tirto.id - Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata keturunan raja. Tak tanggung-tanggung, Presiden RI ke-6 ini punya pertalian darah dengan Raden Wijaya, raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan Majapahit. Tak hanya itu, SBY juga masih satu garis keluarga dengan Sri Sultan Hamengkubuwana III.
Setidaknya itulah “informasi” yang disebarkan Andi Arief melalui akun Twitter-nya pada 25 Februari 2018 lalu. Politisi Partai Demokrat ini mengunggah foto dua lembar kertas yang menunjukkan silsilah SBY, dan dua putranya, yakni Agus Harimurti Yudhoyono serta Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, masih bertautan dengan trah raja-raja Mataram.
Silsilah Majapahit dan Mataram pic.twitter.com/ZpsjCv4sYD
— Andi Arief (@andiarief__) February 25, 2018
Andi Arief memang cuma berbagi “informasi”, terlepas dari cukup dekatnya eks aktivis mahasiswa ini dengan sang mantan penguasa. Semasa SBY memerintah, ia adalah Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. Dan, tentunya bukan tanpa alasan atau nir kepentingan Andi Arief mengunggah foto silsilah yang mengklaim SBY masih keturunan Majapahit sekaligus Mataram Islam itu.
Tak hanya SBY seorang yang pernah dikait-kaitkan dengan raja-raja besar di Nusantara. Semua Presiden RI, termasuk Joko Widodo, juga tokoh-tokoh lain yang kerap mengincar kekuasaan macam Prabowo Subianto, Yusril Ihza Mahendra, dan lainnya, juga tak luput dari klaim politik silsilah.
Kendati tokoh-tokoh itu, termasuk para Presiden RI, tidak lantas mengiyakan kebenaran klaim tersebut secara langsung, akan tetapi inilah salah satu cara—yang biasanya dilakukan oleh pendukung atau tim sukses mereka—untuk melegitimasi “keabsahan” sebagai pemimpin rakyat.
Sukarno, Soeharto, dan Megawati
Sukarno dan Soeharto ibarat air dan api. Tapi siapa sangka, keduanya konon punya leluhur yang sama, yaitu Sultan Hamengkubuwana II.
Dimulai dari Sukarno. Sang proklamator sekaligus Presiden RI pertama ini disebut-sebut masih keturunan Sultan HB II yang bertakhta di Kesultanan Yogyakarta dalam tiga periode berbeda, yakni 1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828.
Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam buku Ayah-Bunda Bung Karno (2002) merunut silsilah sang putra fajar dari garis kedua orangtuanya. Kakek Sukarno, Raden Hardjodikromo, dipercaya merupakan salah satu cicit Sultan HB II dari putranya yang bernama Pangeran Mangkoediningrat atau Raden Mangoendiwirjo (hlm. 18).
Dari jalur ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, Sukarno mendapatkan trah bangsawan Bali. Gde Pasek Suardika & Izarman dalam buku Bung Karno, Saya Berdarah Bali (1998) menyebutkan, Sukarno mewarisi sebilah keris dari kakeknya (ayahanda Ida Ayu Nyoman Rai). Keris itu diwariskan turun-temurun di keluarga Bale Agung yang masih keturunan Raja Buleleng, termasuk pernah digunakan kakek Sukarno saat menghadapi penjajah Belanda (hlm. 41).
Jika Sukarno masih keturunan Hamengkubuwana II dari Kesultanan Yogyakarta dan Kerajaan Buleleng, maka garis darah serupa juga berlaku untuk putrinya, Megawati Soekarnoputri, yang menjadi Presiden RI ke-5.
Demikian pula dengan Soeharto. Soemitro Djojohadikusumo dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000) mengungkapkan, Presiden RI ke-2 ini pernah mengatakan masih punya tali kekerabatan dengan keluarga keraton. Soemitro menduga, Pak Harto keturunan dari Sultan HB II, sama seperti Sukarno.
Dugaan ini diperkuat dengan artikel menggegerkan di majalah POP tahun 1974. Disebutkan, ada kemungkinan Soeharto adalah anak Padmodipoero, seorang ningrat Jawa yang masih keturunan Sultan HB II, namun keberadaannya tidak diakui. Soeharto yang murka dengan pemberitaan tersebut lantas memberangus majalah POP.
Dalam Suharto: A Political Biography (2001) sejarawan R.E. Elson menyebutkan, di tahun yang sama, beredar rumor lain yang mengatakan bahwa Soeharto adalah anak tidak sah dari Sultan Hamengkubuwana VII (1877-1921). Soeharto pun lantas menggelar konferensi pers, dengan mengundang ratusan wartawan dari dalam negeri maupun asing, untuk menyangkal kabar itu (hlm. 3).
Soeharto selalu menolak dianggap keturunan raja dan mengaku hanya anak petani biasa. O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976) menuliskan cukup rinci terkait kelahiran dan masa kecil Pak Harto yang berasal dari Desa Kemusuk, sebelah barat Kota Yogyakarta.
Kendati begitu, seperti dikutip dari tulisan Bonnie Triyana bertajuk “Jalan Berliku Anak Kemusuk” dalam Jurnal Nasional (28/1/2008), kontroversi asal-usul Soeharto belum usai. Pak Harto sendiri justru beberapa kali memberikan keterangan yang berbeda-beda terkait kelahirannya dan membuat publik semakin menduga-duga.
Adapun istri Soeharto, Siti Hartinah (Ibu Tien), memang berasal dari keluarga ningrat, masih keturunan penguasa Kadipaten Mangkunegaran di Solo. Berkat status istrinya itulah Soeharto dapat menjalin relasi erat dengan raja-raja di Jawa, baik Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) maupun Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman).
Antara Gus Dur dan Joko Tingkir
Awal November 1999, dalam penerbangan kembali ke tanah air dari Amerika Serikat, Presiden Abdurrahman Wahid bercerita kepada wartawan yang menyertainya tentang pembicaraannya dengan Presiden Bill Clinton. Di tengah ceritanya, mendadak Gus Dur berkata, “Saya ini sebenarnya keturunan Joko Tingkir” (Kompas, 16/5/2017).
Joko Tingkir yang dimaksud Gus Dur tidak lain adalah Sultan Hadiwijaya, pendiri Kerajaan Pajang yang memerintah pada 1549-1582. Entah sekadar berkelakar atau justru lagi serius, Presiden RI ke-4 ini tampaknya memang mengagumi sosok Joko Tingkir.
"Saya sering menengok petilasan Joko Tingkir di Pringgoboyo, Lamongan. Joko Tingkir adalah salah satu tokoh legendaris dalam sejarah awal kerajaan Islam di tanah Jawa," sebut Gus Dur sembari memetakan silsilah keturunan dari Joko Tingkir sampai dirinya, kepada si jurnalis di pesawat itu.
Tidak hanya sekali itu saja Gus Dur bertutur perihal Sultan Hadiwijaya. Dalam beberapa kesempatan, termasuk saat menyampaikan uraian dalam suatu acara pada 2003, tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU) ini seringkali menyinggung sepak-terjang Joko Tingkir, yang terkadang dikaitkannya dengan situasi terkini.
Ayah Joko Tingkir, Ki Ageng Pengging, adalah murid Syekh Siti Jenar, wali yang dianggap sesat oleh Walisongo, barisan ulama pro-Kesultanan Demak. Namun, Joko Tingkir juga merupakan murid Sunan Kalijaga dan dipersaudarakan dengan Ki Juru Martani yang kelak menjadi mahapatih Kesultanan Mataram Islam. Selain itu, Joko Tingkir disebut-sebut pula masih keturunan Prabu Brawijaya (1474-1519), raja terakhir Majapahit.
Emha Ainun Nadjib dalam buku Kerajaan Indonesia (2006) pernah menyebut Gus Dur merupakan keturunan ke-12 dari Pangeran Benawa (hlm. 378). Benawa adalah putra Joko Tingkir dan menjadi raja terakhir Pajang dengan gelar Sultan Prabuwijaya (1586-1587).
Pangeran Benawa dipersaudarakan dengan Danang Sutawijaya yang diangkat anak oleh Joko Tingkir. Sutawijaya inilah yang nantinya memberontak terhadap Pajang, kemudian mendirikan Kesultanan Mataram Islam dan dikenal dengan nama Panembahan Senapati (1587-1601).
Panembahan Senapati memiliki penasihat utama sekaligus mahapatih bernama Ki Juru Martani. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Ki Juru Martani dipersaudarakan dengan Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya alias ayah angkat Panembahan Senapati.
Antara Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, hingga Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman, memang masih satu garis riwayat dalam rangkaian sejarah kerajaan di Jawa.
Mataram Islam: Habibie dan Jokowi
Presiden RI ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie, tidak luput pula dari dugaan serupa, dihubung-hubungkan sebagai keturunan penguasa kerajaan di Jawa. Habibie memang bukan lahir di Jawa, melainkan di Parepare, Sulawesi Selatan. Namun, ibundanya, R.A. Toeti Marini Poespowardojo, adalah perempuan Jawa kelahiran Yogyakarta.
Menurut Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam Ibu Indonesia dalam Kenangan (2004), ibunda Habibie berasal dari keluarga priyayi atau ningrat Jawa. Toeti adalah cucu dari Raden Ngabehi Tjitrowardojo, seorang dokter sekaligus bangsawan lokal terkemuka dari Purworejo, Jawa Tengah, tidak seberapa jauh dari Yogyakarta dan pernah menjadi wilayah kekuasaan Mataram (hlm. 141).
Kanzun Qalam dalam blog pribadinya, menduga Tjitrowardojo, kakek buyut Habibie, masih keturunan Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram Islam. Namun, seperti halnya klaim-klaim serupa terkait garis keturunan para Presiden RI lainnya, dugaan ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah.
Beralih ke Presiden RI terkini, Joko Widodo. Kanzun Qalam menuliskan—dirunut dari berbagai sumber—bahwa Jokowi adalah keturunan Kiai Jahja, salah seorang panglima Pangeran Diponegoro. Kiai Jahja, menurut penelusuran Qalam, masih terhitung keturunan Ki Juru Martani.
Ki Juru Martani sendiri, menurut Pranoedjoe Poespaningrat dalam Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan, dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru (2008), yang merupakan orang kepercayaan Panembahan Senapati, disinyalir berdarah temurun Raja Brawijaya (hlm. 24).
Jika dirunut lebih jauh, leluhur Prabu Brawijaya tentu saja adalah Raden Wijaya, pendiri Majapahit yang oleh Andi Arief diinfokan masih segaris darah dengan SBY beserta kedua putranya, Agus dan Ibas.
Begitu pula dengan Sultan HB II, yang dikait-kaitkan dengan Sukarno dan Megawati, juga Soeharto. HB II adalah raja kedua Kasultanan Yogyakarta, salah satu kerajaan penerus warisan Mataram yang bermuasalkan Majapahit. Ditambah Gus Dur, Habibie, dan Jokowi, yang juga diklaim dalam satu riwayat kekerabatan yang saling berkaitan.
Jika mengikuti klaim-klaim tersebut, yang kadang berasal dari lingkaran presiden maupun dari luar lingkaran, maka seluruh Presiden RI hingga saat ini, dari Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi, masih bersaudara dalam lingkaran kekerabatan raja-raja Jawa.
Rumit memang dan belum terbukti keabsahannya. Taktik politik silsilah semacam ini kerap dijadikan salah satu cara untuk melegitimasi tokoh-tokoh nasional dalam pertarungan politik demi merengkuh/memperkuat basis kekuasaan. Selebihnya sama sekali tidak relevan dengan situasi hari ini yang lebih membutuhkan pemimpin yang kapabel ketimbang sekadar turunan tokoh dari masa silam -- siapa pun tokoh tersebut.
=====
Pembaharuan (4 Maret 2018, jam 23.25 WIB):
1. Teks infografis yang semula berbunyi "Para Presiden RI yang konon keturunan dari..." diganti menjadi "Walau tak relevan dengan kekinian, selalu ada usaha mengaitkan silsilah para Presiden RI dengan raja dari masa silam".
2. Pada paragraf kedua terakhir menambahkan anak kalimat "yang kadang berasal dari lingkaran presiden maupun dari luar lingkaran".
3. Pada paragraf terakhir menambahkan kalimat "Selebihnya sama sekali tidak relevan dengan situasi hari ini yang lebih membutuhkan pemimpin yang kapabel ketimbang sekadar turunan tokoh dari masa silam -- siapa pun tokoh tersebut".
4. Pembaharuan dilakukan untuk mengurangi potensi misleading. Terima kasih kepada pembaca yang mengirimkan catatan yang tajam lagi kritis.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan