tirto.id - Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) semakin merambah berbagai industri, tak terkecuali perfilman. Bukan hanya sebagai alat bantu, AI hadir dalam wujud aktris nyata bernama Tilly Norwood. Pemeran AI itu diciptakan oleh seorang aktor dan komedian Belanda, Eline Van der Velden, dari perusahaan produksi AI, Particle6.
Lalu, apa yang bisa kita bayangkan dari seorang aktris AI? Lewat akun Instagram @tillynorwood, sang kreator menggambarkan Norwood sebagai perempuan berambut cokelat yang menghabiskan banyak waktunya di kafe.
Pada sebuah unggahan bertanggal 30 Juli 2025, kreator juga memamerkan "peran pertama" Norwood dalam "AI Comissioner", yakni sebuah sketsa komedi dari Particle6 yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI.
"Saya mungkin AI, tetapi saya merasakan emosi yang sangat nyata saat ini. Saya sangat antusias dengan apa yang akan datang!" tulis kreator Norwood dalam keterangan unggahannya.
Di tengah panasnya perdebatan soal AI di Hollywood saat ini, Norwood tentu kecil kemungkinan bisa luput dari sorotan. SAG-AFTRA — salah satu serikat pekerja hiburan terbesar — mengecam kemunculannya dan menyebutnya sebagai penghinaan terhadap kerja para aktor manusia.
Lewat sebuah pernyataan, menukil dari BBC, Screen Actors Guild-American Federation of Television and Radio Artists atau SAG-AFTRA menyebut Norwood bukanlah seorang aktor, melainkan karakter yang dihasilkan oleh program komputer, yang dilatih berdasarkan karya para pemain profesional yang tak terhitung jumlahnya.
"Ia tidak memiliki pengalaman hidup untuk dieksplorasi, tidak ada emosi, dan dari apa yang telah kami lihat, penonton tidak tertarik menonton konten yang dihasilkan komputer yang terlepas dari pengalaman manusia," kata serikat tersebut.
Eline kemudian merilis postingan di laman Instagram Norwood yang menyatakan bahwa karyanya bukanlah pengganti manusia, melainkan sebuah karya kreatif atau sebuah karya seni. Seperti banyak bentuk seni sebelumnya, kata Eline, ia memicu percakapan, dan di situlah menunjukkan kekuatan kreativitas.
"Menciptakan Tilly, bagi saya, merupakan sebuah tindakan imajinasi dan keterampilan, mirip seperti menggambar karakter, menulis peran, atau membentuk sebuah pertunjukan," tulis Eline, seraya menambahkan bahwa karya-karya tersebut seharusnya dinilai "sebagai bagian dari genrenya sendiri" alih-alih dibandingkan dengan aktor manusia.
Penonton Hanya akan Rasakan Pengalaman Visual
Ketika membicarakan sinema, perjalanannya sendiri memang merupakan perjalanan teknologi yang terus menerus berkembang. Dari gambar diam, kemudian jadi gambar bergerak, gambar bergerak tanpa suara, gambar bergerak dengan suara, jadi berwarna, dan seterusnya.
Kemunculan aktor AI, karenanya, adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Sutradara Yosep Anggi Noen, cenderung membiarkan kehadiran itu. Akan tetapi, yang harus menjadi perhatian dan menjadi persoalan adalah diskusi mengenai etika.
“Ketika kemudian teknologi muncul, itu wajar. Tapi let's say bom atom. Kita tahu bahwa sebenarnya diskursusnya itu bukan persoalan kita meledakkan apa, tapi sekarang sudah menjadi diskursus etik kan. Jadi etik itu sebenarnya yang kemudian memang harus jadi perhatian yang lebih serius. Kita harus pay attention-nya lebih kuat ke persoalan itu,” kata Anggi lewat perbincangan telepon, Jumat (3/10/2025).
Di saat kreator memandang Norwood seni, sebagai pembuat film, bagi Anggi aktor adalah subjek yang bukan semata-mata memerankan sesuatu. Ia mengaku memiliki kebutuhan untuk berdiskusi dengan aktor dan semua elemen produksi film lainnya, dengan begitu aktor bukan sekadar organisme yang mati. Aktor dan aktris menumbuhkan pikiran, ide, dan gagasan.

“Jadi mereka [aktor] itu bukan organisme yang mati, yang kemudian disuruh-suruh. Mereka bukan wayang yang kemudian bisa digerakkan. Mereka itu organisme hidup yang bisa memberi input pada saya sebagai director, yang bisa memberikan gagasan pada saya, yang bisa memberikan tawaran level of kharisma keaktoran dan penokohan buat membuat karakter dia dalam film itu muncul dan hidup. Jadi itu bukan perkara teknis lagi sih,” tutur Anggi.
Pada akhirnya, kebutuhan kolaborasi dia dengan manusia, dalam hal ini aktor, merupakan faktor penentu keberhasilannya menyutradarai sebuah film. Sementara cara kerja AI keseluruhannya menggunakan prompt, sehingga aktor AI hanya akan disuruh-suruh.
“AI, teknologi, ini jadi tidak punya kesadaran sendiri, nggak punya conscious dan nggak punya subconscious dia sendiri sebagai bentuk yang ditonton oleh manusia,” kata Anggi.
Padahal, penonton terkoneksi dengan the human side of the screen alias manusia yang ada di layar, bukan terkoneksi dengan teknologinya. Maka, ketika koneksi penonton dengan layar palsu, dengan kata lain hanya dengan aktor AI, menurut Anggi, audiens hanya akan mendapat pengalaman visual.
“Padahal sinema itu bukan hanya pengalaman visual, sinema itu pengalaman emosional yang butuh attachment. Kita ngomongin misalnya animasi saja, animasi itu kan kita punya attachment kan, karena kita mengetahui bahwa itu manusia, bentuknya pensil yang bisa ngomong saja, kita melihatnya sebagai manusia,” kata Anggi.

Dengan begitu, maka akan ada diskoneksi lantaran teknologi yang cuman satu arah, berbeda dengan manusia yang bisa memberi masukan dan gagasan yang menghidupkan karakter. Anggi meyakini, penonton berbondong-bondong ke sinema lantaran punya keinginan terbentuk attachment antarmanusia, baik dengan sesama penonton, maupun dengan layar.
“Layar itu punya extension lho. Extension-nya apa? Perasaan, dan ya semua yang bisa kita rasakan dari layar itu,” tutur Anggi.
Aktor Manusia Tak Tergantikan
Segendang sepenarian, Pengamat Perfilman, Hikmat Darmawan, juga mengatakan adanya liveness dan chemistry dalam aktor. Itu kenapa, sepakat dengan pembuat film ternama Ben Affleck, ia optimis aktor manusia tidak akan pernah tergantikan.
“Kalau saya itu bukan orang yang anti teknologi gitu ya. Saya tuh santai aja dan tidak ketakutan, tapi juga tidak antusias. Karena buat saya sih biasa aja, toh AI udah dilakukan. Saya tau konsep AI dengan sangat menantang itu justru pada tahun 90-an akhir,” kata Hikmat kepada jurnalis Tirto, Jumat (3/10/2025).
Ia jadi berefleksi soal wacana seseorang membuat AI untuk bikin puisi. Saat mendengar cerita itu dahulu, ia menyambut dengan baik sebab penyair jadi bersaing dan dituntut memperdayakan akal budi.
“Kemudian saya membaca banyak soal neuroscience, para ahli neuroscience menyatakan bahwa banyak sekali optimisme terhadap AI itu dihembus-hembuskan oleh techbro dan Silicon Valley billionaires untuk bisnis mereka gitu, dengan kata lain ini jualan aja, salesman aja gitu.
Salah satu elemen penting dari jualan ini adalah menyederhanakan pemahaman tentang cara kerja otak manusia,” tutur Hikmat.
Jadi ia menganggap aktor AI semacam ini hanyalah “jualan” para perusahaan teknologi, sementara seniman akan bisa menciptakan lebih dari itu. Sejauh mana aktor AI lebih masif bermunculan, ia merasa hal itu mungkin tapi membiarkan hal tersebut terjadi. Sebab, dengan itu para aktor juga jadi bisa mengembangkan dirinya untuk bersaing.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































