Menuju konten utama
Mesin Waktu

Kanker Sosial Membayang, Seperti Becermin di Hadapan Jose Rizal

Karya-karya José Rizal menggetarkan lutut kolonial. Kiwari, apa yang ia kritik hidup kembali: politikus, agamawan, dan pesohor, semuanya bertindak lancung.

Kanker Sosial Membayang, Seperti Becermin di Hadapan Jose Rizal
Diorama eksekusi mati Jose Rizal di Rizal Park. tirto.id/ Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Pria itu mengenakan pakaian necis untuk momentum yang suram. Sederhana dan berwibawa: setelan jas dengan dasi hitam, kemeja putih, juga sepatu hitam. Dilengkapi dengan topi bowler.

Dini hari, 30 Desember 1896, orang-orang berkumpul di Lapangan Bagambayan. Menghadap laut di tepi barat Manila, José Rizal, seperti ingin melancong ke karnaval di detik-detik akhir hidupnya.

Senapan meletus. Rizal ambruk. Seorang martir telah lahir sebagai pahlawan kemerdekaan Filipina. Rizal tewas dieksekusi pasukan tentara kolonial Spanyol karena dianggap pembangkang.

Letnan regu tembak sempat bertanya, apakah Rizal ingin menutup matanya dengan kain? Ia menolak. Rizal meminta ditembak dari arah depan. Ia hendak melihat pembunuh dan pelor yang akan menerjangnya secara langsung. Permintaan tak dikabulkan.

Ia ditembak dari belakang untuk menghinanya, agar wajahnya tersungkur ke tanah saat maut menjelang. Namun, ada pula yang menyebut saat tubuhnya hendak jatuh ke tanah, Rizal sekuat sisa tenaganya memutar badan. Barangkali hendak melihat untuk yang penghabisan, langit Filipina yang diperjuangkannya bebas dari penjajahan.

Hari pertama Desember 2024. Berjarak 128 tahun sejak José Rizal menjadi ikon kemerdekaan dan perlawanan bangsa Filipina atas cengkeraman penjajahan, Bagambayan telah berubah menjadi Luneta Park alias Rizal Park.

Saya berdiri di tempat Rizal dieksekusi mati pasukan kolonial Spanyol. Langit digelayuti kelabu sejak pagi. Siang itu, hujan rintik jadi teman perjalanan saya mengunjungi Rizal Park. Sunyi merambat di tempat tubuh mendiang Rizal ambruk.

Lokasi José Rizal ditembak mati pasukan Spanyol kini dinamai The Martyrdom of DR. Jose Rizal. Tempatnya di tepian Rizal Park, di sisi kanan patung figur José Rizal yang berdiri gagah di depan taman publik seluas 58 hektare.

Saksi bisu ini dilengkapi diorama. Ada patung Rizal yang seolah tumbang menyongsong maut. Di belakangnya, berbaris lima orang eksekutor pasukan Spanyol yang tengah mengangkat bedil.

Pepohonan tegap nan rindang yang melingkari titik maut itu seolah menghormati duka. Suasana hening, rinai tak henti menetes. Hanya ada dua pengunjung lain yang sibuk memotret.

Di sekeliling diorama eksekusi, terdapat beberapa patung lain yang menggambarkan momen terakhir Rizal. Relief pada tembok menuturkan kehidupannya sejak kecil hingga jadi “Si Nomor Satu Filipina”.

Karya yang Menggetarkan Lutut Kolonial

José Protacio Rizal Mercado y Alonso Realonda lahir pada 19 Juni 1861 dan dikenal luas sebagai pahlawan nasional Filipina. Ia seorang ilustrado atau kaum terpelajar pada abad-19, polyglot, novelis, seniman, revolusioner, martir, dan berbagai sematan lainnya.

Rizal juga seorang jurnalis, dramawan, bahkan seorang dokter yang ahli di bidang penglihatan. Namun yang pasti, kebolehan Rizal menulis merupakan tinta api yang memantik Revolusi Filipina.

Dua karya fiksi Rizal, yakni Noli Me Tangere (1887) dan ElFilibusterismo (1891), menggetarkan lutut kolonial Spanyol dan para elite lokal yang jadi kroni penjajah. Keduanya dikritik dan ditelanjangi Rizal sehingga tabiat busuk mereka tampak terang.

Harold Augenbraun dalam kata pengantar Touch Me Not (2006) yang jadi terjemahan dari novel Noli Me Tangere, menyebut dua novel Rizal bisa dibilang merupakan ekspresi artistik terawal dari pengalaman kolonial [bangsa] Asia dari sudut pandang kaum tertindas.

Dalam satu korespondensi dengan kawannya, Mariano Ponce, Rizal menulis, “Seseorang cuma mati sekali, dan jika orang tidak mati dengan baik, [maka] kesempatan yang baik akan hilang dan tak pernah datang lagi.”

Patung Jose Rizal di Rizal Park

Patung Jose Rizal di Rizal Park, Manila. tirto.id/ Mochammad Fajar Nur

Rizal tahu betul melawan tindakan kesewenang-wenangan kolonialisme bisa dikoyak dengan pena. Ia bukan revolusioner yang menganut jalan senjata. Dalam salah satu surat kepada pengajarnya ketika studi di Eropa, Rizal menulis tentang pandangannya dalam berkarya, “Siapapun yang ingin membangkitkan tak mungkin dilakukan dengan lembek dan perkataan enteng, namun dengan ledakan, [dengan] hempasan,” tulisnya.

Agaknya, yang artistik dan membombardir sikap lancung memang dapat menghasilkan teror. Rizal sontak dikenal luas di Filipina usai novel Noli sampai di negeri asalnya. Kala itu, ia memang sedang melakukan pengembaraan intelektual di Eropa.

Di negeri orang pula Rizal bertemu jejaring intelektual Filipina atau yang dikenal sebagai para ilustrados. Nama Rizal masuk daftar merah di Filipina sebab membuat novel yang berpotensi mengguncang status quo kekuasaan kolonial Spanyol. Ketakutan di kubu kolonial itu terbukti nyata.

Segera setelah kembali ke Filipina pada 1891, Rizal ditangkap dan diasingkan ke Dapitan di pulau selatan Mindanao. Rizal dibuang ke Mindanao selama empat tahun, dan keluarganya terus mendapatkan penganiayaan. Pada 1896, ia didakwa melakukan subversi dan didakwa hukuman mati.

Penangkapan dan pengasingan Rizal mengejutkan sekaligus memantik amarah rakyat Filipina yang selaras dengan jalan pikiran antikolonial Rizal. Mereka melihat simbol kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat, telah mati.

Pada malam hari 7 Juli 1892, sekelompok intelektual dari kalangan yang lebih proletar dan beragam, digalang Andres Bonifacio bersama Valentin Diaz, Teodoro Plata, Ladislao Diwa, Deodato Arellano, dan beberapa tokoh lainnya mendirikan sebuah gerakan rahasia bernama Katipunan di Tondo, Manila. Di bawah kepemimpinan Bonifacio, Katipunan menetapkan tiga tujuan dasar: politik, moral, dan sipil. Dasar politik yakni pemisahan Filipina dari Spanyol.

Belakangan, Bonifacio selaku pimpinan Katipunan, menyerukan pemberontakan bersenjata melawan Spanyol. Peristiwa tersebut sekaligus menandai dimulainya Revolusi Filipina (1896-1898) atau kerap disebut Perang Tagalog. Bonifacio sangat menghormati Rizal meski berbeda jalan dalam melakukan gerakan perlawanan antikolonial.

Benedict Anderson dalam buku Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial (2015) menyatakan bahwa Rizal tidak mengenal Bonifacio secara pribadi, dan barangkali Bonifacio pernah mendengar Rizal berbicara hanya satu malam. Tapi Katipunan menjadikan Rizal presiden kehormatan mereka. Katipunan kerap kali menutup diskusi pertemuan mereka dengan seruan, “Hidup Dr. Rizal!”.

“Jelas itu karena tokoh-tokoh revolusioner yang diciptakan Rizal di Noli Me Tangere dan El Filibusterismo,” tulis Anderson.

Menurut Anderson, apa yang dilakukan RIzal di Noli Me Tangere adalah menciptakan dalam imajinasi sebuah masyarakat Filipina yang utuh dan kontemporer. Masyarakat yang silang sengkarut antara para pejabat teras kolonial, para penjudi kampung, intelektual penyempal, penggali kubur, romo-romo Katolik, informan polisi, orang-orang gila kedudukan, putra altar, aktris, jagoan-jagoan kota kecil, bandit, kaum reformis, tukang kayu, gadis-gadis remaja, hingga kaum revolusioner.

Sedangkan dalam El Filibusterismo, Rizal, menurut Anderson, mengangankan keruntuhan akan politik masyarakat kolonial dan penghapusan kaum berkuasa secara nyaris mutlak.

“Sampai saat itu tidak ada orang Filipina lain yang pernah memimpikan kemungkinan macam itu, apalagi memasukkan impian tersebut ke ranah publik,” ujar Anderson.

Hari-Hari Busuk, Karya Rizal Masih Relevan

Sebelum berkeliling di Rizal Park, saya sempat berteduh di depan pos keamanan taman. Para pengunjung dan penjual makanan berlarian mencari naungan. Seorang petugas keamanan keluar dari bilik pos dan berbicara dalam bahasa Tagalog.

Ketika saya balas dengan bahasa Inggris bahwa saya tidak mengerti maksudnya, ia agak terkejut. Pria berseragam cokelat dan topi bundar ala polisi Latin ini lantas melanjutkan percakapan dengan bahasa Inggris.

“Maaf, saya kira kamu Filipino. Kamu tampak sama saja [dengan orang sini],” katanya sambil tertawa.

Petugas itu bertanya, apakah saya ingin berkeliling Rizal Park meskipun hujan? Saya jawab tentu, sebab ini hari terakhir saya di Filipina. Ia lantas kembali ke bilik posnya dan keluar lagi sambil menenteng sebuah payung berwarna hijau. Pria itu berkata, “saya dengar Indonesia dan Malaysia sangat menghormati Rizal.”

Diorama eksekusi mati Jose Rizal

Diorama eksekusi mati Jose Rizal di Rizal Park. tirto.id/ Mochammad Fajar Nur

Saya tersenyum seraya menerima payung miliknya. “Betul, kami menghormati Rizal, salah satu pahlawan Indonesia, Tan Malaka, kagum kepadanya.”

“Wah, [saya] pernah dengar dia, [Tan Malaka] pernah tinggal di Manila. Memang betul, kalian [orang Indonesia] mirip [seperti kami],” ucapnya sambil menawarkan tos tinju. Petugas itu lalu menegaskan bahwa payung tersebut buat saya saja dan tidak usah dikembalikan. “Gapapa, gratis pakailah,” kata dia.

Melongok tempat eksekusi mati Rizal, memang mengingatkan saya dengan Tan Malaka. Ia menghormati Rizal dan menganggapnya seorang kesatria. Bapak republik yang terlupakan itu memang pernah tinggal di Filipina dalam beberapa kesempatan.

Sepanjang 1925-1927, Tan tercatat tiga kali ke Manila. Alias yang dipakai berganti-ganti: Hasan Gozali, Elias Fuentes, Estanislau Rivera, Howard Law, sampai Cheung Kun Tat. Ia memang eksil dari kejaran polisi Hindia Belanda sebab menggerakkan perlawanan antikolonial di Indonesia.

Dalam pelariannya di Filipina, Tan sempat tertangkap pada Agustus 1927 karena dijebak. Ia sontak mengisi halaman muka berbagai surat kabar di Filipina. Tan disebut orang Jawa yang menjadi agen propaganda Bolshevik di Filipina. Kendati demikian, tak sedikit surat kabar itu membela perjuangan antikolonialisme Tan Malaka.

Seperti dicatat Majalah Tempo edisi khusus Tan Malaka (2008), kartun di harian El Debate menggambarkan guardia civil, polisi koloni yang represif, yang berusaha menangkap Tan. Ia digambarkan berada dalam bayang-bayang dua ikon revolusi Filipina: Jose Rizal dan Plaridel, julukan bagi Marcelo del Pillar. Tan bebas setelah pendukungnya membayar 6.000 peso sebagai jaminan. Namun pemerintah kolonial Amerika di Filipina mengusirnya karena tuduhan paspor palsu.

Mantan Presiden Filipina, Manuel Quezon, bersaksi soal momen pengusiran Tan: ”Waktu dia akan ke pelabuhan, dia melewati patung Jose Rizal. Hati sangat terharu melihat dua orang pahlawan: yang satu patung telah menjadi batu, yang lain masih hidup berjiwa. Dua orang pahlawan kemerdekaan; pahlawan tuan-tuan dan pahlawan kami…” tulis Majalah Tempo.

Filipina dan Jose Rizal memang bukan sesuatu yang amat liyan bagi Tan Malaka. Ia nyaman dan leluasa di sana sebab kemiripan fisik dan bahasa Tagalog yang cepat dikuasainya. Ia bahkan punya harap Filipina bersatu menjadi bagian dari Indonesia. Kamerad yang sama-sama berjuang mengusir kolonialisme juga tak sulit ditemukannya di sana. Namun lebih dari semua itu, dia menemukan relevansi dan semangat perjuangannya dari Revolusi Filipina yang dipicu dua tokoh: Rizal dan Bonifacio.

Tan menulis soal relevansi perjuangan Filipina dan Indonesia dalam tulisan Semangat Muda (1926), “Kalau semuanya Buruh, Tani, Saudagar, Student, Penduduk kota, Jongos, Shauffeur, Serdadu, Matros, Tukang Cukur, Koki d.s.g mau merebut kemerdekaan dan rela mengorbankan jiwa seperti Rakyat Filipina tempo hari, maka kemerdekaan kita letaknya di ujung pena saja: 'Besok Republik Indonesia bisa ditabalkan (diproklamasikan)'."

Kembali ke hari ini, berkunjung ke Rizal Park membuat saya merasa api perlawanan yang dimulai José Rizal lewat goresan tintanya dalam novel Noli terus menemui relevansinya. Bagaimana tidak, aras sosial-politik yang dikuliti Rizal sebagai bentuk dari kanker sosial masih terus terjadi meski negeri-negeri Asia telah lama merdeka dari jajahan kolonialis.

Rizal dalam Noli menulis berbagai aktor yang melanggengkan kanker sosial. Pertama, para politikus yang serakah, haus harta benda serta niretika tanpa sikap negarawan, sebagaimana terpatri dalam tokoh kapten Tiago.

Kedua, tokoh agamawan yang rusak secara moral dan spiritual. Mereka bermental feodal dan tidak malu menggunakan agama meraup keuntungan pribadi. Tokoh culas seperti ini dalam Noli tergambar dalam karakter Padre Damaso dan Padre Salvi. Agamawan rusak semacam ini juga tidak segan memakai pengaruhnya untuk bertindak cabul.

Ketiga, eksistensi sosialita atau pesohor seperti karakter Dona Victorina yang menggunakan jejaringnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Para pesohor tanpa kualitas ini diterima oleh kalangan elite dan terus menjilat untuk menggenjot kasta sosial mereka. Sosialita dan para pesohor ini tak akan ragu bertindak lancung hanya untuk mendengungkan propaganda Kekuasaan.

Hari ini, penindasan terhadap rakyat bersalin rupa menjadi kekuasaan berjubah otoritarian. Demokrasi di berbagai negara memang berkembang, namun bayang-bayang otoritarian tak juga pudar.

Kediktatoran berganti wajah lewat cara-cara yang terlihat legal. Seraya bertindak sewenang-wenang dengan mengakali hukum dan mengikis kedaulatan rakyat. Kemunduran demokratisasi terus terjadi. Baik di Filipina, maupun di Indonesia.

Seandainya saya bertemu José Rizal hari ini, mungkin saya akan berkata kepadanya: "Bung, kita memang sama."

Baca juga artikel terkait PERLAWANAN TERHADAP KOLONIALISME atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi