tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (14/2/2018) resmi menetapkan Fayakhun Andriadi sebagai tersangka suap di Bakamla.
Anggota DPR itu diduga menerima fee sebesar 1 persen dari total anggaran Bakamla sebesar Rp1,2 triliun. Ia juga diduga menerima 300 ribu dolar AS dari Fahmi Darmansyah, pemenang tender satelit dan monitoring Bakamla.
Fayakhun merupakan tersangka keenam dalam kasus proyek Bakamla ini. Dua tersangka sebelumnya dari pihak Bakamla antara lain Eko Susilo Hadi selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla RI, serta Nofel Hasan selaku Kabiro Perencanaan dan Organisasi Bakamla.
Tiga tersangka dari pihak swasta antara lain Fahmi Darmawansyah alias Emi selaku Direktur Utama PT Merial Esa dan PT Melati Technofo Indonesia, Muhammad Adami Okta selaku pegawai Fahmi Darmawansyah dan Hardy Stefanus selaku pihak swasta.
Nama Fayakhun mulai mencuat dalam persidangan Fahmi Darmawansyah, 7 April 2017. Di persidangan, Fahmi mengakui memberikan uang kepada Fayakhun.
Nama Fayakhun Terungkap dalam Sidang Nofel Hasan
Dugaan keterlibatan Fayakhun makin jelas dalam sidang Nofel Hasan. Persidangan mengungkap, TB Hasannudin mengenalkan Ali Fahmi kepada Fayakhun. Ali Fahmi adalah staf ahli Kepala Bakamla, Arie Soedewo.
"Pada saat pengenalan pertama dikenalkan oleh TB Hasanuddin. Dia memperkenalkan dia kader PDIP," kata Fayakhun di persidangan Nofel, Rabu (31/1).
Setelah perkenalan itu, Ali Fahmi bertemu dengan Fayakhun untuk meminta dukungan proyek-proyek Bakamla. Fayakhun berdalih, proyek tersebut sebaiknya disampaikan lewat rapat di DPR. Setelah itu, ia mengaku tidak pernah bertemu lagi dengan Ali Fahmi.
Tapi keterangan Fayakhun dibantah oleh Fahmi Darmawansyah, Erwin S. Arif selaku Managing Director PT Rohde and Schwarz Indonesia dan Sigit Susanto selaku staf Managing Director PT Rohde and Schwarz Indonesia. Ketiga orang tersebut justru memaparkan keterlibatan dan proses aliran dana proyek Bakamla kepada Fayakhun.
Erwin S. Arif mengaku pernah ada pertemuan antara Fahmi Darmawansyah, Ali Fahmi dan Adami Okta selaku pegawai operasional PT Merial Esa, dan Fayakhun untuk membahas proyek Bakamla. Salah satunya, pertemuan di Fairmount Hotel.
Jaksa Tunjukkan Isi Percakapan Erwin dan Fayakhun
Bukti keterlibatan Fayakhun diperkuat lagi saat jaksa menunjukkan isi percakapan antara Erwin dengan Fayakhun yang terjadi kurun waktu 29-30 April 2016 dan 2-5 Mei 2016. Dari situ diketahui bahwa Fayakhun berusaha mengawal proyek anggaran pengadaan satelit sebesar Rp500 miliar dan proyek drone sebesar Rp720 miliar. Total anggarannya Rp1,22 triliun. Dari total anggaran proyek itu Fayakhun meminta komitmen fee sebesar 1 persen.
Selain itu, isi percakapan juga membahas mengenai pengiriman uang suap ke sebuah rekening di bank JP Morgan. “Saya dapat info dari Dami (Adami) mereka melakukan eksekusi transfer tersebut pada hari Senin ke account JP Morgan. Kemudian, Fayakhun infokan ke saya itu ada transfer dua kali, 100 (100.000 dolar AS) dan 200 (200.000 dolar AS)," tegas Erwin di persidangan.
Seluruh keterangan Erwin itu dibenarkan oleh Fahmi Darmawansyah. Menurut dia, Fayakhun berupaya meloloskan anggaran satelit monitoring dan drone Bakamla yang tengah digodok di DPR.
Fahmi Darmawansyah mengaku Fayakhun meminta fee 1 persen dari proyek atau sekitar Rp12 miliar kepadanya.
"Iya Rp12 miliar dalam bentuk dolar. Persisnya Adami [Muhammad Adami Okta, pegawai Fahmi Darmawansyah] yang tahu. Adami yang kirim. Adami sampaikan ke saya sudah dikirim," tegas Fahmi Darmawansyah.
Namun, keterangan itu sempat dibantah oleh Fayakhun saat bersaksi di persidangan Nofel Hasan. Ia mengaku tidak pernah meminta uang lewat pesan singkat kepada Erwin, termasuk isi pesan yang menyatakan meminta pengiriman uang 300 ribu dolar AS untuk sejumlah anggota DPR Fraksi Partai Golkar.
"Saya tidak pernah menulis pesan-pesan itu (pesan minta uang). Kalau saya lihat itu copy paste bukan data natural. Saya juga tidak pernah minta uang," kata Fayakhun saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Rabu (31/1/2018).
Jaksa KPK sempat menampilkan bukti berupa 10 gambar tangkapan layar percakapan Erwin dan Fayakhun via aplikasi perpesanan instan WhatsApp. Namun, Fayakhun membantah semua percakapan dalam pesan-pesan itu.
"Saya tidak pernah kirim pesan rinci seperti ini. Apalagi itu, panggilan Erwin 'bro'. Saya panggil Erwin pakai 'Win'," kata Fayakhun.
Klaim Fayakhun Soal Peretasan WhatsApp Miliknya
Fayakhun mengklaim ada pihak yang sudah meretas akun WhatsApp miliknya. Dia juga mengklaim akun BlackBerry Messenger (BBM) pernah pula diretas.
"Perlu saya sampaikan bahwa saya pernah melaporkan ke Polri mengenai adanya hacking meretas akun BBM dan WhatsApp saya. Tanda laporannya saya bawa, salinannya. Bisa saya serahkan," kata dia.
Namun, keterlibatan Fayakhun justru diakui oleh Nofel Hasan. Dalam persidangan, Rabu (7/2/2018), Nofel memaparkan bahwa Kepala Bakamla Arie Soedewo sempat membenarkan BAP yang memuat dugaan peran Fayakhun dan TB Hasanuddin
“Kepala Bakamla (Arie Soedewo) menyampaikan bahwa habis bertemu TB Hasanuddin dan membicarakan tentang Fayakhun yang tidak sejalan dengan TB Hasanuddin. Dalam mengusulkan kegiatan satmon (proyek satelite monitoring) ini menggunakan kekuatan dua orang, orang legislatif tersebut yaitu TB Hasanudin dan Fayakhun,” kata Jaksa Kiki saat membacakan BAP Nofel Hasan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Dalam BAP, Nofel juga menjelaskan bahwa staf khusus Kepala Bakamla, Fahmi Ali menyarankan agar Arie Soedewo tidak berkomunikasi dengan dua orang tersebut.
“Bisa jadi dua orang itu (Fayakhun dan TB Hasanuddin) tidak sejalan, tapi bisa mendukung kegiatan yang sama,” kata Nofel sebagaimana catatan BAP yang dibacakan Jaksa Kiki.
Penetepan Fayakhun Sebagai Tersangka Kasus Bakamla
Nama Fayakhun itu kembali mencuat dalam rapat dengar pendapat antara KPK dengan DPR. Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan menyebut inisial FA dalam proses penyidikan satelit monitoring Bakamla.
"Di dalam proses persidangan sampai saat ini masih ada Nofel Hasan. Satu lagi FA masih dalam proses tingkat penyidikan," kata Basaria, Senin (12/2/2018).
Kini, KPK telah resmi mengumumkan Fayakhun sebagai tersangka setelah menemukan bukti permulaan yang cukup dari fakta persidangan, pengumpulan informasi, dan data yang ada.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan perkara ini ke tingkat penyidikan dan menetapkan lagi seseorang sebagai tersangka yaitu FA [Fayakhun] anggota DPR RI periode 2014 sampai dengan 2019," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Fayakhun disangkakan melanggar pasal 12 huruf a kecil atau pasal 12 huruf kecil atau pasal 11 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 jumlah pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Agung DH