tirto.id - Selama enam hari empat ibu rumah tangga biasa menghuni tahanan. Dua di antaranya memiliki anak di bawah dua tahun yang jelas tak bisa ditinggal karena masih memerlukan asupan air susu ibu (ASI). Bayi tersebut akhirnya ikut bersama di tahanan kantor polisi hingga rumah tahanan negara di Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dalam sidang perdana di pengadilan negeri Praya, Lombok Tengah, Senin (22/2/2021) lalu, Ketua Majelis Hakim Asri mengabulkan penangguhan penahanan dengan jaminan sehingga para ibu bisa bebas sementara. "Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengeluarkan tahanan," kata Asri, Senin (22/2/2021). Para penjamin termasuk pejabat Pemerintah Provinsi NTB dan perwakilan keluarga.
Ibu-ibu ini ditahan karena terkait dengan kasus dugaan perusakan gudang tembakau berbahan seng di Desa Wajegeseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, NTB. Media setempat, Koran NTB, melaporkan para ibu melemparkan batu dan kayu karena polusi tembakau dari pabrik. Di sekitar pabrik terdapat anak-anak, bahkan ada yang terpapar dan sempat diperiksakan ke puskesmas. Protes memuncak setelah diduga pabrik tidak mempekerjakan warga setempat.
Kerusakan yang diklaim merugikan pabrik Rp4,5 juta sendiri hanya tampak pada atap seng bagian samping yang penyok.
Pemilik gudang dan perusahaan UD Mawar melaporkan perusakan ke Polres Lombok Tengah pada 26 Desember 2020.
Sekitar dua pekan kemudian, polisi memeriksa ibu-ibu dan selama itu tidak ditahan. "Tidak ada penahanan selama proses hukum yang dilakukan Polres Lombok Tengah," ujar Kepala bidang humas Polda NTB, Kombes Artanto, Minggu (21/2/2021).
Artanto mengklaim penyidik memediasi ibu-ibu dengan pihak pabrik lebih dari dua kali. Namun, karena tidak ada titik temu, penyidik melanjutkan kasus.
Sebulan berikutnya polisi menyatakan kasus rampung dan berkas dilimpahkan ke kejaksaan setempat. Dalam proses pelimpahan inilah para ibu-ibu ditahan.
Pekan lalu, Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Praya Abdul Haris mengatakan penahanan dilakukan karena tidak ada yang mengajukan surat penangguhan setelah berkas perkara tahap dua secara formil telah terpenuhi. "Dititipkan di Polsek Praya Tengah karena tidak ada yang menjamin atau pihak [yang] mengajukan surat penangguhan," kata dia, Jumat (19/2/2021) lalu.
Gubernur NTB dan DPR Turun Tangan
Kasus ini mencuat saat Kapolri baru berkomitmen kasus seperti Nenek Minah yang dihukum 1 bulan 15 hari karena mencuri tiga buah kakao pada 2009 silam tidak terulang lagi. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berujar kasus-kasus yang mengusik keadilan masyarakat seperti itu tidak boleh terulang dan polisi harus humanis tapi juga sekaligus tegas.
Kasus penahanan ini membuktikan pernyataan tersebut, meski hanya beberapa hari, cuma seumur jagung.
Tidak heran pula jika kemudian banyak yang protes. Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum Ahmad Sahroni misalnya, menyatakan polisi seharusnya melihat kasus secara utuh. "Ibu-ibu ini hanya memperjuangkan haknya untuk bisa menghirup udara bersih. Jadi, tidak bisa dibenarkan kalau tindakan ini harus berakhir di tahanan. Saya dari Komisi III menilai hal ini sudah tidak bisa dibiarkan dan para IRT itu harus dibebaskan," kata politikus Partai Nasdem ini.
Sementara Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan anggota DPR RI Sari Yuliati dilaporkan turun langsung memantau persidangan. Zulkieflimansyah menyebut datang ke pengadilan untuk mendampingi anggota Komisi III DPR guna "memastikan penangguhan". Lebih dari itu, karena "tidak bisa intervensi," dia berharap "hakim bisa memutuskan yang terbaik untuk para terdakwa."
Para ibu ini akan menghadiri persidangan lanjutan pada Kamis (25/2/2021) mendatang. Agenda sidang pembacaan nota keberatan atas dakwaan Pasal 170 KUHP tentang perusakan dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino