Menuju konten utama

Kasus Brigadir J Harus Lanjut ke Pidana Obstruction of Justice

Upaya menghilangkan bukti rekaman CCTV menjadi salah satu adanya obstruction of justice pada kasus Brigadir J, menurut ICJR.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (kanan) didampingi Wakapolri yang juga Ketua Timsus Polri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (kiri) berjalan sebelum memberikan keterangan pers terkait tersangka baru kasus dugaan penembakan Brigadir J di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (9/8/2022). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti perihal dugaan tindak pidana menghalang-halangi proses penyidikan (obstruction of justice) dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Upaya menghilangkan bukti rekaman kamera pengawas (CCTV) menjadi salah satu adanya obstruction of justice pada kasus Brigadir J, menurut ICJR.

Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto pada awal kasus ini dibuka kepada publik sempat menyatakan bahwa kamera pengawas rumah Irjen Pol Ferdy Sambo telah rusak dua pekan sebelum kejadian.

“Namun hingga saat ini masih belum jelas bagaimana kelanjutan proses pemeriksaan terhadap Kapolres Jaksel,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu, dalam keterangan tertulis, Kamis (11/8/2022).

Selain proses penyidikan kematian Brigadir Yosua, ICJR kembali menyerukan bahwa proses penyidikan terhadap tindak pidana obstruction of justice yang dilakukan oleh para anggota Polri juga harus berjalan.

Tidak hanya berhenti sampai sidang dan sanksi etik, namun proses pidana terhadap semua pelaku juga tetap harus ditempuh.

“Pasal 221 KUHP telah secara jelas mengatur ancaman pidana terhadap pihak-pihak yang menghilangkan atau menyembunyikan bukti-bukti dengan maksud supaya tidak dapat diperiksa untuk kepentingan penegakan hukum,” terang Erasmus.

Bahkan hukuman terhadap pelaku yang menjabat sebagai aparat penegak hukum tersebut seharusnya bisa diperberat dibanding jika pelakunya warga sipil, sebab aparat diberi kewenangan besar yang disalahgunakan.

Kasus ini akan menjadi salah satu uji coba terkait penggunaan Pasal 221 KUHP tentang menghalangi penyidikan bagi pelaku yang justru berasal dari aparat penegak hukum.

“Meski selanjutnya ketentuan pidana terhadap obstruction of justice juga masih perlu diperkuat, khususnya dalam upaya pembaruan hukum pidana melalui RKUHP yang prosesnya masih bergulir saat ini,” ujar Erasmus.

KUHP Indonesia belum mengatur secara khusus terkait rekayasa kasus atau rekayasa bukti (fabricated evidence). Perbuatan yang juga tergolong sebagai menghalang-halangi proses peradilan tersebut bisa dalam bentuk menyampaikan bukti, keterangan palsu, atau mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam proses peradilan.

Pengaturan ini perlu diperberat apabila dilakukan oleh pejabat dalam menjalankan proses peradilan. Bahkan bisa diperberat lagi apabila pejabat melakukan hal tersebut dengan tujuan agar seseorang yang tidak bersalah menjadi dinyatakan bersalah oleh pengadilan atau dilakukan dengan maksud agar seseorang mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya.

Pada kasus kematian Brigadir Yosua, Polri menetapkan empat tersangka yakni Bharada Richard Elizer, Bripka Ricky Rizal, KM, dan Irjen Pol Ferdy Sambo. Menurut perannya masing-masing, penyidik menerapkan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, dengan ancaman maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun.

Baca juga artikel terkait KASUS BRIGADIR J atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto