tirto.id - Jalan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal melaju menjadi undang-undang tampaknya masih menemui tembok tebal. Alih-alih mulai membahas secara serius draft naskah akademik dua RUU tersebut, DPR malah lempar bola seakan berkelit dari tanggung jawab mereka terhadap rancangan beleid itu. Jurus lempar bola DPR jelas terendus saat rapat kerja Komisi III bersama KPK dan PPATK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2024) lalu.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal sangat dibutuhkan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas membasmi rasuah. Kedua RUU tersebut akan menjadi kontrol terhadap aset penyelenggara negara maupun aparat penegak hukum.
“Kalau asetnya kemudian kita kontrol oleh negara itu akan lebih kemudian mensistemasi kehadiran negara untuk memaksa dan mewajibkan setiap penyelenggaraan menjadi berintegritas,” ujar Ghufron dalam rapat.
Ghufron berpendapat penegakan hukum pidana korupsi tak cukup dengan penindakan. Dia menegaskan perlu ada cara-cara yang sistematis dan lebih terpadu dalam pemberantasan korupsi.
“Langkah-langkah yang kami lakukan selama ini masih dalam tataran meningkatkan integritas, mengetatkan tata kelola, dan terakhir baru penindakan,” kata dia.
Di Singapura, Ghufron mencontohkan, negara mampu memaksa dan mewajibkan orang tak berbohong atau berdusta lewat adanya aturan perampasan aset dan pembatasan transaksi uang kartal. Hadirnya aturan tersebut mau tak mau bakal mengubah sistem demokrasi atau berpolitik negeri ini supaya tidak ada hal-hal yang kemudian sifatnya sangat transaksional.
“Negara tidak hanya sekadar untuk kemudian mengatur tapi memaksa dan mewajibkan orang tak bisa bohong atau tidak bisa berdusta, salah satu komponen itu adalah dengan RUU Perampasan Aset maupun RUU Pembatasan Uang Kartal,” ujar Ghufron.
Kendati demikian, Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, memandang tidak sejalannya prioritas kelembagaan KPK dan PPATK justru menghambat jalannya pembahasan RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Menurut Pacul, ada ketidaksinkronan program prioritas 2025 antara KPK dan PPATK. Padahal, kata dia, dua lembaga itu merupakan unit utama yang membidangi permasalahan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
”Dari plotting yang didapat di anggaran dikau berdua, tidak didapat itu. Karena di sini program prioritas KPK 2025 terhadap rekomendasi undang-undang, dimasukkan justru UU tentang perubahan kedua, UU KPK,” kata Pacul.
Bambang menyarankan agar KPK dan PPATK membentuk tim komunikasi untuk membahas rencana mewujudkan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Hal itu dimaksudkan agar anggaran kedua lembaga tersebut dapat fokus pada kepentingan negara. DPR berharap ada sinergi antara KPK dan PPATK agar dua RUU yang sudah lama masuk Senayan itu segera bisa disahkan.
“Pekerjaan rumah kita cuma dua, Pak, RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Itu di unitnya ada di PPATK dan KPK,” ujar Pacul.
Sejumlah pengamat antikorupsi menilai pernyataan DPR Komisi III cuma jurus berkelit untuk menghindari kenyataan bahwa dua rancangan undang-undang itu justru macet di Senayan. Jika kembali melempar bola ke KPK dan PPATK, justru dinilai sebagai jalan mundur dalam diskursus RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Transaksi Uang Kartal yang sudah lama draft akademiknya bercokol di DPR.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai hambatan DPR membahas lebih jauh RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Transaksi Uang Kartal bukan karena masalah substansi, namun sebab tidak adanya kemauan politik yang kuat anggota dewan mengesahkan aturan ini. Usul pembuatan tim komunikasi untuk membahas dua RUU itu dapat saja diwujudkan, namun harus dengan tujuan mempercepat pembahasan kedua aturan tersebut.
“RUU ini masih dianggap sebagai satu instrumen hukum yang cukup menakutkan untuk elit-elit politik. Karena bisa menerapkan pembuktian terbalik terhadap harta benda para penyelenggara negara yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya,” kata Zaenur kepada reporter Tirto, Rabu (12/6/2024).
Zaenur menilai kendala utama macetnya dua RUU ini tak lain dan tak bukan justru dari DPR sendiri. Meski draft rancangan belum sempurna betul, RUU Perampasan Aset misalnya, jadi sangat penting disahkan karena dapat menjadi instrumen hukum yang dapat mendukung efektivitas pemberantasan korupsi dan berbagai jenis tindak pidana lain.
“Karena kan perampasan aset ini semua bentuk tindak pidana, tidak hanya tindak pidana korupsi. Termasuk misalnya perdagangan gelap narkotika, penyalahgunaan narkotika, juga untuk pidana terorisme, perbankan, kejahatan ekonomi, dan seterusnya,” jelas Zaenur.
Menurutnya draft RUU Perampasan Aset yang terakhir disodorkan pemerintah ke DPR pada 2023 memang masih dapat dibongkar lagi. Sebab ada beberapa pasal yang masih menjadi catatan sejumlah pegiat antikorupsi.
Zaenur menjelaskan, dalam draft RUU Perampasan Aset terlihat bahwa penerapannya nanti hanya bisa dilakukan jika seseorang yang diduga memiliki harta tidak mampu dijelaskan asal-usulnya melarikan diri, meninggal dunia, atau tidak diketahui keberadaannya. Jadi RUU Perampasan Aset ini tidak bisa digunakan dalam kondisi normal.
“Menurut saya ini sangat tanggung. Kenapa? Karena justru yang menjadi tantangan utama adalah di keadaan normal,” tutur Zaenur.
Seharusnya, kata dia, RUU Perampasan Aset bisa juga bisa diterapkan meskipun orang yang dipidana itu masih ada atau tidak absen. Itu akan membuat pemberantasan korupsi dan taji dari aturan ini semakin efektif ketimbang diterapkan dalam kondisi seseorang absen.
“Jika dikembalikan kepada KPK dan PPATK gitu, [DPR] jadi terkesan cuci tangan akhirnya. Ya saya melihat ini lebih kepada ketakutan yang tidak beralasan ketika DPR mengulur-ulur pembahasan RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Transaksi Uang Kartal,” tegas Zaenur.
Pemerintah dan DPR pada 2023 pernah mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023. Hal tersebut diikuti surat dan draft yang dilayangkan Presiden Joko Widodo kepada Ketua DPR pada Mei 2023, untuk meminta DPR membahas RUU Perampasan Aset di Senayan. Namun hingga saat ini RUU Perampasan Aset cuma gaung sebagai jualan kampanye politik dan belum terlihat kemauan serius DPR membahas RUU ini lebih lanjut.
Nasib serupa juga terjadi pada RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Naskah akademik RUU ini bahkan sudah ada sejak 2013. Namun saban tahun cuma menjadi RUU yang masuk Prolegnas prioritas tanpa ada pengesahan dan pembahasan serius hingga saat ini.
Dalam naskah akademik RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, jenis transaksi tunai akan dibatasi tidak lebih dari Rp100 juta yang dilakukan dalam satu kali transaksi. Subjek yang diatur dalam transaksi penarikan, penerimaan, penyetoran, dan pembayaran dengan menggunakan uang tunai adalah perseorangan, perusahaan berbadan hukum ataupun tak berbadan hukum serta lembaga lainnya.
Cuci Tangan DPR
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, memandang sikap DPR yang lempar bola mandegnya pembahasan RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Transaksi Uang Kartal kepada KPK dan DPR sebagai bentuk lari dari kesalahan. DPR disebut cuma cari-cari alasan untuk cuci tangan dari macetnya pembahasan dua RUU tersebut di Senayan.
“Sesungguhnya DPR memang tak berani atau tak mampu membahas RUU Perampasan Aset itu. Ketidakberanian itu bukan tentang anggota DPR semata, tetapi lebih kepada partai politik yang mempunyai para wakil di Senayan,” kata Lucius kepada reporter Tirto.
Lucius menilai, jika RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Transaksi Uang Kartal disahkan, itu sama saja mengancam eksistensi partai politik dan kroni-kroni yang mendukung aktivitas mereka. Jamak diketahui, kata dia, hidup mati parpol sendiri sangat tergantung pada kekuatan modal untuk menggerakkan mesin partai hingga ke daerah.
Partai dengan sumber finansial yang minim akan bersikap untuk tiarap. Di sisi lain, finansial partai pada saat bersamaan nampak juga bergantung pada sumber-sumber ilegal seperti anggaran program pemerintah atau sumbangan korporasi gelap. Maka akan sulit menurutnya mengharapkan RUU Perampasan Aset dibahas serius DPR jika aliran dan tata kelola keuangan parpol dan politisi tak terlebih dahulu dibenahi.
“Jelas saja pola tata kelola keuangan partai ini sesuatu yang berbanding terbalik dengan niat RUU Perampasan Aset yang niatnya mau menyapu aset ilegal,” terang Lucius.
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menilai sikap DPR saat ini cuma salah satu episode drama lempar tanggung jawab mereka dalam mengesahkan RUU. Padahal, kata dia, DPR sendiri yang tidak membahas serius RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Transaksi Uang Kartal menjadi target tujuan untuk segera disahkan.
“Tidak elok kalau DPR melimpahkan penyebab keterlambatan ke PPATK dan KPK. Sebab terkait produk UU adalah tanggung jawab utama DPR, sebab kalau mau DPR bisa sahkan tidak waktu lama misal dalam revisi UU KPK proses pembahasan dan pengesahan hanya butuh 12 hari,” ujar Azmi kepada reporter Tirto.
Bahkan dalam situasi pandemi COVID-19 silam, DPR mampu mengesahkan UU Cipta Kerja di 2020. Maka hal ini cuma masalah kemauan dan komitmen saja dari DPR dalam membahas dua RUU yang disebut sakti dalam memberantas korupsi.
Di sisi lain, jika berani maka Presiden Jokowi sebenarnya dapat mengeluarkan Perpu terkait UU Perampasan Aset. Sehingga akan terlihat siapa yang punya kepentingan menjegal RUU ini. Termasuk masyarakat akan mampu melihat dan mengetahui siapa di antara DPR dan pemerintah yang pro kepentingan rakyat.
“Kalaupun ada perbedaan masalah ya semestinya fokus pada tujuan terwujudnya UU dimaksud. Tinggal masukan ke DIM dan temukan solusi dan harmonisasi, bukan pula DPR lempar bola ke lembaga lain,” tegas Azmi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang