Menuju konten utama

Kejayaan dan Kejatuhan Mulut Ahok

"Banyak bicara banyak kerja" seperti Ahok, jangan hanya "kerja, kerja, kerja." Tapi hobi bicara ternyata bisa juga membuat Ahok kena batunya.

Kejayaan dan Kejatuhan Mulut Ahok
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjawab pertanyaan wartawan di sela-sela mengerjakan tugasnya di hari terakhir bekerja sebelum masa kampanye di Balaikota, Jakarta, Kamis (27/10). Mulai Jumat (28/10) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak lagi bekerja di Balai Kota karena telah memasuki masa cuti panjang untuk mengikuti kampanye sebagai petahana pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan digantikan oleh Plt Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./aww/16.

tirto.id - Selama Basuki Tjahaja Purnama masih di bawah kolong langit politik Indonesia, selama itu pula media kita akan dengan senang hati mengutip apa-apa yang keluar dari mulutnya. Setelah Ruhut Sitompul mulai luntur pamornya, dan media kesulitan mencari kata-kata bombastis untuk dikutip, Ahok muncul sebagai pahlawan.

Tapi Ahok jauh berbeda dengan Ruhut. Yang terakhir banyak bicara karena memang sudah dari sononya ia diwajibkan punya mulut supaya berbusa-busa, karena tugasnya di lembaga legislatif dan sebagai juru bicara partai anda-tahu-apa pada suatu masa. Sementara Ahok, waktu masih di legislatif jungurnya belum terlalu kedengaran, baru sejak jadi wakil gubernur Jokowi di Jakartalah, omongannya mulai dirayakan di berbagai media—semakin menjadi-jadi setelah Jokowi terpilih jadi presiden dan Ahok naik pangkat jadi gubernur.

"Jadi Gubernur Jakarta itu RI 3, Bos! Kalau menteri, itu pembantu RI 1," katanya.

Ahok adalah penjelmaan sejati semboyan yang sempat populer pada akhir dekade 50-an: "Banyak bicara banyak kerja." Banyak bicara banyak kerja. Banyak bicara banyak kerja. Bukan hanya "kerja, kerja, kerja" seperti slogan Jokowi

Mengenai ini, pada April 1975, Mahbub Junaidi—novelis dan tokoh NU dan mantan ketua umum PWI—menulis kolom berjudul Sekitar Peranan Mulut di Majalah Tempo. Hanya dengan tujuh paragraf, Mahbub menjabarkan dengan baik sekali sejarah permulutan di Indonesia sambil mengkritik para anggota dewan yang terhormat yang saat itu tidak banyak berkutik. "Parlemen, yang menurut riwayatnya justru tempat bicara, tidaklah gemar lagi membuka mulut selebar-lebarnya, seperti mbah guru mereka Montesquieu yang meraung-raung di mimbar bagaikan keledai, melainkan memilih kecermatan di atas segala-galanya," tulis Mahbub.

Sebelumnya, pada masa Kabinet Djuanda, peranan mulut dianggap sepele. Kabinet yang berhasil menggolkan aspirasi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan hanya modal mulut hingga diakui PBB itu, ironisnya, punya slogan yang mengesampingkan arti penting mulut: Sedikit bicara banyak kerja.

"Semua orang yang bermodal mulut semata-mata menyempit lapangannya. Bursa mulut turun, dan keringat naik derajat. Kegaduhan sedikit demi sedikit berkurang, orang makin lama bicara makin pelan, sehingga mau tidak mau coraknya berganti jadi kasak-kusuk," tulis Mahbub tentang era Djuanda. "Padahal, ditilik dari sudut kebajikan, omong besar dan kasak-kusuk sama-sama bukan tabiat yang layak dipuji, seperti halnya orang kegemukan atau kekurusan."

Maka setelah periode itu, semboyannya ditinjau kembali. "Sedikit bicara banyak kerja" diganti "Banyak bicara banyak kerja." Akur. "Sebab,” tulis Mahbub menyitir KH Idham Chalid, mantan Ketum PBNU yang juga Wakil Perdana Menteri Djuanda, “bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja tanpa tanpa bicara itu namanya maling."

Ahok tentu saja bukan beo, apalagi maling. Maka beliau tidak pelit kerja dan tidak hemat bicara.

Karena pusparagam aksi dan orasinya itulah, sejak Wagub hingga jadi Gubernur DKI pengganti Jokowi, Ahok banyak mendapat simpati rakyat, baik di Jakarta maupun dari luar Jakarta. Nyaris tiada hari tanpa Ahok di media nasional dan media sosial.

Popularitas Ahok terus terkeret berkat media yang selalu suka mengutip omongannya yang memang terdengar dahsyat. Beliau, misalnya, tak segan-segan mengucapkan "Tai!" di televisi nasional. Juga marah sana marah sini, mengomel-omeli bawahannya yang tidak melakukan tugasnya atau keliru dalam tugas, meledak-ledak menantang lawan-lawan politiknya.

Tapi meledak-ledaknya Ahok berbeda dengan Donald Trump, calon presiden Amerika. Trump suka berapi-api menyuarakan kebencian, rasialisme, dan bahkan seksisme, Ahok hampir selalu misuh untuk alasan-alasan yang tepat secara politis: perang melawan korupsi, meminimalisasi kebocoran anggaran daerah, terlaksananya layanan publik yang prima, membangun Jakarta jadi kota yang lebih baik, dan sederet alasan lain yang hebat-hebat dan baik-baik.

Infografik Pilgub DKI Cagub Ahok

Ahok dengan segera dianggap sebagai figur pemimpin ideal. Banyak orang yang jatuh hati. Banyak warga Jakarta yang kemudian rela berada di belakang Ahok melawan musuh-musuhnya. Ia diangkat menjadi simbol perlawanan terhadap elite politik yang selama ini dipergunjingkan masyarakat sebagai petinggi yang korup.

Sejak medio 2015, sekelompok anak muda malah mendirikan semacam Gilda Pemuja Ahok. Perkumpulan ini diberi nama "Teman Ahok."

Lantaran Ahok dianggap bisa menyelamatkan anggaran DKI dan membawa angin segar bagi pembangunan dan kemajuan Jakarta, Teman Ahok pun berusaha memastikan agar sang panutan kembali memimpin ibukota pada periode berikutnya (2017-2022). Caranya? Usung Ahok maju di Pilkada 2017 melalui jalur perseorangan alias independen alias non-partai.

Pilihan ini sama sekali tak mudah. Karena konsekuensinya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Teman Ahok harus pontang-panting banting tulang mengumpulkan bukti dukungan dan fotokopi KTP warga Jakarta supaya memenuhi persyaratan dari KPUD.

Dasar Teman Ahok dihuni anak-anak muda keras kepala, mereka ambil tantangan itu. Mereka bahkan menaikkan target: walaupun KPUD hanya mensyaratkan 550 ribuan KTP, Teman Ahok bertekad mengumpulkan 1 juta—tercantum dalam misi organisasi.

"Ini dilakukan untuk mendukung Ahok terus konsisten hanya merasa berutang pada rakyat, bukan pada partai politik," tulis mereka dan diucapkan dalam berbagai kesempatan.

Banyak pihak yang mencibir misi Teman Ahok, tidak sedikit pula yang bertaruh KTP itu tidak akan terkumpul. Politisi Partai Gerindra, Habiburrokhman, menulis di akun Twitternya, "Saya berani terjun bebas dari Puncak Monas kalau KTP Ahok beneran cukup untuk nyalon."

Politisi, anda tahu, seperti kata Nikita Krushchev, di mana-mana sama saja: Mereka berjanji akan membangun jembatan bahkan kendati tidak ada sungai. Keberanian Habiburokhman untuk terjun dari Puncak Monas adalah janji politisi yang tinggal janji. Pada akhir Mei 2016, (tepuk tangan yang meriah!) Teman Ahok berhasil mengumpulkan satu juta KTP.

Tapi, seperti cerita detektif, Teman Ahok harus menempuh jalan mengejutkan dan memutar. Pada akhir Juli 2016, Ahok mengumumkan akan maju menjadi calon gubernur dengan kendaraan tiga partai: Partai Nasdem, Partai Hanura dan Partai Golkar. Dan di detik-detik terakhir pendaftaran KPUD, PDI Perjuangan menyatakan dukungan untuk Ahok. Artinya, satu juta lebih KTP yang telah dihimpun tidak akan terpakai.

Tidak semua penyumbang KTP itu senang dengan perkembangan mutakhir. Di Twitter, muncul tagar #BalikinKTPgue untuk menentang keputusan Ahok. Menurut data dari Keyhole, tagar ini aktif sejak 29 Juli hingga 3 Agustus, dengan jangkauan hingga 26.701.346 akun.

Menanggapinya, Ahok menjadi Ahok dengan segala kebajikan dan keutamaan mulutnya. "KTP masih di rumah dia, kok. Apa yang mesti dibalikin? Dari dulu juga dibalikin—fotokopi doang, kan?" katanya.

Ahok baru kena batunya ketika video pidatonya pada 27 September silam menyebar dengan alasan yang kurang baik untuknya. Video itu menampilkan Ahok bicara di hadapan warga Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

"Bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya. Ya, kan, dibohongi pakai surat Al-Maidah: 51—macam-macam itu," kata Ahok, disambut tawa hadirin. "Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi, Bapak-Ibu, perasaan enggak bisa pilih, nih, karena 'saya takut masuk neraka'—dibodohin itu—enggak apa-apa."

Selama berminggu-minggu video itu menjadi bahan pergunjingan di berbagai media sosial hingga warung-warung kopi. Orang-orang berdebat seolah tak ada ujungnya tentang surat Al-Maidah ayat 51. Kubu satu menghujat Ahok habis-habisan, menudingnya telah melecehkan Islam dan Al-Quran, kubu lainnya membela Ahok dengan militan.

Ahok akhirnya minta maaf atas ucapannya tersebut. Padahal para pendukungnya telah menyodorkan berbagai terjemahan dan tafsir dan hujah untuk mendukung pernyataannya. Dan, para penentangnya sama sekali tak mau berhenti mencaci-maki, mengancam, mereka hanya ingin Ahok dipenjara atau mati.

Setelah ramai-ramai peristiwa itu, Ahok seperti tiarap. Belum terdengar lagi bunyinya yang biasa nyaring. Kalau sampai mulut Ahok menjadi tumpul, kehilangan tajinya, atau bahkan musnah sama sekali, perpolitikan Indonesia pasti akan landai. Jangan sampai.

Baca juga artikel terkait PILKADA DKI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Politik
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti