tirto.id - Kemarin, muncul sebuah video viral yang memperlihatkan pertengkaran seorang lelaki dan perempuan. Si lelaki yang mengenakan hoodie, mendorong perempuan yang diduga pacarnya hingga terjengkang. Makian-makian pun tumpah di kolom komentar. Banyak yang menghujat pria pelaku kekerasan itu. Apalagi suara perekam video menyiratkan bahwa si lelaki dalam kondisi mabuk, sehingga tak bisa mengontrol perilakunya.
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2018 (PDF), dari 13.384 kasus kekerasan yang tercatat, 9.609 kasus berada di ranah privat (71%). Dari jumlah tersebut, jumlah kekerasan dalam pacaran mencapai 1.873 kasus, dan jumah kekerasan terhadap istri mencapai 5.167 kasus.
Yang paling banyak disoroti sekaligus paling banyak dilaporkan (41 persen) adalah kekerasan fisik seperti mencakar, meninju, menendang, melempar suatu benda, menarik rambut, mendorong, dan menarik pakaian. Kekerasan fisik seperti ini tidak hanya menimbulkan luka psikologis, tapi juga luka fisik, bahkan tak jarang berujung kematian.
Selain kekerasan fisik, kekerasan yang dicatat adalah kekerasan seksual (31%), kekerasan psikis (15%), dan kekerasan ekonomi (13%). Di luar kekerasan yang tercatat itu, kita tak boleh abai terhadap kekerasan verbal. Menurut situs Love is Respect, kekerasan emosional atau verbal bisa berbentuk ancaman, penghinaan, mengawasi pasangan terus-menerus, mengirim pesan teks berlebihan, penghinaan, hingga intimidasi. Ini tidak hanya terjadi pada perempuan saja.
Dalam makalah “Emotional Abuse in Intimate Relationship: The Role of Gender and Age” (PDF), dua peneliti Gunnur Karakurt and Kristin E. Silver, menemukan adanya peningkatan risiko kekerasan emosional terhadap pria. Karakurt dan Silver menduga, peningkatan itu disebabkan karena perubahan peran gender.
Sejak lama, perempuan telah menjadi korban diskriminasi dan ketidaksetaraan yang dilahirkan dari sistem patriarki. Namun di beberapa negara maju, peran perempuan makin kuat sehingga ada negosiasi peran dalam hubungan. Sayang, banyak perempuan yang memanfaatkan hal ini untuk memegang kendali penuh atas sebuah hubungan, bukan memperjuangkan kesetaraan.
Meski mengalami kekerasan emosional, sebagian besar pria tak menganggap diri mereka sebagai korban. Bagi remaja laki-laki, mereka menganggap kekerasan emosional yang dialami sebagai sebuah kewajaran, sedangkan pria dewasa memilih untuk membicarakan hal tersebut kepada pasangannya dan mencari penyelesaian atas masalah.
Angka kekerasan emosional pada pria memang meningkat, tapi Karakurt dan Silver juga menemukan adanya praktik kekerasan emosional terhadap perempuan dalam bentuk pembatasan kontak pasangan atau isolasi. Tindakan itu bertujuan untuk merusak kehidupan dan identitas korban di luar hubungan, dan menumbuhkan rasa ketergantungan.
Cara mengisolasi pasangan ini dianggap ampuh untuk mengintimidasi pasangan, ketimbang melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya. Salah satu alasannya: intimidasi emosional ini tidak terlihat dari luar, tidak seperti kekerasan fisik. Namun efek yang ditimbulkan juga tak kalah mengerikan.
Biasanya kekerasan jenis ini terjadi pada perempuan usia remaja, sebab di usia dewasa, perempuan lebih memiliki kemampuan analitik dan bisa lebih memahami hal-hal yang masuk dalam kekerasan. Selain itu, perempuan dewasa umumnya lebih memiliki ekonomi yang stabil.
Bagaimana Deteksi Dini Pelaku Kekerasan?
Dalam Psychology Today, Michael J. Formica menjelaskan bahwa abusive relationship adalah hubungan yang dijalani dengan ketakutan, dan munculnya perasaan tidak aman. Pelaku kekerasan dalam pacaran biasanya memiliki rasa sosial yang kurang baik, sehingga dia berusaha untuk mendapatkan nilai itu melalui dominasi dan kontrol atas pasangannya. Kekhawatiranlah yang menjadi pangkal masalah. Pelaku khawatir tidak disukai dan takut terlihat lemah, makanya ia memilih mempertahankan rasa kontrol.
Masalahnya, perasaan tidak aman yang dimiliki korban akan membentuk ulang nilai sosial yang ia miliki, sehingga korban kerap memilih jati dirinya. Korban takut merasa tidak dicintai, sehingga ini melahirkan perasan tidak aman, dan pada akhirnya memilih untuk bertahan dengan pasangan yang abusive ini.
Nirmala Ika, psikolog klinis, berkata bahwa pelaku kekerasan dalam hubungan tidak bisa dilihat dari luar. Namun ini bukan berarti tidak bisa dideteksi.
“Biasanya pelaku itu memiliki perasaan rendah diri atau inferior, sehingga menggunakan kekerasan untuk menunjukkan bahwa mereka itu lebih ‘hebat’ daripada orang lain atau pasangannya,” ujar Nirmala kepada Tirto. Selain itu, Nirmala menambahkan, bahwa seseorang bisa menjadi pelaku kekerasan karena kemungkinan pernah mengalami kekerasan di masa lalu.
Sedangkan Darlene Lancer di situs Psychology Todaymengatakan pelaku kekerasan biasa melakukan aksinya di ruang tertutup, dan mereka pun akan menyangkal tindakan mereka dengan cara menyalahkan korban. Sebelum melakukan kekerasan fisik, biasanya pelaku terlebih dahulu melakukan kekerasan verbal, salah satunya dengan merusak harga diri anda, membuat anda merasa bersalah dan rendah diri.
Untuk melancarkan aksinya ini, pelaku akan bersifat posesif dan menjauhkan pasangannya dari lingkungan sosial, baik teman maupun keluarga.
Setelah mengalami kekerasan, korban bisa saja mengalami trauma. Nirmala Ika mengatakan bahwa trauma itu bisa disembuhkan dengan support system yang baik, “Misalnya orangtua, teman, lingkungan sekitar yang tidak menyalahkan memiliki peluang untuk bisa mengatasi dampak traumatis kekerasan dengan lebih cepat,” ujar Nirmala.
Nirmala pun menyarankan kepada korban untuk berkonsultasi dengan ahli yang sudah terbiasa membantu korban kekerasan, sebab proses konseling itu nantinya juga membantu mereka agar tak terjerat dalam relasi yang berkekerasan.
Maka jika kekerasan dalam hubungan terjadi pada anda, sebaiknya anda perlu berpikir ulang untuk melanjutkan hubungan.
Editor: Nuran Wibisono