tirto.id - Aroma tegang tersaji di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, kala Timnas Indonesia kelompok usia muda U-19 menghadapi Vietnam di laga final Piala Asean Football Federation (AFF) pada 2013. Lewat drama adu penalti, Evan Dimas Darmono dkk akhirnya berhasil menang dengan skor tipis 7-6 dan membawa Indonesia sebagai juara di Piala AFF untuk pertama kali dalam sejarah.
Keberhasilan Timnas U-19 saat itu boleh dibilang membanggakan. Sekaligus mengembalikan ‘senyum’ para pecinta sepak bola Tanah Air. Wajar saja, skuad Garuda sudah puluhan tahun puasa gelar – terakhir kali berhasil meraih medali emas di SEA Games pada 1991 era Rochi Putiray dkk.
Euforia kemenangan Timnas U-19 saat itu terasa sekira satu, dua, dan tiga bulan pasca pertandingan. Para pemain dielu-elukan. Mereka disebut sebagai paras masa depan sepak bola Indonesia. Bahkan skuad besutan Indra Sjafri kala itu membuat Evan Dimas dkk mulai dilirik oleh klub-klub profesional liga satu.
“Di level kelompok usia, tim sepak bola Indonesia bisa dikatakan memiliki prestasi yang membanggakan,” ujar Pemerhati Sepak Bola, Rosnindar Prio Eko Rahardjo, kepada Tirto, Selasa (21/1/2025).
Namun sayangnya, para pemain pada generasi kelompok usia muda itu layu sebelum berkembang. Evan Dimas dkk tak mampu bersaing hingga level senior di klub-klubnya. Satu per satu para pemain yang turut meloloskan Kualifikasi Piala AFC U19 2014 itu, justru meredup seiring menginjak usia emasnya sebagai pesepakbola.
Jika berkaca dari lima liga top Eropa, para pemain sepak bola rata-rata puncak karier usianya pada 27,4 tahun. Tapi secara umum, mereka mulai mencapai puncaknya antara usia 26 dan 29 tahun. Hanya saja ini akan sangat tergantung dengan posisi yang mereka mainkan.
Evan Dimas misalnya. Di usianya yang belum genap 30 tahun, kapten Timnas U-19 itu justru memilih gabung di klub Liga 3, Persiba Balikpapan. Pria kelahiran 13 Maret 1995 itu bukan sebagai pemain, melainkan menjadi salah satu stakeholder klub tersebut. Keputusan ini diambil tak lama setelah ia didepak dari Persik Kediri - klub yang menaunginya sejak pertengahan Maret 2024.
Evan Dimas diketahui hanya sekali tampil selama 22 menit sebagai pengganti saat Persik dipermalukan PSBS 1-0 di Kediri. Tanda-tanda penurunan performa Evan Dimas sudah terlihat saat dipinjamkan Arema FC ke PSIS pada musim 2023/2024 lalu. Evan Dimas hanya tampil delapan partai, namun masih mampu mencetak satu gol.
Kondisinya berbeda ketika membela Arema FC di musim 2022-2024. Kala itu Evan Dimas bermain dalam 36 pertandingan dengan membuat dua gol dan satu assist. Tentu ini menjadi penurunan drastis yang berlangsung kurang dari tiga tahun selama penampilannya di kasta tertinggi liga domestik.
Nasib apes lainnya turut dialami oleh Maldini Pali yang juga merupakan rekan satu tim Evan Dimas di Timnas U-19 pada 2013. Meski sempat bersinar pasca juara Piala AFF dan mencicipi berbagai klub liga satu, kini kariernya ikut meredup seiring perjalanannya sebagai pesepakbola profesional.
Setelah membawa Timnas U-19 juara, Maldini Pali sempat ditarik oleh PSM Makassar di penghujung 2013. Ia bahkan diikat kontrak jangka panjang dengan durasi empat tahun. Namun, yang kemudian terjadi justru di luar harapan. Pemain kelahiran Mamuju ini kesulitan menembus skuad inti tim Juku Eja.
Belum habis masa kontrak, pria kelahiran 27 Januari 1995 itu akhirnya dilepas PSM karena dinilai kurang memberikan kontribusi. Ia kemudian bergabung dengan Bhayangkara FC sejak akhir 2016. Di klub milik Polri yang merekrut cukup banyak alumni Timnas U-19 itu, Maldini Pali tetap terpuruk. Ia bertahan kurang dari tiga bulan, lalu dicoret dari skuad Bhayangkara FC jelang Liga satu Indonesia 2017 dimulai.
Setelah namanya sempat menghilang, Maldini Pali kembali muncul. Pada Oktober 2024, pemain lini depan itu memutuskan terjun di liga amatir bersama Persewangi Banyuwangi.
Jika ditarik lebih jauh, sejatinya bukan hanya Evan Dimas dan Maldini Pali yang tidak mampu menjaga konsistensi sehingga kariernya meredup. Beberapa pemain mantan rekan satu tim Evan Dimas lainnya juga sudah tak bersinar di era keemasannya dulu.
Zulfiandi misalnya, pemain lini tengah bersama Evan Dimas justru memutuskan istirahat karena merawat ibunya yang sakit di Aceh. Kemudian Ilham Udin Armaiyn justru pulang kampung ke Ternate dan bergabung dengan skuad Malut United FC. Namun kondisi terkini Ilham Udin juga beberapa kali absen karena cedera.
Tapi dari sekian jebolan piala AFF U-19 2013, hanya Dimas Drajad yang sempat mengisi slot Timnas Indonesia di putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Ia masih terbilang moncer meskipun keterlibatannya dengan Persib musim ini tak terlalu maksimal.
“Saat ini hanya Dimas Drajat yang menjadi satu-satunya pemain angkatan Evan Dimas yang masih memperkuat timnas Indonesia,” sebut Rosnindar yang juga sebagai Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bahauddin Mudhary Madura itu.
Bahkan, kata pria yang akrab disapa Rossi Rahardjo itu, generasi Evan Dimas yang masih bermain di level Liga 1 bisa dihitung jari. Sebut saja Hansamu Yama yang kini bermain di klubnya Persija Jakarta, Ilham Udin (Malut United), Dimas Drajat (Persib Bandung), dan Paulo Sitanggang (PSS Sleman).
Pengamat Sepak Bola, Aun Rahman, melihat sejatinya masih ada banyak sekali bakat yang ternyata pas mudanya luar biasa, tapi kemudian di usia matang justru performanya turun. Selain Evan Dimas dkk, kata dia, bisa dilihat juga generasinya Alan Martha dan Syamsir Alam – jebolan Timnas U-19 di bawah pelatih Cesar Payovich.
Alan Martha dan Syamsir Alam merupakan duet pemain lini depan Timnas Indonesia U-19 di 2010. Kolaborasi keduanya tak hanya terjadi di Timnas Indonesia U-19, tapi juga di tim Sociedad Anonima Deportivo (SAD) Uruguay.
Namun, setelah kembali ke Indonesia, karier sepak bola Alan Martha meredup. Sempat membela Sriwijaya FC, Kalteng Putra, Celebest FC hingga Persikad Depok, Alan Martha kemudian memutuskan pensiun dini di usia 25 tahun pada 2018.
Sementara Syamsir Alam sempat menyandang status wonderkid di persepakbolaan Indonesia. Hanya saja setelah malang melintang berkarier di luar negeri dan menjajal beberapa klub liga satu, Syamsir Alam justru mengambil career break di usia 25 tahun. Ia sempat comeback dengan memperkuat RANS Nusantara selama dua tahun (2021-2023) sebelum kembali memilih pensiun.
Kondisi ini tentu saja menjadi dinamika dalam karier pesepakbola Indonesia bahkan dunia. Karier pemain bisa mengalami penurunan, terutama saat mereka mencapai usia yang seharusnya menjadi puncak kemampuan mereka.
Faktor Meredupnya Karier Pesepakbola
Menurut Rossi Rahardjo, setidaknya ada beberapa faktor yang membuat para pemain seperti Evan Dimas dkk layu ketika masuk usia matang. Salah satunya adalah kedisiplinan, baik soal disiplin latihan maupun makanan.
“Hansamu Yama pernah mengakui suka mengonsumsi nasi bungkus dan gorengan. Evan Dimas diketahui kerap mengonsumsi mie instan dan gorengan. Selain pemain-pemain tersebut juga ‘malas’ meng-upgrade skill dan kemampuannya,” sebut dia.
Di luar masalah di atas, menurut Aun Rahmah, ada dua faktor lain menyebabkan para pemain muda redup di usia matangnya. Pertama faktor psikologis pemain. Kedua banyak dari mereka pemain profesional mengalami burnout.
Burnout adalah suatu keadaan ketika seseorang pemain terlalu lelah, baik secara fisik, mental, maupun emosional. Saat mengalami kondisi tersebut, pemain cenderung kehilangan minat dan motivasi untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas yang sebelumnya dianggap penting baginya.
“Makanya kita lihat banyak banget yang belum sampai 30 tahun atau baru 30 awal aja udah turun banget,” ujar Aun Rahman.
Masalahnya, kata dia, timnas kelompok usia muda di era Evan Dimas dkk digembleng pasca menjuarai Piala AFF 2013. Dalam persiapan menuju Piala Asia U-19 saat itu, tak didesain dengan baik, bahkan cenderung mengeksploitasi para pemain.
Pemain calon bintang seperti Hansamu Yama, Ravi Murdianto, Muchlis Hadi Ning, Maldini Pali, dkk, saat itu harus menjalani pemusatan latihan jangka panjang. Sudah tak berkompetisi, mereka dipaksa keliling negeri untuk menjalani uji coba tak berkualitas melawan klub lokal. Rangkaian uji coba bertajuk Tur Nusantara itu kemudian menjadi buah simalakama bagi timnas U-19.
“Ketika mereka seharusnya tidak bermain sebanyak itu atau seintensif ya, ini berpengaruh. Dan sayangnya, saya ngerasa aspek psikologis itu nggak benar-benar diperhatikan,” imbuh Aun Rahman.
Di samping itu, kata Aun, faktor lain menjadi momok paling menakutkan bagi karier pesepakbola adalah masalah cedera. Ini sejalan dengan temuan dari survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pesepak Bola Profesional (PFA) yang mengungkapkan bagaimana rasa takut cedera memengaruhi pemain profesional secara negatif.
Survei dilakukan PFA tersebut menemukan bahwa rasa takut cedera mempengaruhi kesehatan mental pemain. Lebih dua pertiga dari 1.000 pemain (68 persen) yang disurvei mengatakan, ketakutan akan cedera mempengaruhi kesehatan mental mereka. Lalu sebanyak 45 persen mengatakan hal tersebut memengaruhi performa mereka di lapangan dan 41 persen takut cedera dapat menyebabkan mereka dikeluarkan.
“Ada banyak pemain yang kemudian karier yang menurun, karena gak mau operasi. Ketika nggak mau operasi kan akhirnya tadi cedera parah,” ujarnya.
Pengamat sepak bola, Rossi Finza Noor, melihat penurunan performa antara satu pemain dengan pemain lain tentu berbeda - dan tidak bisa dipukul rata. Karena faktanya para pemain yang tampil di klub Eropa, puncak usia kariernya juga di bawah 30 tahun.
“Ambil contoh, Dele Alli. Itu kan dia sudah bermain bahkan sebelum usianya 20, dan dia terlihat mencapai puncaknya itu justru di awal 20-an ya. Makanya kemudian ketika dia meredup sebelum usianya 30 itu banyak sekali orang yang heran,” jelas dia.
Dele Alli memang sempat dianggap sebagai salah satu talenta berbakat yang dimiliki Inggris. Bergabung dengan Tottenham Hotspur pada Februari 2015, dirinya bersinar pada usia muda. Ia memulai debut di bawah asuhan Mauricio Pochettino saat berusia 19 tahun.
Pada musim perdana, Dele mampu mengantarkan The Lilywhites bertengger di posisi ketiga klasemen English Premier League (EPL). Ia juga tampil menjanjikan dengan koleksi 10 gol dan 11 assist dari 40 penampilan di semua kompetisi.
Namun seiring dengan performanya pada usianya yang masih 26 tahun, karier Dele Alli terjun bebas. Terakhir kali ia bermain saat membantu Inggris menang kontra Swiss pada penentuan juara ketiga UEFA Nations League.
“Ada beberapa yang saya baca, yang saya dengar itu persoalan mental. Bagaimana dia menjaga dirinya sendiri itu jadi persoalannya Dele Alli,” ujar Rossi saat dihubungi Tirto, Senin (20/1/2025).
Pembinaan Atlet Sepak Bola Menjadi Kunci
Namun terlepas dari persoalan di atas, kuncinya, menurut Aun Rahman, adalah pembinaan atlet usia muda. Ini menjadi pondasi awal untuk masa depan sepak bola Indonesia. Hal ini bisa dimulai melalui pelatihan dan pengembangan yang tepat, bakat-bakat muda dapat dibentuk menjadi pemain berkualitas yang akan berperan dalam tim nasional.
Karena dengan pembinaan usia muda yang kuat, memastikan bahwa standar permainan terus berkembang. Semakin banyak pemain berbakat yang tumbuh melalui akademi atau program usia muda, maka semakin kompetitif pula liga dan turnamen di masa depan.
“Pengembangan pemain muda juga berkontribusi pada peningkatan partisipasi dalam olahraga. Semakin banyak anak muda yang diberi kesempatan untuk berkembang, semakin luas basis pemain sepak bola, yang pada akhirnya memperkaya kualitas talenta,” ujar Aun.
Rossi Rahardjo, memahami selama ini pembinaan sepak bola usia muda Indonesia sejauh ini memang kurang maksimal. Sebab para pemain sepak bola yang ada liga saat ini adalah hasil dari pembinaan level usia dini yang mungkin ‘keliru’. Terlebih tidak adanya kurikulum yang sama di setiap Sekolah Sepak Bola (SSB).
“Di SSB, sangat jarang saya lihat ada pematangan teknik pemain, apalagi belajar gameplay. Di SSB, pelatih lebih senang langsung melakukan match. Padahal match itu ibarat ujian. Materi pembelajaran itu ya latihan gameplay, teknik, dan lainnya,” kata dia.
Sementara itu, Rossi Finza Noor, menambahkan masalah pembinaan ini tidak boleh lepas dari grand plan sepak bola itu sendiri. Di samping memang, para pemain ini juga harus paham mengenai teknik-teknik dasar dulu. Ketika itu sudah bisa dipahami, baru kemudian belajar penempatan posisi dalam permainan, taktik, segala macam.
“Jadi, hal-hal tersebut ya harus menurut saya diperhatikan. Kalau misalkan ingin membentuk seorang pemain,” pungkas dia.
Dari segi pembinaan, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) memastikan bahwa pembinaan pemain sepak bola usia muda di Tanah Air terus dilakukan. Bahkan tidak terlewatkan untuk semua kategori tim nasional.
"Kami pastikan bahwa pembinaan usia muda tetap kami lakukan, enggak ada (kategori usia) yang enggak kami lakukan," kata Anggota Executive Committee (Exco), Arya Sinulingga, sebagaimana dilansir Antara.
Ia mengatakan pembinaan usia muda terus berjalan. Ini terbukti dengan masuknya Timnas Indonesia semua kategori (U-17, U-20, U-23, dan senior) pada Piala Asia. Pencapaian ini, kata di, belum pernah terjadi dalam sejarah sepak bola Indonesia. Bahkan, Indonesia juga menjadi bagian dari sembilan negara di Asia yang semua kategori timnasnya masuk ke Piala Asia.
Penulis: Dwi Aditya Putra & Alfitra Akbar
Editor: Abdul Aziz