tirto.id - Tiga perempuan penyintas kekerasan dalam pacaran berkisah masa-masa sulit keluar dari lingkaran hubungan yang kasar (abusive relationship). Tindakan kasar dan diwarnai kekerasan membekas hingga mimpi dan alam bawah sadar mereka.
Matilda, 23 tahun, bukan nama sebenarnya, berada dalam hubungan dengan pasangan yang secara konstan melakukan kekerasan kepadanya selama 7 bulan. Matilda pun beberapa kali meminta hubungan diakhiri sejak dua bulan sebelum benar-benar putus, tetapi pasangannya tak mau.
“Dia selalu bilang kalau aku enggak tahu gimana memperjuangkan suatu hubungan. Dia bilang melakukan semua [kekerasan] itu untuk mengetes aku, seberapa upaya aku buat hubungan ini,” Kata Matilda kepada reporter Tirto, Selasa (11/2/2020).
“Jadi kekerasan yang dia lakukan buat nguji gitu lah,” lanjutnya.
Bentuk tindakan kasar dari pacarnya tak hanya di ranah privat, juga di muka umum. “Kalau verbal, misalnya, dia pernah mengata-ngatai aku bodoh di depan teman-teman kantor. Kekerasan fisik beberapa kali aku pernah [mengalami]. Salah satunya dia nampar [di kantor] karena aku menyapa mantan karyawan.”
Secara sosial pun Matilda sangat dibatasi. Ia tak boleh menghubungi teman dan sepupunya, seluruh komunikasinya harus berdasarkan izin pasangannya, pun semua aktivitas di luar rumah.
“Setelah dia melakukan kekerasan, enggak merasa menyesal. Dia merasa berhak untuk melakukan itu semua, karena menurut dia aku melakukan kesalahan besar. Justru ketika dia melakukan kekerasan, aku yang harus ngebaik-baikin dia,” kata Matilda.
Matilda mengaku “bingung” apakah saat ini dia trauma atau tidak. Tapi yang jelas, yang dia rasakan adalah “marah dan kecewa.” “Dan marahnya termanifestasi dalam mimpi karena aku enggak bisa ungkapin langsung ke dia. Jadi di mimpi itu aku ngomong semua perasaan kecewa dan marah ke dia.”
Kejadian serupa terjadi pada Tanty, juga bukan nama sebenarnya. Perempuan berusia 19 tahun itu pernah menjalani hubungan yang diwarnai dengan kekerasan selama hampir dua tahun. Kekerasan tersebut meningkat kadarnya setiap hari, mulai dari kekerasan secara verbal atau ucapan, hingga di ujung hubungan, pasangannya hampir membunuh Tanty dengan cutter.
“Aku berantem sama dia, karena hal kecil sebenarnya. Berujung dengan cutter yang hampir mengenai dadaku. Pas aku berusaha nahan cutter dia, ujungnya enggak sengaja nusuk sedikit jari manis aku, dan berdarah,” kisah Tanty.
Tanty tadinya mau lapor ke polisi. Tapi pasangannya menahan sampai-sampai tangannya kesakitan.
“Di situ dia nangis dan berusaha bujuk aku, supaya aku maafin dia dan dia janji bakal tanggung jawab dan enggak akan keulang lagi. Aku maafin dia di situ. Sampai akhirnya aku pulang ke rumah, dan mikir buat laporin dia ke polisi,” katanya.
Tanty akhirnya memberanikan diri untuk mendatangi polsek terdekat dari tempat tinggalnya. Sesampainya di sana, ia melaporkan percobaan pembunuhan. Sialnya, yang dia dapat hanya perasaan kesal setelah polisi bertanya di mana tempat kejadian perkara dan Tanty menjawab di indekos.
“Maaf ya teh, bukannya enggak bisa bantu, tapi, ai dipukul ku pacar, komo di kosan mah sama-sama nikmatin aja atuh," kata Tanty menirukan omongan polisi saat itu.
Sampai saat ini, Tanty masih menginginkan keadilan atas apa yang ia alami. “Aku cuman pengen dia diadili karena jujur tiap malam aku enggak bisa tidur karena trauma,” tegasnya.
Self Love Memutus Kekerasan Dalam Pacaran
Mata Hari, bukan nama sebenarnya, menyampaikan bahwa ia butuh waktu dan sulit untuk keluar dari hubungan dengan kekerasan yang secara terus-menerus diberikan oleh pasangannya.
“Awalnya sih kalau keluar [dari hubungan] susah, namanya sayang, rela-rela aja tau digituin. Terus aku bego aja,” ungkap perempuan berusia 29 tahun ini.
Namun semakin lama, Mata sadar bahwa dirinya jauh lebih berharga dari itu, dan menyadari bahwa tidak sepantasnya ia menerima perlakuan kasar dari pasangannya. “Semakin lama harus sayang sama diri sendiri. Self love. Pelan-pelan bisa keluar.”
Selepas hubungannya dengan pasangannya berakhir, Mata merasa jauh lebih baik dan bahagia.
“Senang lah [selepas putus]. Nyaman banget, enggak merasa dikekang. Dulu kan main sama siapa, enggak boleh. Nongkrong enggak boleh. Harus sama dia terus hidup gue.”
Kekerasan dalam pacaran menjadi salah satu poin yang disoroti dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2018 (PDF). Komnas Perempuan mencatat dari 13.384 kasus kekerasan terhadap perempuan, 9.609 di antaranya terjadi di ranah privat (71 persen). Dari jumlah tersebut, jumlah kekerasan dalam pacaran mencapai 1.873 kasus, dan jumlah kekerasan terhadap istri mencapai 5.167 kasus.
Psikolog klinis yang berfokus pada masalah hubungan dan seksualitas, Inez Kristanti, menjelaskan terdapat spektrum tingkatan hubungan yang sehat hingga tidak sehat. Hubungan yang sehat ditandai dengan adanya kesetaraan, rasa saling hormat, komunikasi yang baik, kepercayaan, dan kejujuran antar kedua belah pihak.
"Kalau mengarah ke spektrum yang tidak sehat, di tengah-tengahnya itu unhealthy relationship. Jadi ada usaha untuk mengkontrol pasangan. Biasanya ditandai dengan adanya komunikasi yang kurang baik, ada tekanan, kurang menghargai pasangan," jelas Inez kepada reporter Tirto, Kamis (13/2/2020).
Waspadai Abusive Relantionship
Jika kesenjangan kuasa dan kontrolnya semakin besar di satu pihak, maka dapat mengarah ke hubungan dengan kekerasan. Hal tersebut ditandai dengan satu pihak terus yang disalahkan, diisolasi, hingga dimanipulasi. Beberapa indikasinya adalah saat salah satu pasangan meminta untuk secara konstan dikabari apa saja yang sedang dilakukan, merendahkan, mengatur, melarang cemburu yang ekstrem dan tidak beralasan, serta ada kemarahan yang meledak-ledak.
Contoh lain adalah ketika pasangan mengecek ponsel tanpa izin, mengisolasi dari teman atau keluarga, menyakiti secara fisik, posesif, hingga memaksa berhubungan seksual.
Namun kekerasan ini umumnya tidak terjadi secara terus-menerus. Ada pula romansa-romansa di dalamnya.
"Begitu pasangan sudah melakukan kekerasan, tahap berikutnya adalah rekonsiliasi. Mereka baikan, pelaku membuat alasan atas kekerasannya, sehingga membuat penyintas merasa memahami atas kekerasan yang didapatkannya," jelas Inez.
Setelah baikan, ada tahap bulan madu. "Di masa bulan madu ini, akhirnya membuat orang yang mendapatkan kekerasan merasa pasangannya baik. Saat ada konflik lagi, muncul hal yang serupa lagi, berulang lagi," ungkap Inez.
Siklus tersebut pada akhirnya membuat penyintas sulit untuk keluar dari hubungan dengan kekerasan. "Jadi memang ada rasionalisasi-rasionalisasi yang dilakukan oleh penyintas ini dan akhirnya mereka memaklumi hubungan dalam kekerasan," ujarnya.
Semestinya, saat sudah ada indikasi ke arah 'lingkaran setan' itu, korban perlu memahami situasi yang dialaminya. Inez mengatakan latar belakang keluarga pelaku perlu dipahami tidak bisa jadi alasan untuk membenarkan perilaku yang abusive.
Penyintas juga harus langsung menceritakan masalahnya ke teman atau keluarga. Menurut Inez, kerap kali orang yang berada dalam hubungan sulit untuk memahami betul perasaan dan situasinya. "Jadi butuh pandangan dari orang luar," ujarnya.
"Kalau masih merasa sulit menjalaninya sendiri, cari bantuan profesional, seperti psikolog," Inez memungkasi.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali