Menuju konten utama

Kaukus Perempuan DPR Melempem Bela Kepentingan Perempuan di RKUHP

Beberapa pasal dalam rancangan KUHP berpotensi merugikan perempuan, tapi Kaukus Perempuan Parlemen belum mampu unjuk gigi memperjuangkan kepentingan perempuan.

Kaukus Perempuan DPR Melempem Bela Kepentingan Perempuan di RKUHP
Gabungan berbagai elemen masyarakat sipil serta LSM yang menamakan dirinya Aliansi Masyarakat Sipil Tolak RKUHP melakukan aksi di depan gedung DPR, senin (12/2/18). Aksi tersebut menuntut agar DPR menunda pengesahan dan melakukan kajian lebih mendalam terkait RUKHP. tirto.id/Bhagavad Sambadha

tirto.id - DPR sedang menyusun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Beberapa pihak menganggap RKUHP ini berpotensi merugikan kaum perempuan. Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (Puskapa UI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik termasuk yang menyuarakan persoalan ini.

Beberapa materi dalam RKUHP yang punya potensi merugikan kaum perempuan antara lain tentang Pidana Asal Usul Perkawinan, mempertunjukkan Alat Pencegahan Kehamilan dan Pengguguran, dan ihwal Perzinaan. Di dalam parlemen sebenarnya ada Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPP RI), yang jadi harapan menyuarakan kepentingan perempuan dalam RKUHP.

Sayangnya, suara kaukus perempuan di DPR yang terdiri dari wakil rakyat perempuan yang tersebar di seluruh fraksi dan komisi tidak menonjol selama pembahasan RKUHP. Aspirasi mereka dalam dunia maya juga nampak kering dalam mesin pencari di internet. Untuk kata kunci "Kaukus Perempuan Parlemen RKUHP" misalnya, suara vokal dan penolakan justru berasal dari luar parlemen, misalnya aksi Women's March, Sabtu (3/3).

Sekjen KPP RI, Irma Suryani Chaniago, menampik anggapan tersebut. Mereka sudah berusaha, tapi selalu kalah oleh anggota parlemen lain yang sebagian besar laki-laki.

"Kawan-kawan perempuan tidak dilibatkan. Suaranya kalah," kata Irma kepada Tirto, Rabu (7/3/2018). "Laki-laki itu tidak fair dalam melihat fakta-fakta yang merugikan perempuan," katanya.

Irma mengaku KPP sudah berkali-kali mengusulkan kepada Badan Legislasi (baleg) DPR agar mengubah redaksional pasal yang merugikan perempuan. Namun upaya itu "selalu mental." Menurutnya hal ini tidak hanya terjadi pada kasus RKUHP saja, tapi juga pembahasan Undang-undang lain.

Anggota KPP RI, Hetifah Sjaifudian, menyatakan pembahasan RKUHP di Panitia Kerja (panja) Komisi III didominasi oleh anggota dewan laki-laki. Di panja Komisi III hanya ada dua perwakilan perempuan, yaitu Erma Suryani Ranik dari fraksi Demokrat dan Dwi Ria Latifa dari fraksi PDIP. Sementara total perempuan di Komisi III hanya ada lima, berdasarkan situs resmi DPR RI.

"Minimnya perempuan dalam pansus jadi satu hal yang bikin peraturan di RKUHP masih banyak bias gender," kata Hetifah pada Tirto.

Ada 11 pasal dalam RKUHP yang menurut KPP merugikan perempuan. Di antaranya adalah Pasal 441 dan 443 tentang Pidana Asal Usul Perkawinan, Pasal 457 tentang Mempertunjukkan Alat Pencegahan Kehamilan dan Pengguguran, dan Pasal 460 tentang Perzinaan.

Pasal 441 ayat 1 poin b menyatakan "menghukum selama lima tahun penjara atau denda kategori IV (setara Rp300 juta) seseorang yang melangsungkan perkawinan, padahal diketahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan dari pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut."

"Ketentuan ini berpotensi mengkriminalisasi perempuan dalam posisi lemah yang terpaksa menikah dengan seorang pria beristri dikarenakan yang bersangkutan hamil, baik karena eksploitasi seksual atau tidak, mengalami perkosaan, iming-iming janji mengawini, dan lain-lain," kata Hetifah.

Pasal 443 menyatakan, "setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaporkan kepada pejabat yang berwenang tentang kelahiran, perkawinan, perceraian, atau kematian dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I."

Anggota DPR fraksi Golkar ini menyatakan pasal tersebut berpotensi memidanakan perempuan yang memiliki kesulitan untuk mengakses dokumen perkawinan resmi, karena ketidaktahuan atau ketidakmampuan membayar biaya administrasi.

Pasal 457 berbunyi, "setiap orang yang tanpa hak dan tanpa diminta secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I."

Menurut Hetifah larangan penyebaran informasi tentang kontrasepsi ini, berpotensi menghambat program kesehatan reproduksi dan akses layanan penyakit seksual menular termasuk HIV.

Pada pasal 460, menurut Hetifah, KPP RI menyoroti ayat 1 poin e yang memidanakan selama lima tahun, "laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan."

Pasal ini berpotensi meningkatkan jumlah pernikahan dini di Indonesia dan merusak terwujudnya program wajib belajar 12 tahun. Lebih buruk lagi, berpotensi menambah jumlah keluarga rentan yang berakibat kepada meningkatnya angka kemiskinan.

Hetifah mengatakan KPP sudah "meminta perhatian", tak lebih dari itu karena "yang bisa kami lakukan [memang] memberikan masukan." Namun, nampaknya tidak digubris karena pasal tersebut masih ada dalam draf terkini yang tersedia, per 2 Februari 2018.

Jika pasal yang merugikan perempuan ini bertahan, maka sebetulnya patut dipertanyakan apa yang berubah dari meningkatnya proporsi keterwakilan perempuan dari Pemilu ke Pemilu. Meminjam istilah Irwansyah, Anna Margret, Yolanda Panjaitan, dan Mia Novitasari dalam buku Paradoks Representasi Politik Perempuan (2013), situasi ini bisa disebut sebagai "paradoks": representasi politik perempuan meningkat, peraturan/kebijakan yang mendiskriminasi perempuan juga meningkat.

Persoalan ini mendapat respons anggota panja RKUHP dari F-PKS, Nasir Djamil. Ia berpedoman dengan fakta bahwa di Panja Komisi III ada perwakilan dua perempuan, sehingga tak tepat ada tudingan perwakilan perempuan tak dilibatkan. Nasir mengkritik sikap KKP RI yang menurutnya telat bersuara. "KPP RI seperti orang bangun tidur. Baru sekarang teriaknya. Kemarin-kemarin ke mana saja?" kata Nasir.

Ia tak sependapat adanya anggapan bahwa panja RKUHP tidak mendengar aspirasi perempuan. Ia mengaku siap menampung saran dari KPP atau kelompok perempuan lain. Menurutnya panja RKUHP Komisi III tidak ada maksud sama sekali untuk mendiskriminasi perempuan.

"Masih ada perbaikan kok, masak enggak kami akomodir," kata Nasir.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino