tirto.id - Pemerintah telah menyampaikan sejumlah asumsi makro untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan Nota Keuangan 2019 dalam Rapat Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis siang (16/8/2018). Salah satu poin yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya adalah nilai tukar dolar dipatok Rp14.400.
Pemerintah masih akan mengantisipasi dinamika perekonomian di negara maju. Di antaranya, normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat dan Eropa, krisis ekonomi di sejumlah negara seperti Argentina, Venezuela, dan Turki, serta perkembangan ekonomi Cina.
Berbagai faktor eksternal itu yang dinilai memengaruhi stabilitas dan pergerakan nilai tukar mata uang rupiah. Untuk itu, pemerintah memperkirakan nilai tukar rupiah bakal berada pada kisaran Rp14.400 per dolar AS di tahun depan sebagai angka yang realistis.
“Perlu kita sadari bersama bahwa tantangan ini tidak hanya dialami oleh rupiah, tetapi juga oleh banyak mata uang global,” kata Jokowi dalam pidatonya, di hadapan anggota DPR RI, Kamis siang (16/8/2018).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai proyeksi nilai tukar sebesar Rp14.400 per dolar AS sudah cukup konservatif. Menurutnya, penentuan angka tersebut sudah melalui pembicaraan dengan Bank Indonesia (BI) dan juga melihat tren ekonomi global di tahun depan.
Sri Mulyani menyoroti sejumlah indikator perekonomian Amerika Serikat yang dijadikan acuan oleh pemerintah dalam menentukan target nilai tukar. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat masih akan cukup kuat, setidaknya sampai dengan dua kuartal ke depan.
Ia menuturkan beberapa faktor, seperti defisit APBN Amerika Serikat yang tinggi, meningkatnya suku bunga, harga komoditas yang terus naik, hingga kenaikan tarif impor bakal memengaruhi sisi permintaan domestik dari dalam Amerika Serikat sendiri. Oleh karena itu, pemerintah pun melihat dolar AS yang terus perkasa itu tidak panjang napasnya.
“Itu yang kemudian kami lihat sebagai risiko tahun depan. Kalau ditanya besok Presiden AS Trump [Donald Trump] menuliskan apa di Twitter, kan kami tidak tahu. Itu artinya ada yang bisa diprediksi dan ada yang tidak bisa,” kata Sri Mulyani saat jumpa pers di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis sore (16/8/2018).
Guna menjaga stabilitas mata uang rupiah itulah, strategi dari Bank Indonesia (BI) menjadi yang paling ditunggu-tunggu. Sebab persoalan kurs memang merupakan domain dari BI.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, gejolak yang sifatnya datang dari eksternal memang belum tentu bisa selesai dalam waktu dekat. Dody menilai perkembangan nilai tukar mata uang pun masih berpotensi untuk bergejolak.
“Namun dari domestik, kan, bakal ada juga event-event besar,” ujar Dody.
Dody memang tidak menyebutkan secara gamblang apakah proyeksi nilai tukar sebesar Rp14.400 per dolar AS itu realistis atau tidak. Kendati demikian, ia mengaku optimistis nilai tukar bisa terjaga secara stabil di level tersebut. “BI proyeksinya juga sesuai dengan APBN [2019],” kata Dody.
Sementara itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo menilai sejumlah asumsi makro pada RAPBN 2019 tergolong realistis. Ia mengaku tidak ragu terhadap proyeksi nilai tukar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
“Kalau bicara tentang dolar AS kan memang fluktuatif. Bisa tinggi, maupun rendah. Sekarang ini sudah keputusannya untuk [menetapkan] rata-ratanya,” ujar Bambang.
Munculnya target nilai tukar sebesar Rp14.400 per dolar AS itu memang lebih tinggi dari yang selama ini dibahas antara pemerintah dengan Badan Anggaran DPR. Dalam asumsi makro 2019, pemerintah dan para anggota dewan telah menyepakati bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp13.700-Rp14.000.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, keputusan pemerintah itu sebagai bentuk kepasrahan kepada pasar. Beberapa hari ini dolar memang makin menguat terhadap rupiah, misalnya pada Senin (13/8) dolar mencapai Rp14.625, level terkuat pada tahun ini.
“Kemungkinan tahun depan [kurs] akan lebih tinggi, sekitar Rp14.700-Rp14.800. Pemerintah kelihatannya kehabisan opsi,” kata Bhima kepada Tirto, pada Jumat (17/8/2018).
Bhima menilai pemerintah dan BI selama ini cenderung jor-joran dalam hal moneter, seperti terus menaikkan suku bunga acuan. Sementara dari pemerintah malah banyak kebijakan yang disebutnya dadakan, seperti rencana untuk mengerem 500 bahan baku impor sampai dengan ide untuk menunda proyek infrastruktur yang tidak prioritas.
Menurut Bhima, sudah menjadi hal biasa apabila rencana yang dicanangkan pemerintah tidak mencapai target yang ditetapkan pada APBN. Bhima mengingatkan bahwa tantangan yang harus dihadapi mata uang rupiah di tahun depan semakin berat, mengingat tetap adanya pengaruh dari faktor eksternal maupun dari dalam negeri.
“Sehingga pemerintah memang perlu memformulasikan secara detail, bagaimana cara untuk meningkatkan kekuatan nilai tukar, agar bisa stabil di bawah Rp14.000,” ujar Bhima.
Bhima menengarai penentuan angka Rp14.400 per dolar AS yang dibarengi dengan prediksi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar 70 dolar AS per barel itu bakal membuat subsidi energi membengkak. Dikutip dari bahan RAPBN 2019 Kementerian Keuangan, alokasi subsidi energi 2019 mencapai Rp156,5 triliun. Meroket hingga 65 persen dibanding APBN 2018 yang hanya dipatok Rp94,6 triliun.
Menurut Bhima, proyeksi tersebut menjadi semacam pembenaran bagi pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM subsidi pada 2019. Padahal bila realitas nilai tukar mata uang melenceng dari proyeksi, maka yang terjadi adalah meningkatnya harga bahan baku dan inflasi dari barang-barang impor. Bhima pun memperkirakan BBM non-subsidi juga berpotensi naik, di samping beban utang pemerintah dan swasta yang akan meningkat.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz