tirto.id - Pemerintah Indonesia menyesalkan tindakan kapal dinas perikanan Vietnam yang menabrak KRI Tjiptadi-381, milik TNI Angkatan Laut, dengan sengaja di perairan Natuna, Sabtu (27/4/2019). Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI telah menyampaikan protes kepada Pemerintah Vietnam atas kejadian tersebut.
Kemenlu juga telah memanggil perwakilan Kedutaan Besar Vietnam di Indonesia, Senin (29/4/2019) kemarin.
Juru bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir mengatakan tindakan kapal Vietnam tidak sejalan dengan hukum internasional.
"Intinya bahwa tindakan yang dilakukan oleh kapal dinas Vietnam sangat membahayakan personel, baik dari KRI maupun dari kapal Vietnam itu sendiri," kata Arrmanatha di Kantor Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Pengamat militer dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengapresiasi langkah Kemenlu. Namun, ia menyebut pemerintah tidak boleh berhenti pada protes.
Ke depan, kata dia, mesti ada peningkatan jumlah armada dan personel yang yang berjaga di laut perbatasan, termasuk juga pengerahan drone yang beberapa waktu lalu pernah diwacanakan. Dengan begitu, kapal-kapal asing yang hendak melanggar batas dapat lebih dulu dihalau sehingga konflik bisa dihindari.
"Lebih baik dihindari karena kalau berlanjut, kan, bisa serius," kata Khairul kepada reporter Tirto, Selasa (30/4/2019).
Khaerul menambahkan, pemerintah juga mesti menegaskan tapal batas di laut dengan negara-negara tetangga agar kejadian serupa tak terulang. Menurutnya, hal itu penting dilakukan lantaran Vietnam mengklaim kejadian tersebut terjadi di wilayahnya.
Pertegas Zona Ekonomi Eksklusif
Pendapat senada juga disampaikan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KASAL) Laksamana TNI (Purn) Ade Supandi. Ia mengatakan pemerintah harus segera menyelesaikan pembahasan soal Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan Vietnam.
Menurut Ade, ketidakjelasan soal batas ZEE menyebabkan tumpang tindihnya klaim antara Indonesia dan Vietnam. "Kalau belum selesai, pasti selalu ada singgungan," kata Ade saat dihubungi reporter Tirto.
Ade bercerita, di masa baktinya sebagai KASAL provokasi serupa juga sering terjadi. Hanya saja, bentuknya tidak sampai menabrak dengan sengaja. Provokasi umumnya dilakukan dengan memotong haluan atau menghalangi kapal perang.
Dalam kesempatan berbeda, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menambahkan, Indonesia dan Vietnam perlu menyusun aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan (rules of engagement), guna menghindari insiden serupa.
"Sayangnya, aturan seperti demikian belum ada di antara negara ASEAN yang memiliki klaim tumpang tindih," ujar Hikmahanto sebagaimana diberitakan Antara, Senin (29/4/2019).
Lebih lanjut, insiden dua kapal tersebut terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Artinya, negara pantai mempunyai hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di laut, tapi wilayah itu bukan lah laut teritorial yang berada di bawah kedaulatan negara.
Namun, permasalahannya Indonesia dan Vietnam belum punya perjanjian mengenai batas ZEE tersebut.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Gilang Ramadhan