tirto.id - Pengalaman pertama berjuta rasanya. Senang, antusias, ragu-ragu, gamang, takut, dan sekian perasaan lain. Dan Anies Baswedan, yang sudah cukup lama malang-melintang di dunia politik dan akrab dengan berbagai pencalonan, masih belum sepenuhnya bisa mengatasi perasaan-perasaan itu dan kelihatan canggung menghadapi pengalaman elektoral pertamanya.
Anies mulai tampil sebagai tokoh publik sejak menjabat Rektor Universitas Paramadina pada 2007 dan semakin luas dikenal setelah mendirikan Yayasan Indonesia Mengajar pada akhir 2009. Kiprahnya di Indonesia Mengajar membuatnya banyak mendapatkan pujian, simpati, dan dukungan dari berbagai kalangan.
Pada 2010, Anies ditunjuk Presiden SBY menjadi bagian dari Tim Verifikasi Fakta dan Hukum atau Tim 8, terkait perseteruan Kepolisian versus KPK—yang populer dengan sebutan “Cicak versus Buaya”. Tim yang diketuai Adnan Buyung Nasution ini bertugas meneliti kasus dugaan kriminalisasi terhadap dua Pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.
Sejak September 2013, Anies membidani sebuah organisasi relawan bernama Gerakan Turun Tangan. Mengusung tagline "Melunasi Janji Kemerdekaan," gerakan ini menarik perhatian banyak anak muda. “Janji itu adalah melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan membuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Anies di banyak kesempatan.
Dengan pertama-tama didukung oleh mereka yang pernah aktif di Indonesia Mengajar, gerakan ini dengan cepat tumbuh menjadi kampanye massif dan simpatik, terlebih di internet. Ajakan-ajakan untuk berbuat sesuatu untuk negeri, motivasi untuk terlibat dalam berbagai urusan bersama, seruan untuk melunasi janji kemerdekaan wara-wiri di berbagai media sosial, dikemas dengan sangat menarik melalui foto-foto inspiratif, meme, video.
Anies makin dikenal dengan citra kebapakan, pendidik, dan dalam banyak kesempatan disebut sebagai negarawan.
Hingga Juli 2014, Turun Tangan berhasil mengimpun lebih dari 35.000 relawan. Mesin yang cukup untuk menyokong berbagai aktivitas politik Anies.
Sebelum bergabung dalam tim pemenangan pasangan Jokowi-JK dalam pilpres 2014, Anies pernah menjadi deklarator ormas Nasional Demokrat—sebelum berubah menjadi partai—pada Februari 2010 dan mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Dmeokrat pada Agustus 2013.
Untuk setiap keputusan politiknya itu, Anies selalu menampilkan retorika yang menggugah. "Orang jahat bisa berkuasa karena orang baik diam dan mendiamkan," katanya. "Jangan menjadi orang yang hanya menonton, karena itu berarti anda membiarkan orang jahat menang."
Bersama relawan Turun Tangan, Anies berperan lumayan besar untuk kampanye pemenangan Jokowi-JK. Ia melakukan tugasnya dengan sangat baik sebagai Juru Bicara Jokowi-JK, dengan mengusung formula 'kampanye putih' untuk mengonter kampanye negatif. Jerih payah itu, dan tentu saja rekam jejaknya, kemudian mengantarkannya menjadi Menteri Pendidikan Nasional.
"Saya kira enggak usah saya promosikan, semua juga sudah tahu, dia perintis Indonesia Mengajar," kata Jokowi saat perkenalan Kabinet Kerja di halaman Istana Merdeka, 26 Oktober 2014.
Tapi sayang, jabatan Mendiknas tak bertahan lama di tangan Anies. Pada 27 Juli 2016 ia dicopot. "Ya, namanya amanat. Amanat itu diberikan, dijalankan. Ditarik, ya dilepaskan. Saya katakan kalau untuk reshuffle dan lainnya biasa itu," katanya menanggapi keputusan Presiden Jokowi. "Saya menempatkan diri seperti Senopati. Raja memberikan perintah berangkat ke laga di gelanggang pendidikan, itu laga yang ditugaskan ke saya. Ketika Senopati ditarik, ya Senopati harus siap ditarik. Siap dikirim dan siap ditarik, enggak tanya lagi."
Setelah dua bulan menjadi "pengangguran politik," nama Anies muncul dalam bursa hingga ditetapkan menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, didukung oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, atas prakarsa Prabowo Subianto, orang yang menjadi lawan politiknya pada Pilpres 2014.
"Kita ingin membuat Jakarta yang lebih baik bagi semua. Bukan sekadar kotanya, masyarakatnya juga merasa lebih bahagia, merasakan suasana hidup gotong royong, hangat, gemah ripah loh jinawi," kata Anies usai pendaftaran di di kantor KPU DKI Jakarta. "Insya Allah kami komitmen menjalankan proses ini sebaik-baiknya dan kita ingin memastikan Pilkada Jakarta adalah Pilkada yang menyenangkan. Bukan Pilkada yang tegang, rasanya mau tempur, tapi justru Pilkada yang penuh kebahagiaan."
Anies belum kehilangan retorikanya, tapi kekuatan utamanya itu seperti berkurang ketika harus bicara hal-hal spesifik.
Ia selalu punya ungkapan-ungkapan kuat dan khas ketika menyoroti hal-hal yang lebih umum dan abstrak seperti kemerdekaan, demokrasi, politik bersih, pembangunan manusia Indonesia. "Kita ingin Pilkada ini menjadi festival gagasan, rencana, keahlian. Ajang kita, orang Indonesia, merayakan demokrasi yang sejuk," kata Anies.
Tapi ketika mulai menyinggung persoalan banjir dan kemacetan dan kemiskinan, tiga isu penting di Jakarta, Anies terdengar biasa saja dan seringkali kedodoran. Ketimbang bicara hal-hal kongkret seperti langkah-langkah yang akan ditempuhnya untuk mengentaskan kemiskinan, ia kembali ke retorika lamanya. “Kemiskinan itu bukan angka, kemiskinan itu rasa. Karena itu harus dirasakan, harus dekat," kata Anies ketika mengunjungi pemukiman warga di Kali Anyar, Tambora.
Sebelum menjalani tes kesehatan di RSAL Mintohardjo pada Sabtu 24 September silam, Anies bersama cawagubnya, Sandiaga Uno, memperkenalkan "Salam W" sebagai ciri khas. Anies dan Sandiaga berpose menyilangkan dua tangan yang hanya merentangkan jempol dan jari telunjuk, membentuk huruf "W".
"Ini artinya work to win, kerja untuk menang," kata Sandiaga.
Tapi salam ini kemudian tidak jadi dipakai sebagai salam khas kampanye keduanya. Pada Kamis, 20 Oktober 2016, Anies-Sandiaga meluncurkan logo resmi berupa gambar tangan berwarna merah dengan tulisan "Salam Bersama" di sisi kirinya. Salam ini pula yang resmi dipakai, menggantikan Salam W.
"Logonya tidak berwajah Anies dan Sandi. Ini tentang masa depan Jakarta," kata Anies. "Kami mengampanyekan salam bersama ini agar maju bersama. Sebagian dari kita belum maju, bahagia, dan sejahtera."
Seorang Anies Baswedan, yang terbiasa punya cita-cita dan rencana besar, tampak labil untuk urusan seremeh salam khas.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti