tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyuluhan antikorupsi bagi warga binaan asimilasi di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat pada 31 Maret lalu. Dalam kesempatan itulah muncul pernyataan bahwa eks napi merupakan penyintas, yang lantas dikritik ramai-ramai oleh aktivis antikorupsi.
Pernyataan bahwa eks koruptor merupakan penyintas disampaikan Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana.
“Mereka yang menjadi 'penyintas' korupsi mungkin bisa lebih banyak cerita yang detail berdasarkan pengalaman mereka, agar tidak dicontoh oleh yang lain. Bercerita dampak yang diakibatkan sehingga bisa menggugah masyarakat atau penyelenggara negara untuk tidak korupsi,” katanya.
Kepada reporter Tirto, Kamis (1/4/2021), Wawan menjelaskan lebih jauh maksud menjadikan eks koruptor sebagai agen antikorupsi. Jika lulus tes, dia bilang eks koruptor bakal “kami jadikan narasumber atau agen perubah yang memiliki komitmen dan integritas.” Tes yang dimaksud adalah tes psikologi oleh pakar dengan metode pembacaan tulisan, gestur tubuh, dan wawancara.
Ia juga mengatakan setiap narapidana yang menjalani program asimilasi akan mengikuti pelatihan dan pembekalan oleh kepala lapas.
Selain itu, KPK juga membekali mereka dengan pelatihan dan materi-materi antikorupsi. Program tersebut akan dimulai di Lapas Sukamiskin dan berlanjut ke lapas lainnya secara berkala sejak tahun ini.
Para narapidana korupsi nantinya akan diminta untuk menceritakan keterlibatan mereka dalam kasus korupsi hingga kehidupan mereka selama menjalani masa hukuman di lapas. Wawan berharap hal tersebut akan menginspirasi masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana serupa.
Penyertaan narapidana korupsi dalam program pencegahan KPK, menurut Wawan, karena mereka tidak bisa bekerja sendiri dan mesti mendapat banyak dukungan dari masyarakat. “Tanpa melihat status, strata, maupun SARA bisa ikut berperan serta, termasuk napi koruptor sebagai warga binaan.”
Keliru
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengatakan pernyataan bahwa para narapidana koruptor sebagai penyintas merupakan kekeliruan yang tidak berdasar.
Mengutip definisi dalam KBBI, penyintas berarti “orang yang mampu bertahan hidup.” Berdasarkan arti minimal tersebut saja, katanya, para narapidana lebih cocok disebut pelaku. Justru yang menurutnya layak disebut penyintas adalah masyarakat, pihak yang merugi akibat perbuatan korup para pejabat.
“Seharusnya hukum Indonesia bisa mengatur agar masyarakat sebagai korban korupsi bisa mengajukan tuntutan ke para koruptor. Ini diatur Pasal 35 konvensi PBB Melawan Korupsi 2003,” ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Kamis.
Ia juga menilai menyertakan narapidana korupsi sebagai agen penyuluhan tidak cocok sebab jarang sekali koruptor yang mau mengakui dan menyesali perbuatannya di hadapan hukum. “Ini harus hati-hati karena korupsi itu perbuatan pidana yang rasional dengan maksud memperkaya diri sendiri. Terlebih lagi dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan.”
Terlebih lagi menurut Zaenur tidak banyak terpidana korupsi yang bisa mengembalikan hasil kejahatannya kepada negara. “Kecuali mereka justice collabolator yang memenuhi ketentuan aturan bekerja sama dengan APH untuk ungkap kasus yang lebih besar. Mereka, kan, sudah akui dan pulangkan harta.”
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari juga berpandangan yang sama. Menurutnya menyebut eks koruptor sebagai penyintas sama saja menurunkan level korupsi sebagai kejahatan luar biasa menjadi kejahatan ringan.
“Peristilahan itu penting dalam melawan kejahatan. Amerika melawan penunggak pajak dan preman dengan sebutan mafia,” katanya memberi contoh kepada reporter Tirto, Kamis. “Membuatnya ringan menunjukkan rasa permakluman terhadap kejahatan,” tandas Feri.
Salah Sasaran
Sementara itu, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai kunjungan KPK ke Lapas Sukamiskin bertentangan dengan Pasal 4 UU KPK. Pasal tersebut berbunyi: KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penyuluhan ini menurutnya malah memutarbalikkan logika pencegahan dan pemberantasan korupsi. “Sosialisasi yang harusnya menyasar masyarakat selaku korban korupsi, malah mendatangi pelaku kejahatan,” ujar Kurnia dalam keterangan tertulis, Kamis.
Selain itu kunjungan tersebut juga merupakan kegiatan pemborosan anggaran sebab “hasil yang didapatkan dari kegiatan itu hampir bisa dipastikan nol besar.”
“Patut diingat, saat ini ada gelombang masif dari para terpidana korupsi yang sedang mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Berdasarkan data ICW, sampai awal 2020 lalu, setidaknya 21 terpidana korupsi yang ditangani oleh KPK sedang mengajukan PK ke MA,” tandas Kurnia.
Penulis: Alfian Putra Abdi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino