tirto.id - Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta akhirnya memiliki Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Aturan itu disahkan setelah para mahasiswa terus-menerus mendesak dan protes.
Publik yang peduli terhadap penghapusan kekerasan seksual perlu menunggu tujuh bulan sebelum peraturan ini keluar. Banyak yang terjadi selama itu. Misalnya, kritik dari Senat Akademik UGM terhadap draf peraturan terakhir.
Senat menilai draf terakhir menghilangkan banyak poin dalam draf yang telah disusun tim perumus--terdiri dari para akademisi UGM yang kompeten dalam kajian gender.
Salah satu anggota senat yang mempertanyakan adalah Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto. Saat rapat pleno senat pada 26 Desember 2019, ia menilai draf yang diajukan rektor ke senat akademik tidak koheren dengan tujuan awal peraturan.
Catatan yang diberikan Sigit saat itu yakni perlunya perbaikan soal landasan filosofis aturan ini yang ia nilai belum jelas: apakah untuk melindungi korban atau melindungi pelaku kekerasan.
"Landasan filosofisnya itu sebenarnya mau apa? Orang bikin peraturan itu mesti ada filosofisnya," kata Sigit kepada Tirto dan The Jakarta Post--yang berkolaborasi dalam proyek 'Nama Baik Kampus'.
Jika memang landasan filosofis peraturan itu dirancang untuk melindungi korban, isi pasal dan substansinya harus sejalan, ujar Sigit. Namun, apa yang tercantum pada draf malah cenderung melindungi pelaku kekerasan seksual.
Hal yang sama dirasakan Wening Udasmoro dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, anggota senat akademik lain. Wening sepakat isi draf versi rektorat cenderung memihak pelaku kekerasan.
"Kata 'perlindungan kepada pelaku' itu muncul, tetapi kepada penyintas malah lebih ke pelayanan," kata Wening kepada reporter Tirto akhir Desember 2019 lalu.
Aturan Direvisi Sebelum Disahkan
Kepada reporter Tirto, Kamis (30/1/2020), Rektor UGM Panut Mulyono mengklaim berbagai masukan yang disampaikan oleh anggota senat saat rapat pleno akhir Desember 2019 telah diakomodir.
"Setelah masukan-masukan itu saya pertemukan bagian hukor (hukum dan organisasi), kemudian [anggota] senat dan Pak Muhadjir (ketua tim perumus draf awal)," kata Panut.
Setelah disempurnakan dalam waktu satu bulan, draf kembali dibahas dalam sidang pleno Senat Akademik pada 23 Januari 2020.
"[Draf] sudah disetujui [senat akademik]. Begitu sudah disetujui ya langsung saya tandatangani. Selesai sudah, tidak ada persoalan. Tinggal sekarang disosialisasikan," katanya.
Panut yakin draf yang telah ditandangani itu telah sempurna, tanpa ada yang dipreteli dari draf awal. Menurutnya tim perumus draf awal secara intensif berdiskusi dengan bagian hukor yang sebelumnya banyak melakukan perubahan terhadap draf awal.
Ketua tim perumus draf pencegahan dan penanganan kekerasan seksual Muhadjir Darwin bersyukur akhirnya peraturan ini telah disahkan. Ia juga mengapresiasi rektorat yang telah mengakomodasi masukan dari berbagai pihak.
"Kita syukuri, rektor telah secara resmi mengesahkan peraturan tersebut. Pihak hukor telah mengakomodasi keberatan dari berbagai pihak terhadap draf yang sebelumnya," kata Muhadjir kepada reporter Tirto, Kamis (30/1/2020).
Ia menegaskan draf yang telah disahkan ini telah cukup mengakomodasi hal-hal penting yang sebelumnya dihilangkan. "Aspek preventif dan kuratif penanganan kekerasan seksual telah cukup tercakup. Aspek kelembagaan juga sudah kembali dimasukkan," ujarnya.
Tugas selanjutnya, menurut Muhadjir, adalah memastikan aturan ini dilaksanakan oleh semua unsur yang di universitas.
Isi Aturan yang Disahkan
Rektor UGM Panut Mulyono menandatangani Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat UGM pada 24 Januari 2020.
Draf peraturan yang dibahas pada sidang pleno Senat Akademik pada 26 Desember 2019 hanya memuat 18 pasal. Jumlah itu menyusut dari draf awal yang berjumlah 36 pasal.
Draf 26 Desember hanya terkait kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan UGM. Hal itu banyak dikritik karena hal ini sangat mungkin terjadi di luar pagar kampus.
Contoh nyatanya adalah peristiwa yang membuat gerakan menghapus kekerasan seksual muncul dan membesar di UGM: kasus Agni, bukan nama sebenarnya, yang dilecehkan saat kuliah kerja nyata (KKN) di Maluku pada Juli 2017.
Aturan baru mencakup kekerasan seksual yang terjadi pada setiap kegiatan UGM.
Jumlah pasal jadi 28. Jenis kekerasan seksual yang diatur tertera pada pasal 3. Mekanisme sanksi terhadap pelaku ada pada pasal 13 sampai 24. Terkait perlindungan terhadap pelaku, pada draf 26 Desember 2019 ada dua pasal, sementara pada peraturan yang disahkan hanya satu, yaitu ada di pasal 25.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Bayu Septianto