Menuju konten utama

Kasus Pembunuhan Driver Taksi Online & Perlindungan Setengah Hati

Para driver taksi atau ojek online menghadapi potensi kecelakaan dan tindakan kejahatan saat bekerja. Sejauh mana perusahaan mitra melindungi mereka?

Kasus Pembunuhan Driver Taksi Online & Perlindungan Setengah Hati
Moda transportasi berbasis aplikasi digital diharapkan dapat mengurangi pertumbuhan jumlah mobil melalui konsep carpool. FOTO/Istimewa

tirto.id - Jasad Justinus Sinaga, ditemukan dalam kondisi tak bernyawa dengan kaki dan tangan terikat pada 5 Maret 2018 lalu di kawasan Gunung Salak Endah, Pamijahan, Kabupaten Bogor. Sementara itu, mobil driver taksi online ini raib. Sebelum kejadian nahas itu, pada Sabtu (03/03) malam, Justinus mengantar penumpang ke lokasi kejadian.

Kasus pembunuhan yang menimpa driver taksi online bukan yang pertama. Pada 20 Januari 2018, jasad Deny Setiawan yang merupakan pengemudi GoCar ditemukan sudah tak bernyawa di Tembalang, Semarang. Pembunuhan ini diduga bermotif pencurian mobil karena mobil Nissan Grand Livina korban juga raib.

Kedua kasus ini menambah daftar panjang kejahatan terhadap driver atau pengemudi angkutan online. Tim riset Tirto setidaknya mencatat ada empat kasus serupa sejak 2016.

Pemerhati bidang Transportasi Yayat Supriatna mengatakan harus ada yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan driver atau pengemudi angkutan daring. Pihak pemberi kerja, dalam hal ini perusahaan aplikasi jadi pihak yang harus bertanggung jawab. Perusahaan aplikasi tak hanya menjamin risiko keselamatan dan jaminan terhadap kecelakaan di jalan.

"Kalau ada kejadian kecelakaan atau kejahatan siapa yang bertanggung jawab? Perusahaan," kata Yayat.

Bagaimana perusahaan aplikasi melindungi para pekerja yang sering disebut sebagai "mitra"?

Marketing Director Grab Indonesia, Mediko Azwar menyampaikan kepada Tirto lewat sambungan telepon bahwa untuk mengantisipasi hal-hal merugikan terhadap para mitra drivernya, mereka punya fitur bernama Help Center. Fitur yang sama juga bisa dipakai oleh penumpang Grab ketika menghadapi situasi serupa yang dialami driver.

"Jadi kalau di perjalanan driver atau passenger merasa terancam, kita bisa langsung klik fitur Help Center," kata Mediko.

Saya mencoba fitur Help Center tersebut. Menu Help Center berada di bagian bawah menu side bar. Setelah mengetuk menu ini, ada jeda loading beberapa saat dan kemudian akan muncul sejumlah pilihan, salah satunya "Keselamatan dan Kecelakaan".

Di dalamnya terdapat empat sub menu antara lain "saya mengalami kecelakaan"; "keselamatan saya terancam bahaya"; "aman dan nyaman bersama Grab"; dan "hubungi kami".

Ketika memilih "keselamatan saya terancam bahaya", saya malah dihadapkan pada formulir, alih-alih langsung mendapatkan notifikasi bahwa saya akan diselamatkan (atau sejenisnya). Saya diminta untuk mengisi pilihan perjalanan, kota, tanggal, jam, lokasi, cedera (opsional, jika ada), deskripsi kejadian minimal 35 karakter, dan foto. Semua harus diisi.

Apa yang saya rasakan dibenarkan sejumlah pengemudi. Mereka mengaku fitur ini tak banyak membantu dan kurang efektif. Naufal, 21 tahun, mengatakan mekanisme Help Center tidak akan membantunya kala menghadapi keadaan darurat, seperti situasi yang bisa mengancam keselamatan atau jiwa.

"Kalau gue sebagai korban sih, enggak membantu," katanya.

Naufal mengatakan pada saat darurat, dirinya membutuhkan bantuan yang instan dan bisa segera ditanggapi. "[Kalau harus isu formulir dulu] bukannya pertolongan, tapi malah saya yang tidak tertolong," kata Naufal.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Gito, 22 tahun, yang juga driver taksi online. "Enggak [efektif]. Kalau lapor butuh proses dan enggak langsung, sementara posisi lo terancam," katanya.

Saat perlindungan dari perusahaan mitra belum maksimal, maka mereka hanya waspada dalam bekerja. Misalnya, tidak mengambil penumpang terlalu malam, atau curiga bila penumpang lebih memilih jalur sepi meski masih ada jalan lain.

Bagaimana ketika terjadi kecelakaan? Apakah ada asuransi? Marketing Director Grab Indonesia, Mediko Azwar mengatakan perusahaan memberikan asuransi secara cuma-cuma setelah seseorang resmi terdaftar sebagai mitra.

"Kami akan menanggung biaya perawatan medis yang dibutuhkan oleh mitra pengemudi Grab Indonesia yang mengalami kecelakaan atau menjadi korban perampokan," kata Mediko.

Asuransi tidak termasuk kehilangan kendaraan. Jika itu yang terjadi maka kerugiannya ditanggung pemilik atau mitra.

Asuransi kecelakaan diklaim memang berlaku untuk seluruh pengendara Grab. Namun, yang terjadi di lapangan tidak semua driver mengetahuinya. Mamat, 42 tahun, misalnya, mengaku pernah mendengar soal asuransi kecelakaan, tapi ia merasa tidak pernah diberi tahu secara resmi.

"Kalau itu [Asuransi] saya kurang begitu paham," kata Mamat.

Sementara itu, Zurkhiban, 55 tahun, pengemudi GrabBike, mengaku ada pemberitahuan soal itu. Namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat ada insiden. Akibatnya meski telah beberapa kali mengalami kecelakaan, ia tidak mengajukan klaim. "Ya, saya enggak tahu," katanya.

Permasalahan serupa juga ada pada Go-Jek Indonesia. Husin, 60 tahun, yang sudah satu tahun berprofesi sebagai sopir Go-Car, mengaku pernah mendengar informasi soal asuransi, tapi selama ini tidak pernah mendapat pernyataan resmi dari perusahaan. Ia tak tahu menahu soal fasilitas asuransi bagi pengemudi dan mekanisme klaimnya.

"Katanya ada asuransinya. Cuma ini baru katanya. Tapi mana buktinya? Data kita kan mereka semua yang pegang, hubungi dong," kata Husin.

Go-Jek Indonesia melalui PR Manager, Rini Widuri Ragilia tak merespons konfirmasi Tirto saat ditanya ihwal perlindungan asuransi terhadap para mitra Go-Jek. Namun, pada laman resminya Go-Jek bekerja sama dengan asuransi Allianz memfasilitasi penyediaan asuransi kesehatan untuk mitra Go-Ride antara lain di Jabodetabek. Biaya premi dipatok Rp2.300/hari/orang. Selain mitra, istri serta anak para mitra juga bisa didaftarkan.

Infografik Current Issue kematian sopir transportasi online

Bagaimana Dengan Taksi Konvensional?

Saya bertemu dengan Wawan Ruswandi, 58 tahun, di depan pool Blue Bird, kawasan Tangerang Selatan. Wawan menuturkan, pada tiap unit taksi terdapat tombol emergency light. Ketika tombol ini ditekan, otomatis pihak operator akan mendapat sinyal darurat, dan lampu emergency yang berada di bagian pojok atas mobil akan menyala.

"Jadi pada saat kami dalam keadaan darurat, kalau injak tombol itu, operator tahu kalau [plat] nomor B sekian-sekian lagi butuh bantuan," kata Wawan.

Setelah operator mendapat sinyal darurat dari salah satu armadanya, mereka akan memerintahkan beberapa sopir lain yang jaraknya paling dekat untuk mendekat ke mobil yang mengirim sinyal. Untuk alasan kerahasiaan, Wawan enggan menyebut letak tombol emergency light pada kabin mobil.

Selain itu operator taksi Blue Bird pun dapat memantau pergerakan seluruh armadanya karena masing-masing mobil telah dipasangi GPS. "Blue Bird itu posisi di mana, kapan waktunya, itu sudah tahu. Jadi itu meminimalisir tingkat kriminalitas," tutur Wawan.

Operator Blue Bird juga turut memantau pemesanan taksi via aplikasi My Blue Bird. "Operator tahu [taksi] nomor sekian mau ke mana, nama pemesannya siapa, ketahuan," kata Wawan.

Wawan mengatakan selama 10 tahun menjadi sopir taksi konvensional, ia tidak pernah berada pada posisi yang memaksanya menyalakan emergency light. "Alhamdulillah belum pernah, jangan sampai," katanya.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino