tirto.id - Terbungkus amplop coklat, tabloid yang mengusung tajuk utama “Reuni 212: Kepentingan Umat atau Kepentingan Politik?” itu menyebar ke banyak wilayah di Indonesia, utamanya di masjid-masjid dan berbagai pesantren.
Di Kalimantan Selatan, ditemukan 21 koli kargo dengan 416 amplop di tiap koli dan 3 eksemplar tabloid dalam setiap amplopnya. Di Bekasi, di 12 masjid, ada 36 eksemplar tabloid yang diterima. Di Cianjur, 333 eksemplar tabloid tersebut menyebar di berbagai masjid dan pesantren.
Indonesia Barokah, demikian nama tabloid itu, menyebar secara masif di Indonesia. Tabloid yang—menurut susunan redaksi yang tertulis—berada di bawah tanggung jawab Moch. Shaka Dzulkarnaen dan Ichwanuddin sebagai pemimpin umum dan pemimpin redaksi itu memanfaatkan jasa antar PT. Pos Indonesia.
Tabloid Indonesia Barokah mengabarkan informasi dengan bingkai yang cenderung bertujuan menghasilkan sentimen negatif kepada capres Prabowo Subianto. Ini serupa tabloid Obor Rakyat pada Pilpres 2014, yang kerap disebut sebagai media yang sukses memproduksi kampanye negatif terhadap Joko Widodo. Dua pengelolanya bahkan dipidana bertolak dari aduan Jokowi.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menyebut Polri bersama PT. Pos Indonesia beserta pihak masjid dan pesantren melakukan langkah progresif untuk menindak penyebaran tabloid tersebut. Salah satu langkahnya adalah menyetop proses pengiriman tabloid-tabloid yang telanjur ada di tangan Pak Pos.
Biaya sirkulasi tabloid Indonesia Barokah tak murah. Ini diamini oleh Ardiantha Saputra, Kepala Kantor Pos Tulungagung. Ardiantha. Ia, seperti dikutip Detik, menyebut “total pendapatan (nasional) yang diterima (dari biaya mengirimkan tabloid oleh pengirim) mencapai Rp1,458 miliar.”
Di luar konten yang kontroversial, mengapa Indonesia Barokah memilih merilis produk mereka dalam bentuk cetak dan menyebarkannya secara konvensional, sementara dunia online menyajikan cara lebih sederhana untuk tujuan serupa?
Mengakses Dunia Offline
Modus Indonesia Barokah itu ada presedennya. Seperti disebut di atas, Obor Rakyat, tabloid panas yang hadir pada masa pemilihan presiden 2014, bekerja seperti tabloid Indonesia Barokah kini. Tabloid itu disebar secara offline: dari masjid ke masjid, pesantren ke pesantren, bukan secara online.
Setiyardi Budiono, Pemimpin Redaksi Obor Rakyat, menyebut tindakan menyebarkan tabloidnya secara offline tersebut dilakukan karena penetrasi internet pada 2014 belum seperti sekarang.
Ia benar. Pada 2014, hanya ada sekitar 44 juta pengguna internet di Indonesia, atau kurang dari 20 persen total populasi penduduk. Menyebarkan konten-konten yang dimuat Obor Rakyat dalam bentuk media cetak merupakan pilihan terbaik untuk meluaskan jangkauan keterbacaan tabloid tersebut.
Lima tahun berlalu, peta sudah berubah. Statista melansir data yang menunjukkan ada 120 juta pengguna internet asal Indonesia. Obor Rakyat yang hendak terbit-ulang di tahun 2019 menyatakan tak hanya akan terbit dalam format cetak. Obor Rakyat pun akan terbit secara online.
“Kalau bentuk akan [juga tampil] sebagai kanal [format digital],” ucap Setiyardi.
Mengapa Obor Rakyat mesti terbit juga secara online? Menurut Setiyardi, format digital adalah masa depan, yang menggilas format konvensional. “Lima tahun ke depan ini akan semakin menggila media-media mainstream, media cetak [mati].”
Lalu, jika pengguna internet telah semakin membesar, mengapa Obor Rakyat dan penirunya, Indonesia Barokah, masih akan terbit sebagai media cetak?
Pertumbuhan jumlah pengguna internet memang besar. Tahun ini, penetrasi pengguna internet Indonesia berada pada angka 44,3 persen dari total populasi penduduk.
Sayangnya, meski penikmat internet terhitung besar, penduduk yang saling terhubung via internet tidak merata. Ada jarak yang cukup besar antara online dan offline.
Alice Truong, dalam laporannya di Quartz, membuktikan ketidakmerataan pengakses internet dengan membandingkan jumlah bahasa yang digunakan di dunia offline dengan bahasa yang digunakan di dunia online. Hasilnya, ada lebih dari 7 ribu bahasa yang digunakan penduduk di dunia offline. Sementara itu, pengguna Google hanya menggunakan tak lebih dari 500 bahasa dan penduduk Facebook baru menggunakan 130 bahasa di platformnya.
Di Indonesia, menurut Survei Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet yang diselenggarakan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017, ketidakmerataan penetrasi internet dibagi ke dalam tiga wilayah: urban (wilayah dengan GDP yang berasal dari non-pertanian), urban-rural (campuran), dan rural (pertanian).
Di wilayah urban, penetrasi internet telah mencapai 72,41 persen. Namun, di wilayah urban-rural dan rural, penikmat internet hanya mencakup sekitar separuh penduduk: masing-masing 49,49 persen dan 48,25 persen dari seluruh penduduk.
Artinya, meski pengguna internet besar, masih ada penduduk tak terkoneksi internet dengan porsi yang juga besar di wilayah urban-rural dan rural. Artinya, berkampanye politik secara offline di era digital ini masih sangat relevan.
Kaum Imigran Digital
Relevansi memasarkan produk secara offline tak hanya disebabkan faktor penetrasi. Di dunia yang semakin "segalanya digital", ada orang-orang yang masih menyenangi sentuhan-sentuhan konvensional, sentuhan offline.
Marc Prensky dalam “Digital Native, Digital Immigrants,” menyebut bahwa setidaknya ada dua tipe manusia di era ini: digital native dan digital immigrants.
Digital native merupakan mereka kaum milenial dan generasi setelahnya, kaum yang hidup dan tumbuh bersama Google, Facebook, dan aplikasi e-mail yang memudahkan berkirim surat. Generasi pribumi digital ini lahir sejak dekade 1980an hingga hari ini.
Generasi yang lahir sebelum mereka adalah imigran digital. Kaum ini hidup di wilayah yang serba-digital, tetapi pemikiran dan cara hidupnya masih berpatok ada cara lama. Meski hidup di tengah kungkungan teknologi, imigran digital tak tercebur dalam era internet of things.
Mereka masih membaca pesan SMS dan telepon, alih-alih ruang chat. Mereka juga tak paham betul cara menggunakan media sosial, termasuk saat mereka mempunyai akun media sosial. Mereka masih membaca media cetak, alih-alih tergantung pada sediaan informasi di internet. Kaum inilah yang nampaknya ingin disasar tabloid Indonesia Barokah.
Editor: Maulida Sri Handayani