 1,5 juta warga Palestina,” imbuhnya, mengutip Independent.
Kembali mengutip Rory Miller, Irlandia juga memiliki gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) Israel paling kuat di Eropa. Pada 2004, misalnya, mereka mereka berhasil membuat petisi boikot Israel yang ditandatangani lebih dari 12.000 warga sipil dan 52 anggota parlemen, senat, dan politikus independen.
Boikot itu kini secara tidak langsung berupaya diwujudkan para elite di senat maupun parlemen melalui undang-undang pelarangan dagang dengan pihak-pihak di teritori Palestina yang diduduki Israel. Keefektifannya masih diperdebatkan, namun secara politik makin menegaskan sikap Irlandia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan