Menuju konten utama

"Kami Tidak Bisa Jangkau Pelaku Kejahatan Minyak Goreng"

Pemerintah mengklaim sudah menyalurkan ratusan juta liter minyak goreng hasil DMO. Tapi kenapa di lapangan langka?

Ilustrasi Wawancara HL Oke Nurwan. tirto.id/Sabit

tirto.id - Kisruh kelangkaan minyak goreng dan mahalnya harga di pasaran sudah terjadi sejak November 2021, yang harganya menembus angka Rp17.550 per liter. Satu bulan kemudian, harga minyak goreng kemasan meningkat menjadi Rp18.900 per liter. Angka tersebut terus meroket hingga awal 2022 menjadi Rp20.200 per liter.

Mencermati kondisi itu, Kementerian Perdagangan melakukan intervensi harga minyak goreng dengan menerbitkan lima peraturan dalam tempo satu bulan. Pergantian kebijakan tersebut direspons negatif pelaku pasar.

Pemerintah berulang kali mengklaim bahwa harga akan kembali turun pada akhir Januari dengan dalih membutuhkan penyesuaian setelah menerbitkan aturan HET Rp14.00 per liter. Akan tetapi persoalan harga minyak goreng tidak juga selesai.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Oke Nurwan menjelaskan eksportir crude palm oil (CPO) dan produk turunannya sudah menyalurkan minyak goreng hasil domestic market obligation (DMO) sebesar 500 juta liter di 34 provinsi. Jumlah itu berdasarkan laporan eksportir kepada Kementerian Perdagangan. Akan tetapi ketika kementerian turun ke pasar, minyak goreng tersebut tidak ada.

"Ini kan sudah enggak masuk akal. Data komoditi ini tidak dipegang langsung oleh pemerintah. Akhirnya berbasis komitmen administrasi yang bisa ditelusuri dan dilaporkan," ucap Oke kepada Tirto.

Oke mengakui bahwa Kemendag sudah mengirimkan data sebanyak 34 ribu pelaku usaha yang terlibat kepada pihak kepolisian pada tanggal 14 Maret, dua hari sebelum rapat terbatas dengan Presiden 16 Maret. Ia menambahkan bahwa jumlah pelaku besar itu terdiri dari pelaku di hulu sampai hilir.

"Iya (pelaku dari hulu-hilir), datanya diserahkan semua. Kami enggak bisa jangkau. Kalau peraturan menteri perdagangan sanksinya administrasi. Paling tinggi pencabutan izin usaha, kalau sanksi itu tinggal bikin aja perusahaan baru," ucapnya.

Berikut perbincangan lengkap antara reporter Tirto dengan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan, pada akhir Maret 2022.

Kemendag sudah menerbitkan banyak aturan terkait minyak goreng, mulai Permendag Nomor 1, 3, 6, 8 tahun 2022. Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kemendag berulang kali menerbitkan aturan migor?

Masalah utama minyak goreng itu adalah masih menggunakan mekanisme pasar sehingga harga minyak sawit mentah CPO bergantung dengan harga internasional. Kemendag sudah menyiapkan dari awal berbagai kebijakan dalam rangka mengantisipasi dan menindaklanjuti arahan Presiden untuk menyiapkan minyak goreng dengan harga terjangkau.

Memang berbagai kebijakan ini sudah kita siapkan panjang, dikaitkan dengan CPO internasional. Tentunya harga CPO internasional itu juga tidak terlepas dari antar negara. Jadi sejak Permendag No 1 tahun 2022 diterbitkan, pemerintah sudah menyiapkan anggaran Rp3,6 triliun untuk minyak goreng kemasan sederhana atau sekitar 200 juta liter.

Ternyata harga CPO internasional semakin melonjak dan melonjak. Ini yang menjadi pemicu perubahan kebijakan. Misalnya harga CPO Rp15.000 per kilogram dialokasikan dari APBN, sedangkan harga internasional US$1.100 per ton.

Apa yang pemerintah lakukan? begitu harga CPO internasional meningkat lagi maka kebutuhan APBN untuk subsidi jadi lebih tinggi. Ini yang membuat terjadi perubahan Permendag 01/2022 ke Permendag 03/2022. Kita menyiapkan alokasi anggaran Rp7,6 triliun dengan diikuti kebijakan harga satu harga (HET).

Pemicu harga bergeser lagi, harga CPO internasional semakin tidak terkendali. Sementara harga minyak goreng masih bergantung dengan harga CPO Internasional. Oleh karena itu terbitlah Permendag 06/2022 dan 08/2022. Pemerintah berusaha untuk melepaskan dari harga CPO internasional dengan membebankan kepada eksportir CPO dan produk turunannya. Eksportir wajib menyiapkan DMO 20 persen dari total jumlah yang di ekspor. Mereka harus melepas DMO dengan CPO Rp 9.300 per kg dan Rp10.300 per kg untuk olein. Artinya harga bahan baku tidak bergantung pada harga CPO internasional lagi.

Kalau DMO dan DPO berhasil maka harus diikuti dengan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yakni Rp14.000 per kg untuk kemasan premium, sederhana Rp13.500, dan minyak goreng curah Rp11.500. DMO dan DPO ini kebijakan bagus, di mana minyak goreng masyarakat disubsidi secara tidak langsung oleh masyarakat internasional yang membeli CPO Indonesia.

Akan tetapi kenyataannya terjadi isu kelangkaan dan kalaupun tersedia harganya di luar HET. Isu kelangkaan minyak goreng berkembang ke isu lain; protokol kesehatan, ada korban antrean dan sebagainya. Bahkan bergeser ke politik dan isu kerawanan sosial sehingga Presiden dalam rapat terbatas mengambil kebijakan lebih lanjut.

Pemicu harga minyak goreng sudah terlalu tinggi. Jadi kesimpulannya pada saat itu, DMO dan DPO dengan HET konsepnya bertentangan dengan mekanisme pasar. Tentu pasti berat bagi pemerintah melakukannya. Gangguannya bisa dari berbagai macam, terlepas dari masalah APBN.

Kelangkaan menjadi merebak dan penyebabnya banyak. Oleh karena itu, Presiden mengambil arahan; pertama selesaikan isu kelangkaan, kedua tetap sediakan minyak goreng untuk masyarakat dengan harga terjangkau. Akhirnya diputuskan untuk mencabut HET kemasan dan melepaskan ke mekanisme pasar tapi tetap menjaga minyak goreng curah dengan HET Rp14.000 per kg.

Isu kelangkaan minyak goreng kemasan selesai, sekarang minyak goreng banjir di mana-mana. Ini mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah sebelumnya dilawan oleh mekanisme pasar. Dalam bahasa komunikasi pak menteri disebut mafia. Mafia ini maksud pak menteri pelaku usaha nakal. Tapi pak menteri menggunakan bahasa yang mudah dimengerti masyarakat.

Kalau kebijakan HET minyak goreng tidak berjalan berarti ada gangguan distribusi, mulai dari tingkat produsen sampai tingkat paling bawah, pengecer. Ada upaya untuk melawan kebijakan pemerintah, misalnya dengan menimbun dan menaikkan harga.

Secara administrasi eksportir sudah menyalurkan DMO dengan DPO, tapi kenyataan di lapangan kosong. Dari laporan eksportir, mereka sudah menyalurkan 500 juta liter di 34 provinsi. Kami turun ke lapangan, kok kosong. Ini kan sudah enggak masuk akal.

Data komoditi ini dipegang langsung oleh pemerintah. Data ini berbasis komitmen administrasi eksportir yang bisa ditelusuri dan dilaporkan. Secara administrasi lengkap, perusahaan jelas, distributor jelas, tapi kenyataan di lapangan tidak ada.

Pimpinan tertinggi meminta untuk menyelesaikan masalah minyak goreng agar isunya tidak melebar ke mana-mana. Yang pasti paling tidak disenangi pimipinan tertinggi, Presiden, ada antrean yang mengular. Sudah tidak pas di tengah pandemi Covid-19.

Ada pula yang melakukan operasi pasar yang akhirnya bergeser informasinya. Pemerintah tidak bisa menyediakan minyak goreng tapi kelompok tertentu bisa melakukan operasi pasar. Lalu pemerintah dianggap kalah dari pengusaha karena melepas harga minyak goreng ke mekanisme pasar. Tidak!

Kalau baca paket terkahir, minyak curah dikawal langsung oleh Kementerian Perindustrian mulai dari produsen sampai ke pengecer. Makanya keluar peraturan Menperin Nomor 8/2022. Paket regulasi lainnya, Permenkeu Nomor 23/2022 terkait biaya transaksi (levy); dikenakan pajak ekspor yang biasanya US$375 menjadi US$575 dollar. Boleh pemerintah lepaskan ke mekanisme pasar, tapi pelaku usaha eksportir CPO dinaikan pajaknya.

Pelaku usaha dikasih beban, boleh kalian ekspor tapi pajak naik. Jadi pemerintah itu enggak pernah kalah.

Bagaimana cara pemerintah menetapkan hitungan HET kemasan sebesar Rp14.000 per liter? dan sudah mengajak pelaku usaha untuk diskusi soal harga ini?

HET itu kita hitung berbagai macam seperti daya beli, biaya hidup dan segala macam sehingga kita tetapkan harga minyak goreng murah dan terjangkau itu sebesar Rp14.000 per liter. Kita melihat angka psikologis, terutama sebelum pandemi. Perdagangan normal itu di harga Rp14.000. Intinya HET tidak ada hubungannya dengan biaya produksi. HET ini hanya menyatakan angka yang pas disesuaikan dengan daya beli masyarakat. Dengan kebijakan yang baru, dibayar selisih harga oleh pemerintah.

Kebijakan baru minyak goreng curah sama aja dengan di awal dong, pemerintah subsidi dengan selisih harga?

Iya, makanya harga keekonomian baru kita bicara biaya produksi. Dengan bahan baku sekian, harga keekonomian minyak goreng berapa sih. Kalau sebuah produk, mungkin bahan baku Rp10 ribu, harga keekonomian minyak goreng dijual Rp12.000. Tapi kalau brand bagus, merek terkenal dia jual Rp15.000 per liter, itu harga mekanisme pasar. Ada juga yang lagi promo, jualnya Rp13.000, dsb. Pemerintah hanya akan mengganti harga kekeonomian minyak goreng. Pemerintah minta tolong buat minyak goreng curah.

Kalau minyak goreng premium, harga keekonomiannya tergantung mereknya. Bisa harganya lebih tinggi karena masyarakat terikat dengan iklan. Bisa lebih tinggi. Jadi selisih harga di pasar itu tidak harus jadi acuan pemerintah untuk membayar selisih harga. Kami tidak mau bayar branding, tidak mau bayar iklan. Yang diganti pemerintah itu harga keekonomian. Kalau minyak curah sekian, pantasnya berapa harganya. Jadi tidak dirugikan.

Narasi selama ini, produsen minyak goreng rugi karena beli dengan harga CPO tinggi, lalu disuruh jual oleh pemerintah ke konsumen dengan harga tidak untung atau HET. Tanggapannya?

Salah, silakan jual dengan harga pasar. Selisihnya bisa pemerintah ganti dengan harga keekonomian. Enggak mungkin pemerintah ganti-ganti harganya. Misalnya merek A, harga pasarnya dengan selisih HET, diganti dengan harga Rp10.000, sedangkan merek B diganti Rp7.000. Enggak mungkin. Nah, sekarang untuk minyak curah jual diharga Rp14.000, nanti angka keekonomian diganti pemerintah. Siapa pun yang produksi dan jual Rp14 ribu, pemerintah hitung keekonomiannya Rp18.000. Jadi pemerintah akan mengganti selisih harga Rp4.000.

Sebenarnya, siapa yang mengelola minyak CPO dari hasil DMO dan barangnya disimpan di mana? Dan bagaimana Kemendag mengawasinya agar barang itu tidak hilang?

Kalau pemerintah tarik 500 juta liter, enggak ada tangkinya. Jadi eksportir yang salurkan DMO dan laporkan secara adminsitrasi. Tapi administrasi ketat, faktur pajak, volume, dan yang pegang komoditi tersebut mereka (eksportir). Tapi memang ada celah yang begitu lebar antara harga dengan pajak cuma 10 persen. Jadi bayar aja dah dengan selisih Rp7.000, pajak cuma bayar 10 persen dari Rp14.000, berarti pajak Rp1.400. Masih ada marjin juga. DMO betul ada diadakan, tapi dalam bentuk fisik di lapangan kecil sekali. Ada juga eksportir sabun, misalnya harusnya menyiapkan DMO.

Kasus eksportir sabun gini seperti apa, soalnya banyak keluhan juga. Tanggapannya?

Mereka ada yang membeli CPO, ada yang kerjasama dengan produsen minyak goreng dan ada yang dikawinkan dengan eksportir sabun tadi. Ada juga eksportir sabun yang menitipkan kepada BUMN juga. BUMN bukan hanya menitipkan DMO, mereka juga mengawinkan dengan harga DMO, BUM bayarnya Rp9.300 untuk CPO dan Rp10.300 untuk Olei. Tapi berhubung keterbatasan anggaran yang dimiliki BUMN dan tidak kuat kalau biayai 300 juta liter. Paling kekuatan BUMN 10-20 juta liter. Modalnya besar.

Kebijakan DMO dan DPO untuk melindungi konsumen mendapatkan harga migor yang terjangkau. Persoalannya ketika DMO sudah terpenuhi, tapi harga DPO yang sulit didapatkan produsen migor. Mengapa pemerintah tidak membuat kebijakan lebih lanjut soal produsen CPO harus memberikan harga DPO Rp9.300 kepada produsen migor dengan menunjuk langsung perusahaan atau mengawinkan produsen CPO dengan migor? ini yang menjadi keluhan produsen migor, mereka tidak mendapatkan harga CPO dengan harga DPO. Tanggapannya?

Paket kebijakan Permendag Nomor 06 dan 08 tahun 2022 mewajibkan kepada eksportir CPO untuk mengalokasikan 20 persen untuk DMO dan DPO. Seharusnya kebijakan ini lancar, kenapa? karena hanya menggeser grafik. Tadinya harga CPO Rp15 ribu per kg dan harga minyak goreng katakanlah Rp20.000. Ini digeser dua-duanya, harga CPO Rp9.000, minyak goreng Rp14.000. Artinya mekanisme pasar tetap terjadi, hanya saja bahan bakunya jauh lebih murah.

Bahan baku murah, disediakan oleh eksportir. Mereka diwajibkan menyediakan DMO ketika ingin melakukan ekspor CPO, alokasinya 20 persen dari jumlah ekspornya. DMO 20 persen itu dijual dengan harga DPO. Bahan baku murah, otomatis minyak goreng turun.

Jadi bukan masalah mengawinkan atara produsen CPO dengan produsen minyak goreng. Yang mengawinkan itu adalah eksportir. Mau beli CPO atau olein dengan harga biasa lalu dijual dengan harga DPO ke produsen minyak goreng. Perkawinannya eksportir, permasalahannya eksportir tidak punya CPO atau tidak terafiliasi dengan produsen minyak goreng.

Eksportir harus cari CPO, siapa yang mau pasok atas nama dia. Jadi yang mengawinkan itu adalah eksportir, maka namanya DMO dan DPO. Beberapa eksportir sudah paham dan ada juga yang belum paham. Sekarang eksportir cari CPO atau olein untuk perusahaan minyak goreng. Di satu sisi perusahaan minyak goreng harus prodduksi minyak goreng dengan harga HET. Jadi mereka mencari pasangan eksportir yang ada kewajiban memasok CPO dengan harga DMO dan DPO.

CPO dengan harga DMO dan DPO biayanya ditanggung oleh eksportir, lalu dijual Rp9.300 untuk CPO dan Rp10.300 per kg untuk olein. Harusnya enggak langka.

Mengapa jadi langka?

Karena terjadi disparitas harga yang tinggi. Selisih harga antara HET dengan minyak goreng internasional. Di sini Rp14.000, di luar Rp22.000. Disparitasnya Rp7-8.000 per liter. Kalau Rp7-8.000 per liter perbedaannya, di situlah letak gangguannya. Para pemain, spekulan dan pelaku nakal mendapatkan minyak goreng dengan harga HET untuk pasokan dalam negeri, lalu dijual ke industri atau ekspor.

Dapat Rp4.000 aja dikali satu juta liter sudah dapat miliaran. Jadi indikasi kelangkaan minyak goreng karena banyak pemain-pemain yang mendapatkan harga minyak goreng murah. Ada celah melalui ilegal trading. Angkanya menggiurkan, kalau angka marjin cuma 300-500 perak tidak dilirik. Ini Rp7.000.

Indonesia negara kepulauan dengan 17,500 pulau. Terlalu banyak pintu untuk diawasi, itu baru pintu keluar, belum pintu dalam. Industri dalam negeri juga membutuhkan minyak goreng dengan harga pasar. Barang bisa ditawarin dengan selisih harga yang lumayan.

Apa contohnya?

Di wilayah tertentu, misalnya Sumatera Utara. Pasokan sekitar 500 juta liter secara nasional, 50 juta liter sendiri untuk wilayah Sumatera Utara. Penduduknya Sumut 15 juta liter, artinya 4 bungkus per orang. Kita datang ke pasar, enggak ada 50 juta liter itu. Harusnya banjir dong. Bisa dipakai mandi. Di Surabaya, 90 juta liter, DKI di atas 90 juta liter. Belawan, DKI Jakarta dan Surabaya adalah pintu ekspor dan pintu industri semua.

Kalimantan juga dong?

Kalau Kalimantan, terutama perbatasan panjang benar. Ekspornya tinggal loncat aja. Ini juga yang menyebabkan kelangkaan karena ada celah marjin yang tinggi. Pelajaran yang diambil pak menteri, manakala mengatur harga di luar mekanisme pasar, pasti hambatannya banyak banget. Pasti banyak pelaku yang memanfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya atas persoalan ini.

Hilang 50 juta liter di pasaran itu bukan angka yang kecil….?

Begitu ekspor CPO disetujui 3,5 juta ton, 20 persennya sekitar 700 juta liter. Lalu yang sudah didistribusikan 500 juta liter, sementara kebutuhan nasional 327 juta liter per bulan. Ini sudah 1,5 kali lebih banyak, harusnya banjir di pasaran. Bendungan udah penuh, irigasi enggak lancar, sawah kering. Pentingnya jalur distribusi, irigasi harus diberesin.

Rantai distribusi itu panjang, mulai dari bendungan sampai sawah belok sana-sini. Irigasi ada yang dibelokin, itu yang menyebabkan langka. Datanya ada dan kelihatan, tapi tidak punya daya jangkau untuk mengungkap itu di Kemendag.

Kelangkaan harus diselesaikan sehingga data tersebut diberikan Pak Menteri kepada kapolri. Ini datanya semuanya klop. Ada 34 ribu pelaku usaha yang terlibat. Terdaftar di situ semua dan diserahkan semua (datanya). (Pelakunya) distributor dan segala macam.

Berarti pelakunya dari hulu sampai hilir?

Iya, datanya diserahkan semua. Kami enggak bisa jangkau. Kalau peraturan menteri perdagangan sanksinya administrasi. Paling tinggi pencabutan izin usaha, kalau sanksi itu tinggal bikin aja perusahaan baru. Perilakunya enggak ditindak, kriminalnya. Permendag, ngurus itu (sanksi adminitrasi) aja susah, apalagi yang kriminal. Sudah kita lakukan pencabutan izin beberapa pelaku usaha.

Berapa banyak perusahan yang dicabut izinnya?

Pokoknya, adalah. Kita deteksi kemungkinan itu, kita selidiki, waktu habis selidiki ternyata benar. Ada indikasi kita hentikan, ada yang ngalir ke industri, ada macam-macam. Disamping itu juga ada yang nimbun. Dan itu rantai distribusi dan aliran demikian panjang karena kita negara kepulauan, ada 17,500 pulau. Ini kan ada kelas masing-masing sehingga minta bantuan polisi.

Mungkin bahasa Pak menteri, besok ada tersangka karena Kemendag merasa yakin sudah cukup bukti. Tapi begitu serahkan ke penegak hukum, belum cukup bukti sehingga belum bisa ditetapkan sebagai tersangka.

Selain itu, susah menjerat pakai pasal penimbunan karena dalam undang-undang waktu tiga bulan baru bisa disebut penimbunan. Ini baru satu bulan. Jadi enggak bisa dijerat. Ini masalahnya tapi itu kenyatannya. Kita sudah meminta bantuan polisi karena Kemendag mengawal minyak goreng yang langka. Saya kira satgas pangan sudah turun semua tapi belum cukup bukti.

Tanggal berapa Pak Mendag kirim bukti 34 ribu pelaku usaha nakal ke polri?

Sebelum ada rapat terbatas (Presiden), atau sebelum kebijakan terakhir. Dua hari sebelum ratas, kami sudah menyerahkan semuanya. Kebijakan HET (dicabut) tanggal 16, sekitar tanggal 13-14 Maret. Saya ingat betul, saya yang menyampaikan bukti itu.

500 juta liter bukan angka kecil, impossible kalau alokasi minyak goreng sebesar itu hilang oleh pemain kecil. Mendag melihat enggak bahwa hilangnya minyak goreng dengan jumlah besar di pasaran karena pemain besar?

Kita datangi ke perusahaan besar secara random. Ada satu daerah, ada 700 ribu ton minyak goreng, tapi kenapa dikirim 10 juta liter, kita datangi. Kok kirimnya segitu. Macam-macam (polanya) karena melihat celah keuntungan Rp7-8 ribu. Ini data kita berdasarkan dokumen administrasi, ada faktur pajak, nama perusahaan, invoice dan segala macam.

Bisa saja barang enggak jalan, tapi faktur pajak dibayar. Pajaknya cuma 10 persen dari Rp14.000, berarti Rp1.400, masih sisa juga untungnya (Rp5.600), bayar aja pajaknya. Seolah-olah mengalir karena dari faktur pajak sudah dibayar. Bisa saja, dokumentasi tetap jalan.

Bapak sempat sebutkan bahwa laporan administrasi lengkap; perusahaan jelas, distributor jelas, ada invoice, faktur pajak, volume. Tapi ketika dicek di lapangan barang kosong. Artinya laporan administrasi bisa direkayasa oleh pelaku?

Dibilang rekayasa, faktur pajaknya benar. Cuma barangnya yang enggak ngalir. Intinya simpulkan sendiri. Ketika kebijakan baru keluar, HET untuk kemasan dihapus, sehari kemudian minyak goreng langsung banjir. Kok bisa begini.

Sudah ada beberapa banyak perusahaan nakal yang disanksi oleh Kemendag, baik tertulis maupun pencabutan izin usaha?

Prosesnya itu ada pembuktian. Begitu ada bukti yang belum lengkap maka enggak bisa kita tindaklanjuti. Sanksi turun setelah ada keputusan tetap. Contoh peringatan tertulis yang paling jelas terhadap pelaku distributor yang mengganggu harga. Pasalnya baru ditingkat distributor 1, distributor 2 harganya sudah di atas HET, gimana harga sampai di masyarakat bisa HET. Di pedagang tambah tinggi lagi harganya. Kenapa kamu jual Rp18.000, yah saya belinya Rp17.000. Dari siapa belinya? Distributor 2, ditanya ke distributor 2, dia bilang beli dengan harga Rp16.000 di distributor 1. Jadi ini enggak nurut.

Ada berapa perusahaan yang menguasai bisnis minyak goreng dari hulu sampai hilir? dan berapa persen mereka kuasai pasar nasional?

Saya tidak bisa menyatakan dengan jelas, tapi memang yang terintegrasi ini sedikit. Kalau produsen minyak goreng ada 225 produsen. Tapi tidak semuanya terafiliasi dari hulu sampai hilir. Ada produsen minyak goreng yang tidak punya kebon kelapa sawit, ada juga produsen minyak goreng yang hanya mengemas dengan merek mereka. Tapi bisa ditracklah perusahan besar itu yang terafiliasi.

Permasalahannya terafiliasi secara internal, tapi mekanisme hubungan kerja tetap menggunakan harga CPO internasional. Produsen minyak goreng, ada yang merupakan seolah-olah anak perusahaan, tapi dalam perhitungan masing-masing. Mereka tetap profesional. Ada juga yang punya pabrik kelapa sawit, pabrik CPO. Ada produsen minyak goreng terafiliasi sebagai anak perusahaan tapi tidak satu nama sampai ujung. Mereka juga pakai mekanisme pasar.

Minyak goreng ada 425 merek, sedangkan perusahaan minyak goreng ada 225. Sementara perusahaan minyak goreng yang terafiliasi sedikit.

Tidak lebih dari 10 perusahaan?

Belasanlah. Ada yang punya kebun kecil, gede dan sebagainya. Saya punya daftar perkebunan kelapa sawit dan berapa luasnya, saya ada. Afiliasi ke pabrik kelapa sawit, ada sekian. Karena saya fokus produsen minyak goreng, saya bilang ada 225.

Perusahaan nakal beli minyak curah lalu repacking dengan kemasan premium dan dijual dengan harga tinggi, ada temuan Kemendag?

Enggak. Ada izin edar dan kualitas yang harus dijaga berdasarkan kemasan SNI. Tentu mereka meminta kualitas tertentu walaupun perusahaan minyak goreng ada beberapa. Dari 225 perusahaan minyak goreng, yang punya pabrik refinery (pemurnian) sekitar 72-73 perusahaan. Sisanya 150 perusahaan repacker.

Soal minyak goreng curah…..

Ini tantangan baru lagi, ada celah. Makanya ini yang sedang kita lakuan sistem pengawasan dan melihat pengalaman yang lalu. Kalau kemasan sudah banjir. Minyak goreng curah ini harus hati-hati. Produsen bisa saja mengalihkan. Minyak goreng curah akan dikawal oleh Kementerian perindustrian. Produsen yang memproduksi minyak goreng curah wajib menyiapkan minyak goreng curah.

Kita sedang memastikan akan ada ketersediaan minyak goreng curah. Pertama, ini yang diperlukan masyarakat, kedua, kalaupun ada minyak goreng curah disalurkan jangan sampai diselewengkan. Jangan sampai diekspor dan dikemas jadi minyak goreng. Bisa dikemas dan dijual dengan harga premium. Tapi memang ini dikawal.

Minyak goreng curah tidak boleh dikemas, diekspor dan tidak boleh dialihkan ke indusrtri. Distribusi minyak goreng curah akan dikawal secara administrasi dan fisik dengan menugaskan Pemda. Perusahaan ini distribusi ke sini, tolong Pemda cek ke lokasi, benar gak itu. Kita sudah membuat edaran, wajib memasang spanduk minyak goreng curah Rp14.000 per liter.

Kapan minyak goreng curah sampai ke konsumen?

Segera.

Ikappi bilang di Jabodetabek harga minyak goreng curah masih Rp20.000 per liter, sementara di timur Indonesia Rp21.000. Tanggapannya?

Itu yang harus kita awasi, gak boleh itu terjadi yang itu harus tindakan tegas dan kontrol sosial, makanya dibuka hotline Kementerian Perindustrian. Kalau beli Rp15.500, harus ditelusuri juga, jangan distribusi sudah kasih harga mahal. Produsen Rp11.500, pedagang seribu, distribusi Rp1.500 termasuk angkutan. Distributor jangan untung seribu seperti pedagang, 200 aja dikali jutaan ratusan juta sudah berapa, kalau di ratusan ribu liter. Itu mereka yang atur semua. Tadi para pemain itu, ada keuntungan terbatas, tapi ada marjin Rp7.000 jadi itu mengganggu.

Pak Mendag sempat bilang kelangkaan karena ibu-ibu nimbun minyak goreng, tanggapannya?

Bukan, pak Mendag ini mau menerangkan perilaku masyarakat. Dengan Permendag nomor 01/2020, kita wajibkan kemasan sederhana, terus kebijakan satu harga, mau merek terkenal, harganya tetap Rp14.000 pada saat itu. Nah, ini ibu-ibu berebut. Jadi beli mobil mercy tapi murah. Ini yang buat langka, jadi ibu-ibu kejar itu.

Perilaku ibu-ibu itu bukan nimbun, berusaha mendapatkan sebanyak-banyaknya. Banyak ibu-ibu yang belanja untuk satu bulan, bukan nimbun. Ada belanja untuk kebutuhan satu bulan, sementara dijatah per liter.

Terakhir, Pak Mendag bakal umumkan pengusaha nakal atau tidak?

Kalau nakal terbukti. Kami merasa sudah cukup bukti dan berikan ke polisi, tapi menurut penegak hukum belum cukup bukti, cuma itu aja. Untuk bukti menurut kita sudah cukup. Tapi kita enggak bisa ngolahnya, serahkan kepada polisi. Saya yakin pemainnya banyak dan mungkin nanti Polri yang bisa pastikan ada pelaku nakal atau tidak.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Editor: Adi Renaldi