tirto.id - Koordinator Jaksa Agung Muda Perdata dan TUN Kejaksaan Agung Muhammad Dofir mengatakan, frasa "permufakatan jahat" dalam Undang-Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan pilihan kebijakan pembuat UU untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan secara luas dan sistematis.
"Pencantuman frasa permufakatan jahat didasarkan adanya keinginan kuat dari pembuat undang-undang untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis," ujar Dofir di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (11/4/2016).
Dofir menyampaikan hal itu saat memberikan keterangan dari pihak Pemerintah pada sidang uji materi UU Tipikor yang dimohonkan oleh mantan ketua DPR RI Setya Novanto.
Dofir mengatakan pemerintah menilai frasa tersebut dapat menjadi peringatan bahwa seseorang dapat dipidana, apabila memiliki niat untuk melakukan kejahatan. "Jadi, baru tahapan niat saja dapat dikenakan pidana," kata Dofir.
Sebelumnya Novanto sebagai pemohon menilai bahwa pengertian tentang "permufakatan jahat" yang menjadi acuan UU Tipikor tidak jelas dan berpotensi menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.
Novanto kemudian berpendapat bahwa frasa tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dari pakar hukum pidana.
Saat ini Novanto masih berstatus sebagai terperiksa dalam penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia.
(ANT)