tirto.id - Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ali Mukartono dalam persidangan kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) meminta jadwal pembacaan tuntutan terhadap Ahok ditunda karena belum selesainya penyusunan tuntutan.
"Memang sedianya persidangan hari ini agendanya adalah pembacaan surat tuntutan dari kami selaku Penuntut Umum, kami sudah berusaha sedemikian rupa bahwa ternyata waktu satu minggu tidak cukup atau kurang cukup bagi kami untuk menyusun surat tuntutan," kata Ali dalam lanjutan sidang Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (11/4/2017).
Ia pun mewakili tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta maaf soal permintaan ditundanya sidang ke-18 Ahok tersebut.
"Kami memohon waktu untuk pembacaan surat tuntutan karena kami tidak bisa bacakan hari ini," ucap Ali.
"Saudara Penuntut Umum, ini belum selesainya itu ketiknya?," tanya Ketua Majelis Hakim Dwiarsi Budi Santiarto.
"Ketiknya, Yang Mulia," jawab Ali.
"Orang segini banyak masa ketiknya tidak bisa dibagi-bagi?," tanya Hakim Dwiarso, seperti dikutip dari Antara.
"Kami banyak pemahaman dan sebagainya, kami juga lebih komprehensif dan sebagainya mohon pertimbangannya, Yang Mulia," jawab Ali.
Menurut Hakim Dwiarso, pihaknya tidak ingin dianggap mengistimewakan perkara satu dari perkara lainnya. Dwiarso menuturkan di hadapan hukum, semua perkara diperlakukan sama, tidak ada perbedaan perlakuan.
Hakim pun menanyakan kesiapan pembacaan tuntutan pada minggu depan. Sayang, jaksa menyebut tentang adanya surat permintaan dari Polda Metro Jaya. Jaksa berharap persidangan ditunda hingga usai Pilkada DKI Jakarta. Hakim pun langsung mencecar alasan kenapa persidangan diundur hingga 2 minggu. Hakim mengaku heran dengan alasan tersebut.
"Selama jadi hakim saya gak pernah menunda 2 minggu," ujar Dwiarso.
Setelah mencapai kesepakatan dengan tim penasehat hukum Ahok dan JPU, akhirnya diputuskan sidang dengan agenda pembacaan tuntutan Ahok ditunda hingga Kamis, 20 April 2017.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri