Menuju konten utama

Mafia di Kemendag & Kebijakan Kontroversial Minyak Goreng

Mafia minyak goreng itu justru ada di Kementerian Perdagangan itu sendiri. Kebijakan pasar yang membingungkan juga turut memicu kelangkaan minyak goreng.

Mafia di Kemendag & Kebijakan Kontroversial Minyak Goreng
Ilustrasi HL Indepth Kejagung Menetapkan Tersangka Minyak Goreng. tirto.id/Sabit

tirto.id - Lebih dari satu bulan berlalu saat Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pertama kali menyatakan akan mengumumkan nama mafia minyak goreng bersama Polri pada 21 Maret. Pernyataan itu dilontarkan Lutfi berdasarkan informasi dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana dalam rapat dengan DPR pada 17 Maret.

Namun pernyataan itu menguap begitu saja, hingga akhirnya Kejaksaan Agung justru menetapkan Wisnu sebagai tersangka pada 19 April.

Jaksa Agung ST Burhanuddin juga turut menetapkan tiga orang tersangka lainnya dari pihak swasta, antara lain Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group berinisial SMA (Stanley MA); Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT (Master Parulian Tumanggor); dan General Manager PT Musim Mas berinisial PT (Pierre Togar Sitanggang).

Wilmar Nabati Indonesia atau Wilmar Group merupakan perusahaan milik konglomerat Martua Sitorus. Perusahaan yang berdiri tahun 1991 ini menguasai 29,3 persen pangsa pasar minyak goreng Indonesia dengan berbagai merek dagang; Sania, Fortune, Mahkota, Goldie dan Sovia.

Sementara Musim Mas dimiliki konglomerat Bachtiar Karim. Perusahaan yang berdiri pada 1972 menguasai 27,6 persen pangsa pasar Indonesia dengan berbagai merek dagang; Sunco, Amago, Tani, M&M, Good Choice, Voila dan Alibaba.

Adapun Permata Hijau Group, perusahaan yang berdiri pada 1984 memiliki berbagai merek dagang; Parveen, Pamata, Permata, dan Panina, merupakan milik Robert Wijaya.

Burhanuddin memaparkan bahwa para tersangka diduga melakukan perbuatan melawan hukum yaitu pertama adanya pemufakatan antara pemohon dan pemberi izin dalam proses penerbitan persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya. Di mana Kemendag mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan ekspor tersebut.

Kedua, dikeluarkannya persetujuan ekspor kepada produsen yang seharusnya ditolak karena tidak memenuhi syarat mendistribusikan CPO dan RBD Palm Olein ke dalam negeri sebagaimana kewajiban yang ada dalam domestic market obligation (DMO) sebesar 20 persen dari total ekspor.

Burhanuddin mengatakan, Kementerian Perdagangan telah membuat satu kebijakan menetapkan DMO serta Domestic Price Obligation (DPO) bagi perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor CPO dalam produk turunannya.

“Namun dalam pelaksanaannya, perusahaan ekspor ini tidak memenuhi DMO/DPO namun (Dirjen Kemendag) tetap memberikan persetujuan ekspor. Atas perbuatan tersebut diindikasikan dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara,” Ucap Burhanuddin via konferensi pers daring, Selasa, (19/4).

Dalam perkara ini, penyidik telah memeriksa 19 saksi, 596 dokumen dan surat terkait lainnya, serta meminta keterangan ahli.

Pada 18 Januari, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menerbitkan Permendag No 2/2022. Permendag ini mengatur soal ekspor CPO dan turunannya harus memiliki persetujuan ekspor yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama menteri.

Oleh karena itu, seluruh eksportir yang akan mengekspor wajib memasok atau mengalokasikan 20 persen dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp9.300 per kilogram untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp10.300 per kilogram.

Akan tetapi, belum genap sebulan, Kemendag menerbitkan lagi Permendag No 8/2022. Permendag yang diterbitkan 8 Februari itu memperluas jangkauan terhadap eksportir produk turunan kelapa sawit biodiesel. Mereka diwajibkan untuk mengikuti program DMO/DPO.

Pada 9 Maret, Mendag menegaskan kebijakan harga eceran tertinggi tidak akan dicabut. Kebijakan ini diharapkan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng terjangkau di masyarakat. Ia pun tetap mewajibkan DMO/ DPO bagi eksportir. Sayangnya, pernyataan Mendag hanya bertahan satu minggu, sebab pada 17 Maret Mendag mencabut kebijakan DMO, DPO dan HET minyak goreng.

Kontroversi DMO/DPO

Kebijakan DMO/DPO, sayangnya, tidak berdampak terhadap penurunan harga minyak goreng. Fakta di lapangan, minyak goreng justru langka di pasaran. Alih-alih mencabut kebijakan, pada Februari Lutfi menaikkan DMO menjadi 30 persen.

Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengatakan, kebijakan DMO/DPO hanya bermanfaat bagi segelintir pihak, khususnya perusahaan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Sementara, perusahaan yang tidak terintegrasi dibiarkan mati perlahan karena tidak mendapatkan pasokan CPO dengan harga DMO.

"DMO bermanfaat bagi perusahaan terintegrasi. Bahasa kasarnya kebijakan itu memperkaya yang kaya, memiskinkan yang miskin. Yang miskin tadi perusahaan yang tidak terintegrasi. Tinggal berdoa saja, kapan berubah (aturannya)," kata Sahat kepada Tirto, Senin (21/3).

Sahat yang merupakan Wakil Ketua I Dewan Minyak Sawit Indonesia mengungkapkan, yang boleh melakukan penjualan minyak goreng dengan DMO dan DPO itu hanyalah eksportir (CPO dan produk turunannya).

Perusahaan yang tidak terintegrasi dari hulu ke hilir terpaksa membeli dengan patokan harga internasional. Kondisi itu membuat sebagian produsen minyak goreng berhenti produksi. Sebab, banyak perusahaan yang membeli CPO dengan harga internasional namun dipaksa pemerintah menjual produknya dengan harga HET Rp14.000 per kg untuk kemasan premium.

"Lebih baik berhenti daripada rugi," ucap Sahat.

Kebijakan DMO tersebut sudah terbukti memakan korban. Tercatat enam perusahaan menghentikan operasi. Salah satunya PT Sumi Asih. Perusahaan yang bergerak di bidang oleokimia itu berhenti mengekspor selama sebulan akibat Permendag No. 8 Tahun 2022. Hal itu diutarakan Direktur HRD and Legal PT Sumi Asih, Markus Susanto kepada Tirto.

Perusahaannya sempat merumahkan 350 karyawannya akibat kebijakan pemerintah. Rinciannya, 300 karyawan yang bekerja di pabrik dan 50 karyawan di kantor pusat.

Ia memaparkan pabriknya tidak menggunakan CPO sebagai bahan baku produksi, tetapi menggunakan RBD stearin untuk kemudian diolah menjadi stearic acid dan glycerine. Stearic acid yang diolah PT Sumi Asih diperuntukan ke industri otomotif, seperti ban, dashboard mobil, industri kulit, dan tekstil.

RBD stearin merupakan produk samping pabrik minyak goreng.

Markus menjelaskan bahwa pihaknya sempat melakukan konsultasi melalui Zoom meeting dengan Kementerian Perdagangan terkait masalah tersebut. Sebab perusahaan yang berada di Bekasi itu tidak punya hubungan langsung dengan penjual CPO.

"Alah, kalian masa gak bisa cari CPO gitu aja," ucap Markus menirukan percakapan dengan pihak Kemendag, Senin (28/3).

Markus mengungkapkan, beberapa teman pengusahanya sudah melaksanakan kewajiban DMO untuk mendapatkan persetujuan ekspor dari Kementerian Perdagangan, tapi pada kenyataan persetujuan itu tidak keluar juga.

“Persetujuan ekspor enggak keluar juga sama Kemendag. Tidak seindah yang aslinya,” kata Markus.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai kebijakan pemerintah itu memperlihatkan karut marut tata kelola minyak goreng serta lemahnya pengawasan dan tidak transparan. Trubus mengatakan pemerintah tidak melakukan validasi data dan membandingkannya dengan fakta di laoangan.

"Saya justru curiga ada kongkalikong antara oknum di pemerintahan dengan pihak importir sendiri," kata Trubus, Selasa (29/3).

Sahat Sinaga dari GIMNI mengakui bahwa adanya mafia minyak goreng terkait langka dan mahalnya minyak di pasaran.

Dia mengungkapkan tak mungkin ribuan kilo liter minyak goreng hilang disebabkan ibu-ibu rumah tangga yang memborong. Namun, pernyataan Sahat berubah ketika Jaksa Agung Menetapkan tersangka mafia minyak goreng tempo hari. Dia memprotes penetapan tersangka dan mengklaim tiga produsen tersebut aktif mengucurkan kuota minyak ke dalam negeri.

“Nah kalau mengucurkan ke dalam negeri itu kan harus ada bukti. Untuk bisa mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE). Kalau mereka pergi dari ruangan Kementerian Perdagangan itu, ya nggak bakal dapat. Jadi mereka harus nungguin sampai jam 4 pagi buat dapat PE itu. Nah itu yang dijadikan sebagai bukti bahwa mereka mendekati pejabat,” jelas dia kepada wartawan, Rabu (20/4).

“Dan saya sudah hubungi Kementerian Perindustrian, kalau prosesnya begini, kami akan mengundurkan diri dari program minyak curah subsidi. Akan dibereskan kata pak Putu. Sekarang banyak PE (persetujuan ekspor) disobekin oleh pengusaha, karena sudah tidak ada gunanya. Maka kita itu protes keras dan minta ke Kementerian Perindustrian supaya ini dibereskan. Kalau enggak, kami tidak akan menjalankan program pemerintah ini,” ancamnya.

Infografik HL Indepth Minyak Goreng

Infografik HL Indepth Kejagung Menetapkan Tersangka Minyak Goreng. tirto.id/Sabit

Minyak Goreng Melimpah Tak Menurunkan Harga

Minyak goreng kemasan melimpah di pasaran setelah pemerintah mencabut Harga Eceran Tertinggi (HET) pada 17 Maret. Melimpahnya minyak goreng seharusnya dibarengi dengan harga yang terjangkau. Akan tetapi, harga minyak goreng tetap melonjak meskipun sudah satu bulan sejak dicabut HET.

Merujuk pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga minyak goreng kemasan bermerk 1 pada 23 Maret lalu sebesar Rp21.500 per kilogram di Bukit Tinggi, kini menjadi Rp25.259/ kg pada 20 April.

Sedangkan di Kota Tasikmalaya harga minyak goreng Rp19.900/ kg menjadi Rp25.650/ kg. Begitupula dengan Kota Jakarta Pusat, harga minyak goreng Rp20 ribu/ kg menjadi Rp26.000/ kg. Kondisi serupa juga terjadi pada minyak goreng curah yang dipatok dengan harga eceran tetap (HET) sebesar Rp14 ribu per liter, tapi kenyataan di lapangan berbeda.

Data Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), harga minyak curah masih tinggi meskipun pemerintah telah mematok harga HET. Di pasar wilayah Jabodetabek, harga minyak goreng sekitar Rp19-20 ribu per liter, sedangkan Indonesia bagian timur harga minyak goreng curah di pasaran melebihi harga Jabodetabek.

Menurut Sekjen IKAPPI Reynaldi Sarijawan, masyarakat enggak muluk-muluk mintanya, yakni bisa menjangkau harga minyak goreng. Ketika pememerintah enggak bisa menjamin pasokan itu maka terjadi gejolak di masyarakat.

"Indonesia timur (minyak curah) Rp21-22 ribu per kg. Emang sebutan subsidi, tapi nama doang," ucapnya saat dihubungi Tirto, Senin (21/3).

Merujuk pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga minyak goreng curah pada 23 Maret lalu sebesar Rp18.500/ kg di Kota Palu menjadi Rp25.850/ kg pada 20 April. Sedangkan harga minyak goreng curah termahal berada di Kota Gorontalo yang awalnya Rp24.350/ kg menjadi Rp28.650/ kg.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Penguatan Pangan & Distribusi Pangan IKAPPI mengatakan per 19 April lalu harga minyak goreng curah masih bertengger di harga Rp20.000/ kg. Ia bilang minyak goreng ini mempunyai banyak faktor pendukungnya sehingga harganya masih di atas harga eceran tertinggi.

“Disparitas harga yang cukup tinggi dengan minyak goreng kemasan membuat banyak pihak bermain untuk menaikkan harga minyak goreng curah,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait MAFIA MINYAK GORENG atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Adi Renaldi