tirto.id - Akibat ditjekal masuk Indonesia sedjak 1972 karena menerbitkan “Cornell Paper”, ilmuwan politik Benedict Anderson baru dapat kembali mengundjungi negeri tertjintanja pada 1999, setelah harto orde bau gulung tikar tergilas krismon Asia.
Karena tak mungkin meneliti Indonesia dan tidak tahu sampai kapan pentjekalan bakal berlangsung, Ben Anderson mau tidak mau harus melebarkan sajap. Selama 27 tahun absen dari Indonesia, dia mendjadi ahli jang berpengaruh dalam tiga bidang lain, masing2 nasionalisme, Thailand jang sering disebutnja Siam, serta Filipina.
Memang Anderson achirnja terkenal sebagai pakar nasionalisme, lebih dari ‘sekadar’ spesialis Asia Tenggara. Bukunja Imagined Communities sudah diterdjemahkan ke dalam paling sedikit 29 bahasa, tentu termasuk bahasa Indonesia dengan djudul Komunitas-Komunitas Terbajang. Seolah ber-olok2, tentang pergeseran spesialisasi ini, dalam otobiografinja, A Life beyond Boundaries (2016), Anderson masih djuga merasa bersjukur kepada si orang kuat orde bau. “Kalau tidak diusir,” tulisnja, “tidak mungkin saja akan menulis Imagined Communities”.
José Rizal dan Surabaja 1912
Indonesia, Thailand, Filipina dan nasionalisme, itulah jang achirnja djadi empat spesialisasi Benedict Anderson. Satu per satu bidang itu terbatja djelas dalam The Spectre of Comparisons (1998), sebuah buku jang membentangkan pengetahuannja jang luas, mendalam, dan terperintji tentang tiga negara Asia Tenggara dan nasionalisme. Mana mungkin Serat Tjenthini, Soetomo dan José Rizal bisa tampil dalam satu buku, dengan kutipan2 dalam bahasa2 Djawa, Thai, Melajoe, Tagalog, Spanjol dan Belanda? Di sini terlihat betapa Anderson tidak tertandingi.
Dalam buku jang tidak terlalu terkenal di Indonesia itu, Anderson memuntjulkan tiga artikel chusus tentang Filipina, dua di antaranja mengenai José Rizal (1861-1896), bapak bangsa Filipina, jaitu The First Filipino (bab 10: halaman 227-234) dan Hard to Imagine (bab 11: halaman 235-262). Dua bab chusus tentang José Rizal! Satu bab tentang orangnja dan kehebatannja, satu bab lagi tentang karjanja dan betapa bermasalahnja terdjemahan kedua novel Rizal, masing2Noli me tángere dan El filibusterismo. Tentang ‘Filipino Pertama’ ini (gelar kehormatan bagi Rizal) Anderson menegaskan jang paling hebat pada Rizal adalah istilah jang dikemukakannja “el demonio de las comparaciones” atau iblisnja perbandingan.
Istilah itu muntjul dalam adegan tatkala Juan Crisóstomo Ibarra, tokoh utama Noli me tángere, kembali ke Manila, setelah lama menetap di Eropa; bukan hanja di Madrid, tapi djuga di Paris, Gent (Belgia) dan Berlin. Dalam perdjalanan menggunakan sado, Ibarra melihat kebun raja Manila dan segera teringat pada kebun2 serupa (tapi lebih indah) di Eropa. Dia mendjadi sedih melihat kebun raja Manila, sementara dibandingkan dengan Eropa, kota lama Manila tampak seperti gadis muda jang mengenakan gaun neneknja tatkala si nenek masih seusia si gadis. Perbandingan Eropa Manila inilah jang oleh Rizal disebut sebagai “el demonio de las comparaciones”.
Menurut Anderson istilah itu membuktikan kesadaran Rizal bahwa tidak mungkin lagi dia berpikir tentang Berlin (tempat Noli me tángere terbit) tanpa memikirkan Manila dan begitu pula sebaliknja, tidak mungkin lagi berpikir tentang Manila tanpa ingat Berlin. Pemikiran seperti ini muntjul karena Rizal pada achir abad ke-19 itu bisa berkeliling Eropa dan beladjar bahasa2 Djerman, Prantjis serta Inggris, selain djuga fasih berbahasa Spanjol dan Latin berkat sekolah di Manila.
Sebagai seorang polyglot (fasih banjak bahasa) Rizal segera sadar betapa terbelakangnja Spanjol dan Madrid, djika dibandingkan dengan (ibukota) negara2 Eropa lain. Ia djuga mampu mengedjek penguasa di Madrid persis seperti orang2 Spanjol mengedjek para indios, jaitu inlanders-nja Filipina. Anderson berpendapat bahwa kemampuan Rizal membandingkan Filipina dengan Spanjol dan kemudian membandingkan Spanjol dengan negara2 Eropa lain inilah jang merupakan asal usul nasionalisme—nasionalisme jang muntjul dan hidup berkat perbandingan dan itu tertuang sebagai karja sastra.
Inilah fondasi buku Imagined Communities. Dalam buku jang berpengaruh itu Anderson lebih mendasarkan nasionalisme pada José Rizal dan Filipina. Anderson djelas lebih tertarik pada nasionalisme jang berdasarkan karja sastra, ketimbang nasionalisme jang muntjul karena alesan2 lain. Bahkan supaja bisa memahami Noli me tángere dalam bahasa aslinja, Anderson sampai merasa perlu untuk beladjar bahasa Spanjol. Dengan berhasil menundjuk kelemahan2 terdjemahan bahasa Amerika novel José Rizal, terbukti betapa dia berhasil menguasai bahasa Spanjol.
Jang djelas, porsi Indonesia dalam Imagined Communities tidak sebanjak porsi Filipina—paling banter Anderson hanja mengutip Soewardi Suryaningrat. Dalam pamflet “Als ik eens Nederlander was” (seandainja dalam sekedjap sadja aku ini orang Belanda, terbit 1913), Soewardi dengan sinis mengedjek rentjana pemerintah kolonial untuk merajakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari pendjadjahan Prantjis di hadapan bumiputra Hindia jang mereka djadjah sendiri. Sinisme Soewardi—jang waktu itu memang merupakan gaja menulis baru di Hindia Belanda—tjuma tertuang dalam satu pamflet, sementara edjekan Rizal bisa setebal dua buku dan sudah terbit pada abad 19. Tidaklah mengherankan djika Anderson pada achirnja memilih Rizal.
Mendjeladjahi internet, saja berhasil menemukan Noli me tángere dalam terdjemahan bahasa Belanda karja A. A. Fokker. Tidak ditegaskan dari bahasa apa terdjemahan ini dilakukan. Menilik beberapa tjatetan kaki dan lafalnja, bisa djadi sumbernja dari bahasa Spanjol, bahasa asli novel itu. Maklum, dunia sastra Belanda memang selalu melakukan terdjemahan karja sastra langsung dari bahasa aslinja. Sampai di sini djelas tidak ada jang istimewa, karena banjak karja sastra dunia jang diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
Untuk kita, menariknja, novel terdjemahan itu diterbitkan di Surabaja pada 1912 oleh penerbit harian Soerabajasch Handelsblad sebagai tjerita bersambung, sebelum achirnja terbit sebagai buku. Sajangnja, edisi2 harian Soerabajasch Handelsblad jang memuatnja sebagai tjerita bersambung belum berhasil ditemukan. Nationaal Archief (arsip nasional Belanda) memiliki koran ini untuk edisi 1865-1908 dan 1929-1942. Dengan begitu, edisi tahun 1909, 1910, 1911 dan 1912 masih harus ditjari.
Dalam The Spectre of Comparisons (1998: 252), Anderson menjebut novel jang berperan kuntji bagi bangkitnja nasionalisme Filipina ini sudah diterdjemahkan ke dalam bahasa2 Hindi, Prantjis, Indonesia, Inggris, dan bahasa Rusia. Anderson jang begitu mengagumi Rizal dan telah menggunakan istilah tjiptaan pahlawan Filipina ini untuk mendjuduli bukunja itu, tidak menjebut bahwa Nolime tángere sudah pula diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
Andai sadja mendiang Indonesianis ini tahu bahwa terdjemahan bahasa Belanda sudah ada dan buku itu terbit di Surabaja, bisa djadi dia akan terkedjut dan segera menelaah kwalitas terdjemahannja. Apakah lebih baik dari terdjemahan jang ada di Filipina?
Jang pasti menarik bagi Ben adalah bahwa dalam buku ini istilah2 bahasa Tagalog tidak diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda, melainkan ke dalam bahasa Melajoe. Misalnja sinigang diterdjemahkan sebagai pindang (ikan jang diawetkan), kemudian salákot diterdjemahkan sebagai toedoeng jang dalam edjaan sekarang ditulis sebagai tudung. Pendjelasan makna istilah Melajoe itu ditjantumkan sebagai tjatetan kaki.
Jang mungkin tidak terbajangkan oleh pembatja Indonesia zaman sekarang adalah bahwa nasionalisme Filipina itu djuga muntjul berkat edjekan sinis jang tak henti2nja dilontarkan Rizal terhadap kalangan rohaniwan. Tokoh2 djahat baik dalam Noli me tángere maupun El filibusterismo memang rohaniwan: pastor2 ordo Fransiskan jang brutal, rohaniwan Dominikan jang hanja suka main2 dan pastor2 Jesuit jang haus kekuasaan. Menghadapi tokoh2 tjulas seperti itu Rizal dengan tadjam menulis edjekan sehingga Anderson mentjatat bahwa kedua karja fiksi bapak bangsa Filipina ini merupakan satire tanpa ampun terhadap kalangan rohaniwan.
Penjimpangan sistematis dan politik terdjemahan
Dalam artikel keduanja tentang José Rizal (berdjudul Hard to Imagine alias sulit membajangkan), Anderson lebih memusatkan pembahasannja pada Noli me tángere, novel pertama Rizal. (Pembahasan El filibusterismo dilakukan Anderson dalam buku Under Three Flags, terbit 2005). Antara lain diuraikan bagaimana novel batjaan wadjib tiap siswa SMA Filipina itu ternjata telah setjara sistematik dibuat menjimpang ketika diterdjemahkan ke dalam bahasa Amerika, jang mendjadjah Filipina setelah sempat merdeka dari pendjadjahan Spanjol.
Noli, begitu sering disingkat, aslinja ditulis dalam bahasa Spanjol dan terbit di Berlin pada 1887, tatkala Rizal berusia 26 tahun dan mengembara di Eropa, antara lain untuk mendalami ilmu kedokteran di Spanjol. Empat puluh tiga tahun kekuasaan Amerika (1899-1942) sampai kedatangan balatentara Dai Nippon berhasil melenjapkan bahasa Spanjol dari bumi Filipina, ketjuali di kalangan segelintir keluarga kaja, baik mestizo (berdarah tjampuran) maupun creolles (orang Spanjol kelahiran lokal atau Amerika Latin).
Sepeninggal Djepang, bahasa Amerika tetap bertahan dan bahasa Spanjol tidak kembali. Oleh karena itu, buah pena Rizal harus diterdjemahkan ke dalam bahasa Amerika. Keharusan itu makin mendesak mendjelang perajaan 100 tahun kelahiran Rizal pada 1961. Untuk menjambutnja pada achir 1950an diselenggarakan sajembara bagi penerdjemahan itu. Pemenangnja adalah Leon Maria Guerrero (1915-1982) jang pada waktu itu masih mendjabat dutabesar Filipina untuk Inggris. Dalam posisi itu termasuk kefasihannja berbahasa Inggris dan Spanjol serta keluarganja jang begitu terpandang, maka sangat aneh kalau sampai begitu banjak penjimpangan dalam terdjemahan Guerrero jang djelas begitu bermasalah.
Ben Anderson lantas mendaftar tudjuh penjimpangan jang menurutnja begitu sistematis dalam terdjemahan Guerrero, jakni demodernisasi, penjingkiran peran pembatja, penghilangan bahasa Tagalog, pembuangan istilah atau adegan jang dianggap tidak senonoh, penjingkiran lokasi, penjingkiran unsur maupun faktor Eropa serta jang terpenting: anakronisme. Jang terachir ini berarti bahwa penerdjemahan itu disesuaikan dengan perkembangan terachir jang terdjadi di Filipina, dan bukannja taat pada karja asli jang djelas mendahului perkembangan Filipina sesudah itu.
Tentu sadja Anderson tidak berhenti pada tudjuh penjimpangan sistematis jang berhasil ditemukannja dalam terdjemahan Guerrero. Jang hebat dalam artikel ini, Anderson menganalisa lebih landjut bagaimana mungkin penjimpangan sistematis itu bisa terdjadi, bahkan dilakukan oleh orang sekaliber Leon Maria Guerrero. Anderson menundjuk dua faktor penting: perubahan fundamental dalam kesadaran nasional Filipina jang terdjadi antara 1890 dan 1950 dan jang tidak kalah pentingnja adalah dalam kurun waktu 70 tahun itu di Manila telah bangkit apa jang disebut “nasionalisme resmi”.
Nasionalisme seperti itu melihat pahlawan sebagai tokoh jang harus dihormati dan bukan dikagumi; bukan didengar apalagi dibatja. Menurut Anderson, Rizal jang resmi seperti ini bisa dilihat sebagai patung lilin di museum Intramuros, dia berdiri tegak dan memegang kedua novelnja jang tertutup serta puisi terachirnja jang berdjudul Mi último adiós (selamat tinggalku jang terachir). Puisi ini ditulis mendjelang eksekusi Rizal pada bulan desember 1896, karena tuduhan jang tidak benar bahwa dia telah mengobarkan pemberontakan Andrés Bonifacio.
Walau begitu Anderson tidak terlalu puas dengan dua faktor itu. Menurutnja perubahanan fundamental masjarakat Filipina serta tegaknja “nasionalisme resmi” tetap tidak bisa mendjelaskan penghilangan bahasa Tagalog, penjingkiran unsur maupun faktor Eropa serta anakronisme. Pada titik ini, Anderson berpaling pada imperialisme Amerika dan dampaknja. Dampak jang terpenting itu bagi Anderson adalah bergantinja bahasa pengantar Filipina dari bahasa Spanjol mendjadi bahasa Amerika, persisnja Inggris-Amerika. Pergantian bahasa ini menjebabkan orang Filipina punja djatidiri jang lain sebagai sebuah bangsa jang merdeka.
Pembeberan Anderson tentang apa jang disebutnja sebagai politik terdjemahan (politics of translation) ini djelas luar biasa. Konsep jang diangkat dari pengalaman Filipina ini djuga bisa digunakan untuk menindjau seberapa djauh politik terdjemahan bisa diudji untuk mendalami pengalaman Indonesia.
Menenangkan kalangan konservatif
Walaupun terdjemahan bahasa Belanda novel Noli me tangere sudah terbit pada 1912 di Surabaja, tidaklah berarti bahwa publik Indonesia pada umumnja sudah bisa membatja novel karja bapak bangsa Filipina ini. Terdjemahan itu bukan ditudjukan kepada publik pembatja Indonesia, melainkan pembatja (bahasa) Belanda. Dan karena bahasa Belanda tidak tersebar bahkan tidak berakar di Nusantara, maka, persis seperti di negeri asalnja, Noli harus djuga diterdjemahkan ke dalam bahasa pengantar setempat jang tidak lain adalah bahasa Indonesia. Ketika terdjemahan bahasa Indonesianja terbit pada 1975 dengan djudul Djangan sentuh aku, penerbit Pustaka Jaya menambahkan tjatatan bahwa bahwa penerdjemah Tjetje Jusuf menerdjemahkan Noli dari bahasa Inggris. Tidak disebut siapa penerdjemah ke dalam bahasa Inggris itu, tetapi bisa dipastikan dia adalah Leon Maria Guerrero jang hasil terdjemahannja diketjam keras oleh Anderson.
Di sinilah perbedaan terbesar Noli dalam terdjemahan bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Terdjemahan bahasa Belanda dilakukan langsung dari edisi aslinja, sementara terdjemahan bahasa Indonesia dilakukan dari bahasa Inggris dan terdjemahan bahasa Inggris itu, seperti ditulis oleh Anderson, sengadja dibuat begitu menjimpang dari aslinja.
Menariknja, pers bahasa Belanda di Hindia selalu kritis terhadap pendjadjahan Spanjol, apalagi ketika hukuman mati terhadap José Rizal benar2 dilaksanakan pada 30 desember 1896. Geredja Katolik jang dituduh mengendalikan penguasa kolonial Spanjol masih pula dituduh ingin menghidupkan Inkuisisi. Di sini terlihat sikap anti Katolik Belanda jang beragama protestan.
Pada berita tanggal 30 desember 1936, untuk mengenang 40 tahun pelaksanaan hukuman mati José Rizal, harian konservatif Bataviaasch Nieuwsblad menurunkan berita menarik. Kepahlawanan Rizal digambarkan setjara selektif, karena menurutnja Rizal tidak menghendaki kemerdekaan Filipina. “Sampai saat2 terachir Rizal tetap ingin melaksanakan perombakan dan untuk itu dia tetap ingin bekerdja sama dengan pemerintahan Spanjol. Rizal berpendapat rakjatnja masih belum matang untuk bisa membentuk pemerintahan sendiri. Dengan begitu Rizal bukanlah seorang revolusioner. Sebaliknja, dia tetap merupakan pengikut setia Spanjol. ‘Tanah air di atas segalanja!’ Demikian sembojan tokoh utama novel Noli me tángere.”
Dalam novel pertamanja Rizal memang belum begitu mementingkan kemerdekaan Filipina. Tetapi selain Noli, Rizal djuga sudah menulis El filibusterismo, novel keduanja, terbit di Gent, Belgia, pada 1891. Berita jang sama menjebut novel kedua bapak bangsa Filipina ini berisi “penderitaan mereka jang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan se-wenang2 pendjadjahan Spanjol”. Ini djuga tidak salah.
Tetapi, jang tidak diungkap oleh berita ini adalah makna kata Filibusterismo. Dengan menulis novel keduanja ini Rizal memproklamasikan diri sebagai seorang Filibustero, seorang patriot jang memperdjuangkan kemerdekaan tanah airnja, apapun bentuk perdjuangan itu. Makna inilah jang tidak tertera dalam berita koran konservatif Batavia. Mengapa? Karena ini adalah makna revolusioner. Kalau semula, dalam Noli, Rizal masih berpendapat bahwa negerinja belum matang untuk mentjapai kemerdekaan, maka dalam novel keduanja, Rizal djustru berdjuang bagi kemerdekaan itu.
Tak pelak lagi, Bataviaasch Nieuwsblad telah bersikap selektif. Rizal diberitakan bukan sebagai seorang patriot, melainkan seseorang jang tetap setia kepada Spanjol. Seolah dia tidak berubah, tetap sadja setia pada pendirian awalnja.
Itu tidak lain adalah upaja menenangkan kalangan konservatif pembatja Bataviaasch Nieuwsblad jang sementara itu harus menghadapi kenjataan bahwa di Hindia Belanda muntjul kalangan non-kooperatif jang, berbeda dengan kalangan kooperatif, djustru menghendaki kemerdekaan Indonesia sepenuhnja. Dan untuk mentjapainja mereka menempuh djalan revolusi, antara lain menolak bekerdjasama dengan pemerintah kolonial! Berita tentang Rizal jang tidak lengkap dan selektif itu djelas ingin melenjapkan kechawatiran para pembatja konservatif Bataviaasch Nieuwsblad.
Sajang, Ben Anderson telah tiada. Hari ini,13 desember, tepat tiga tahun silam (sekitar seribu hari) dia berpulang dalam tidurnja di kota Batu, Malang. Kalau sadja dia masih berada di antara kita, kita boleh berharap akan membatja tulisan menariknja tentang bagaimana pers bahasa Belanda di Hindia telah memainkan (batja: memanipulasi) perkara Rizal dengan begitu selektif dalam memberitakan karja2 bapak bangsa Filipina ini.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.