Menuju konten utama

Soal Tabrakan Kapal, RI-Vietnam Dinilai Perlu Buat Aturan Bersama

Pemerintah Indonesia dan Vietnam dinilai harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan untuk menghindari insiden yang mungkin terjadi di wilayah Laut Natuna Utara.

Soal Tabrakan Kapal, RI-Vietnam Dinilai Perlu Buat Aturan Bersama
Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana (kiri) dan pakar Politik dan Keamanan Internasional Kusnanto Anggoro mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi I DPR terkait kerja sama dan perjanjian internasional di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (15/1/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/wsj.

tirto.id - Demi menghindari insiden yang mungkin terjadi di wilayah Laut Natuna Utara, pemerintah Indonesia dan Vietnam harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan atau rules of engagement.

Hal itu disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana di Jakarta, Senin (29/4/2019).

"Insiden yang terjadi di Wilayah Laut Natuna Utara karena adanya klaim tumpang tindih antara Indonesia dengan Vietnam atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)," kata Hikmahanto.

Pendapat tersebut disampaikan terkait insiden yang terjadi di Laut Natuna Utara antara kapal TNI AU KRI Tjiptadi 381 dan kapal otoritas perikanan Vietnam pada Sabtu (27/4/2019).

Menurutnya, insiden itu terjadi karena TNI AU merasa berwenang melakukan penangkapan terhadap kapal nelayan Vietnam, tapi di sisi lain otoritas Vietnam dengan kapal penjaga pantainya merasa KRI Tjiptadi 381 tidak berwenang melakukan penangkapan.

Karenanya, lanjut dia, untuk menghindari kejadian seperti ini berulang, pemerintah yang memiliki klaim tumpang tindih harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan.

"Sayangnya, aturan seperti demikian belum ada di antara negara ASEAN yang memiliki klaim tumpang tindih," ucap Hikmahanto.

Dari klaim tumpang tindih itu kedua otoritas menyatakan diri berwenang yang kemudian menyebabkan insiden penabrakan oleh kapal penjaga pantai Vietnam yang ingin membebaskan kapal nelayannya dari penangkapan oleh KRI Tjiptadi 381.

Ia mengatakan, ZEE bukanlah laut teritorial di mana berada di bawah kedaulatan negara (state sovereignty). ZEE merupakan laut lepas di mana negara pantai mempunyai hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut.

Hingga saat ini, kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE. Akibatnya, nelayan Vietnam bisa menangkap di wilayah tumpang tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya.

"Beruntung, awak KRI Tjiptadi 381 tidak terprovokasi untuk memuntahkan peluru," tutur Hikmahanto.

Dalam hukum internasional terlepas dari siapa yang benar atau yang salah, pihak yang memuntahkan peluru terlebih dahulu akan dianggap melakukan tindakan agresi.

"Dalam insiden ini, pemerintah Indonesia melalui Kemlu dapat melakukan protes dengan cara memanggil Duta Besar Vietnam. Protes bukan atas pelanggaran masuknya kapal nelayan dan kapal otoritas Vietnam ke ZEE Indonesia mengingat wilayah tersebut masih disengketakan. Protes dilakukan atas cara kapal coast guard Vietnam yang hendak menghentikan KRI Tjiptadi 381 dengan cara penabrakan," jelasnya.

Hikmahanto mengungkapkan, penyelesaian atas insiden ini harus dilakukan melalui saluran diplomatik antara kedua negara dan tidak perlu dibawa ke Lembaga Peradilan Internasional.

"Membawa ke Lembaga Peradilan Internasional memiliki kompleksitas. Pertama akan sangat memakan biaya yang akan melebihi biaya yang diderita oleh KRI Tjitadi 381, terlebih antarnegara ASEAN sudah seharusnya menyelesaikan sengketa dengan mengedepankan cara-cara musyawarah untuk mufakat," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait KISRUH PERAIRAN NATUNA

tirto.id - Hukum
Sumber: Antara
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Maya Saputri