Menuju konten utama

Kasus Firli dan Mengapa KPK Lambat dalam Menangani Perkara Etik?

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, permasalahan penanganan etik tidak semua berakhir kepada pelanggaran etik, termasuk dalam kasus Firli.

Kasus Firli dan Mengapa KPK Lambat dalam Menangani Perkara Etik?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ,Jakarta. tirto.id/Tf Subarkah

tirto.id - Kursi Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali kosong. Irjen Pol Firli yang dilantik tahun lalu diminta kembali oleh Mabes Polri dan ditugaskan sebagai Kapola Sumatera Selatan. Masalahnya, sebelum ditarik ia dugaan terlibat pelanggaran etik di komisi antirasuah.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mengkritik langkah tersebut. Sebab, ICW menilai penarikan Firli sebagai Deputi Penindakan KPK terkait dengan pelaporan dugaan pelanggaran etik yang pernah didukan ICW ke komisi antirasuah.

Kala itu, kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, lembaganya melaporkan Firli terkait dugaan pelanggaran etik, karena mantan Kapolda NTB itu pernah bertemu dengan pihak yang kasusnya sedang diselidiki komisi antirasuah.

“ICW pada Oktober tahun lalu telah melaporkan Irjen Firli atas dugaan pelanggaran etik ke KPK. Laporan ini bukan tanpa dasar, beberapa pemberitaan telah jelas membuktikan bahwa yang bersangkutan bertemu secara langsung dengan Tuan Guru Bajang (TGB) pasca Firli dilantik sebagai Deputi Penindakan. Di sisi lain KPK tengah menyelidiki perkara korupsi divestasi Newmont yang diduga melibatkan mantan Gubernur NTB tersebut,” kata Kurnia dalam keterangannya.

ICW beranggapan perbuatan Firli telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU KPK, yakni setiap pegawai KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK.

Kurnia mengatakan, Firli bahkan terancam sanksi pidana 5 tahun akibat pelanggaran tersebut. Namun, sebelum dugaan pelanggaran etik tersebut diputus, Polri terlebih dulu menarik Firli dari KPK.

ICW pun menyoroti upaya kepolisian yang langsung menarik Firli tanpa menunggu keputusan etik KPK. Pertama, kata Kurnia, Polri tidak menghargai proses pemeriksaan internal yang sedang dilakukan oleh KPK. Penarikan Firli, kata dia, justru tidak membuat terang penanganan perkara etik di KPK.

“Sebagai instansi penegak hukum, Polri dapat memahami bahwa KPK sedang menyelesaikan mandat dari laporan masyarakat terhadap dugaan pelanggaran etik yang diduga melibatkan Irjen Firli. Maka dari itu baiknya Polri menunggu hasil dari pemeriksaan internal KPK, bukan justru malah menarik Firli sebelum putusan internal dijatuhkan,” kata Kurnia.

Kedua, kata Kurnia, ICW memandang Polri abai dalam memperhatikan rekam jejak dalam proses kepangkatan. Sebab, kata dia, Firli punya banyak masalah dalam penindakan di internal KPK.

ICW mengutip salah satu petisi yang menyatakan mandeknya penanganan penindakan di KPK, seperti hambatan penanganan perkara, tingginya tingkat kebocoran informasi, perlakuan khusus kepada saksi, kesulitan penggeledahan, dan pembiaran dugaan pelanggaran berat.

Selain mengkritik Polri, ICW juga mengkritik KPK. Sebab, kata Kurnia, KPK tidak memroses etik Firli secara cepat karena pelaporan diproses sampai 6 bulan sejak diterima.

“Terhitung lebih dari enam bulan pasca laporan yang ICW sampaikan, namun hingga hari ini putusan tidak kunjung dijatuhkan oleh Pimpinan KPK. Ini sekaligus menegaskan bahwa Pimpinan KPK tidak mempunyai komitmen yang tegas dalam penegakan etik di internal KPK,” kata Kurnia.

Tidak Cuma Firli

ICW juga menyoroti penegakan etik lain di luar kasus Firli. Dalam catatan ICW, misalnya, ada tujuh pelanggaran etik yang menonjol dengan tujuh pihak.

Selain kasus Firli, enam perkara lain adalah Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam kasus ujaran terhadap HMI, mantan Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman dalam kasus melawan perintah datang ke Pansus KPK di DPR, Novel Baswedan dalam kasus mengirimkan e-mail protes kepada Aris tentang rekrutmen penyidik, penyidik Roland dan Harun yang melanggar etik akibat merusak bukti dalam insiden "buku merah", kemudian kisah Pahala Nainggolan yang diduga melanggar etik karena memberikan surat dalam sengketa arbitrase dua perusahaan.

Dalam catatan yang sama, kasus pelanggaran etik yang menonjol tidak semua diproses etik. Beberapa kasus etik ada yang tidak selesai, antara lain kasus Aris Budiman serta Ronald dan Harun. Mereka kembali ke instansi asal, yakni kepolisian meski proses etik berjalan. Semestinya, kata dia, KPK bertindak lebih responsif dalam kasus etik.

“Atas kejadian ini maka KPK juga mesti diberikan catatan serius. Beberapa kali terlihat dengan sangat jelas adanya hambatan di internal KPK untuk mengusut tuntas beberapa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh tiap-tiap pegawainya,” kata Kurnia.

Karena itu, kata Kurnia, ICW meminta KPK tidak abai dalam penegakan etik. Sebab, penanganan etik akan mempengaruhi pandangan publik.

“Jangan sampai abai serta lambatnya penanganan etik di KPK justru akan mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah itu," kata Kurnia.

Respons KPK

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang angkat bicara mengenai kritik ICW. Menurut Saut, permasalahan penanganan etik tidak semua berakhir kepada pelanggaran etik. Hal ini termasuk dalam kasus Firli dan kasus lain yang ditangani KPK.

“Harus dipahami dulu, setiap case masalah yang terkait dengan tugas-tugas Deputi PIPM (Pengawasan) tidak semua berujung masalah kode etik, jadi kalaupu ada pemeriksaan belum semua berujung pada Masalah Etik dan sanksi," kata Saut saat dikonfirmasi reporter Tirto, Sabtu (22/6/2019).

Saut mengatakan, setiap kasus berbeda sesuai Peraturan Komisi/Perkom 7/2013 tentang nilai-nilai Dasar Pribadi, Kode Etik dan Pedoman Prilaku yang di dalamnya ada nilai-nilai dasar terkait relegiusitas, integritas, kepemimpinan, profesionalisme dan keadilan (RI-KPK).

Menurut Saut, setiap potensi pelanggaran akan didalami oleh Komite Etik atau Dewan Pertimbangan Pegawai ( DPP). Produk dari Komite Etik dan DPP ini dapat berupa sanksi ringan, sedang dan berat bagi pegawai KPK maupun pimpinan KPK. Namun, tidak semua berujung kepada pelanggaran etik.

“Ambil contoh yang Anda sebut soal Pahala Nainggolan, tifak ada conflict of intrest di situ walau justru ada unsur lain di luar KPK yang conflict di situ, pimpinan [KPK] Jilid IV firm di situ," kata Saut.

Saut menegaskan, sanksi etik lebih mengedepankan sanksi administrasi seperti teguran, potong gaji, tidak naik pangkat, turun pangkat, ganti rugi, hingga diberhentikan.

Akan tetapi, kata Saut, sanksi tersebut berlaku selama aktif sebagai pegawai KPK. Jika tidak, kata dia, baik mengundurkan diri, ditarik, sering bolos kantor lalu dipecat, maka hasil dari DPP/ Komite Etik menjadi tidak relevan alias prosesnya berhenti.

Di saat yang sama, kata Saut, pimpinan tetap bertindak walau harus mengambil keputusan sulit. Secara pribadi, Saut masih beranggap kinerja Firli lebih baik dan itu bisa dibuktikan dari proses penanganan perkara di KPK dalam setahun terakhir.

“Publik boleh cari data sejak yang bersangkutan masuk KPK seperti apa penindakan dalam kualitas dan kuantitas perkara yang ditangani KPK,” kata Saut.

Saut pun menegaskan, pelepasan Firli tidak ada masalah. Acara pelepasan bahkan dihadiri seluruh jajaran pimpinan deputi, direktur hingga satgas. Ia pun menyampaikan pesan khusus sebelum Firli meninggalkan KPK.

Baca juga artikel terkait KINERJA KPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz