tirto.id - Presiden Joko Widodo menganggap "persoalan besar di Jakarta hanya dua". Itu adalah "banjir" dan "macet", demikian katanya, seperti dikutip dari Antara. Pernyataan ini, oleh pengamat dan aktivis, dianggap terlalu menyederhanakan masalah.
Jokowi mengatakan itu di Balikpapan, Kalimantan Timur, saat wartawan memintanya menanggapi soal banjir yang terjadi di Jakarta Selasa (17/12/2019) lalu. Sebelum bicara macet dan banjir, Presiden ke-7 Indonesia itu sempat terdiam sekitar 30 detik.
Setelahnya Jokowi menjelaskan solusi dari masing-masing masalah itu. Untuk banjir, solusinya adalah pembangunan Bendungan Sukamahi dan Ciawi yang terletak di Bogor. Bendungan ini selesai kira-kira akhir tahun depan.
"Kalau dua bendungan itu sudah jadi, [banjir Jakarta] akan bisa lebih dikendalikan," kata Jokowi.
"Tapi juga sangat tergantung sekali dengan pembersihan got, kemudian juga pelebaran dari Sungai Ciliwung yang sampai di Jakartanya menyempit; ketiga manajemen pengelolaan pintu-pintu air dan pengerukan waduk-waduk di Jakarta seperti Waduk Pluit dan lainnya," tambah Jokowi.
Sedangkan untuk urusan mengatasi macet, Jokowi menjelaskan solusinya adalah memasifkan transportasi massal. "Untuk urusan macet, kami juga sudah membangun MRT. Tahap 1 selesai. Bangun LRT yang nanti akhir 2021 insya Allah selesai. Akan sangat mengurangi macet," katanya.
Salah satu yang menyimpulkan Jokowi terlalu menyederhanakan masalah adalah pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga. Faktanya, kata Nirwono kepada reporter Tirto, Kamis (19/12/2019), Jakarta adalah nama lain dari 'gudang masalah'.
Dalam konteks tata kota, misalnya, masalah Jakarta adalah tidak tertatanya pemukiman penduduk yang pada akhirnya memicu penggusuran, terutama untuk pemukiman si miskin.
Sebelumnya, Nirwono mengatakan sebagian besar tata ruang di Jakarta tidak tepat peruntukannya. Daerah Kemang, misalnya, sebenarnya bukan untuk kawasan komersial. Ia adalah daerah resapan air, sama seperti Pondok Indah. Satu lagi daerah yang semestinya jadi wilayah resapan air adalah Pantai Indah Kapuk.
Jakarta juga cepat sekali berubah, terutama makin sempitnya ruang terbuka hijau (RTH).
Sistem drainase kota pun tak bisa dibilang baik. Versi Nirwono, hanya 33 persen yang berfungsi dengan baik. Saluran air itu kerap tersumbat lumpur, sampah, bahkan limbah.
Pada akhirnya, menurut Nirwono, pernyataan Jokowi "berlawanan dengan apa yang sering disebut pemerintah, bahwa Jakarta kelebihan beban, terlalu banyak masalah, dan jadi alasan pemerintah memindahkan ibu kota."
Krisis Ekologis
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi juga punya pendapat yang sama. Ia bahkan mengatakan ibu kota saat ini dalam keadaan krisis ekologis.
Penyebab utamanya adalah pembangunan yang tidak terkontrol. Pohon-pohon untuk penghijauan dan resapan air ditebangi, semata-hanya untuk pembangunan infrastruktur.
"Sistem kebijakan dan politik ini yang tidak berpihak pada lingkungan hidup," kata Tubagus kepada reporter Tirto.
Salah satu data yang menunjukkan bagaimana krisis ekologis terjadi adalah 'Peta Amblesan Tanah' DKI Jakarta yang dibuat Badan Geologi pada 2009. Di sana disebutkan antara 1982 hingga 1997, terjadi penurunan tanah lebih dari 180 sentimeter. Penurunan muka tanah paling kentara terjadi di daerah Cengkareng, Kapuk, dan Penjaringan. Sedangkan di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat, penurunan muka tanah terjadi lebih dari 120 sentimeter.
Masalah lain yang disinggung Tubagus adalah "sumber-sumber dukungan lingkungan hidup yang semakin hilang." Misalnya, sistem pengelolaan sampah yang tak maksimal, tingginya polisi udara--Jakarta beberapa kali tercatat sebagai kota dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia--, dan rusaknya wilayah pesisir.
"Ini Jakarta semakin kolaps karena sumber-sumber dukungan lingkungan hidup semakin hilang," Tubagus menegaskan.
Sementara Manager Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung menyinggung perkara polusi air, terutama di Jakarta Utara dan Barat. Di lokasi tersebut banyak terdapat polusi air karena limbah atau sampah dari kawasan perumahan. Kesehatan masyarakat pada akhirnya terganggu.
Hal ini diperparah karena menurutnya pemerintah kurang maksimal membangun sistem pengelolaan air kotor.
"Maka mulai membangun pengolahan air kotor di seluruh wilayah DKI, pengolahan air kotor komunal. Disiplin terhadap perencanaan saluran dan sistem pengolahan air kotor," terangnya.
Masalah Sosial
Masalah Jakarta juga tak hanya yang berkaitan dengan lingkungan. Aspek sosial, terutama masalah intoleransi, pun patut dimasukkan dalam keranjang "persoalan besar di Jakarta".
Peneliti dari Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, mengatakan intoleransi adalah penyakit yang cukup akut di Jakarta. Itu mengemuka terutama setelah muncul peristiwa 'penistaan agama' yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat masih menjabat Gubernur DKI (2016).
Saat itu Ahok didemo bertubi-tubi oleh kelompok oposisi yang mengatasnamakan agama tertentu. Mereka menuntut Ahok diadili--dan akhirnya dikabulkan hakim.
"Celakanya bukan demonstrasi untuk demokrasi. Tapi untuk mobokrasi, mereka memaksakan kehendak," kata Andreas.
Intoleransi juga terlihat dalam kasus penolakan pendirian rumah ibadah di Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada awal tahun lalu.
Pernyataan Andreas dipertegas oleh rilis Kementerian Agama (Kemenag) beberapa pekan lalu. Mereka menyatakan indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) ibu kota hanya 71,3. Angkanya lebih rendah ketimbang standar KUB nasional sebesar 73,83.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino