tirto.id - Selain kultur Cina, Nusantara juga banyak menyerap budaya dari India. Dua negara itu memang berada dalam daftar peradaban tertua di dunia. Kebudayaan India diperkirakan sudah ada sejak 4.500 tahun lalu. Menurut Organisasi All World Gayati Pariwar, kebudayaan India adalah yang pertama dan superior di dunia.
Pengaruh itu bertahan lama di Nusantara dan berakar kuat di masyarakat. Baik dalam bentuk lagu maupun film. Pada suatu masa, lingkungan perumahan tempat saya tinggal pernah mengidap demam film India. Semua gara-gara Kuch Kuch Hota Hai yang fenomenal itu. Para tetangga ramai membeli pemutar VCD, lalu menyewa film-film India untuk ditonton beramai-ramai.
Namun apa yang diserap Nusantara dari India bukan lagu film saja. India memberikan amat banyak pengaruh bagi kultur Indonesia sekarang, terutama dalam hal makanan.
J. Gonda dalam “The Indian Religions in Pre-Islamic Indonesia and Their Survival in Bali”, menyebut bahwa pengaruh India sudah tampak di Nusantara sejak abad pertama. Pada masa penyebaran Islam, banyak pendatang dari Gujarat datang ke Nusantara. Ini juga berpengaruh terhadap kultur gastronomi.
Makanan Sumatera, misalnya, sangat dipengaruhi kultur India. Pengaruh ini bisa dilacak sejak 800 Masehi. Dalam Etnis Cina Perantauan di Aceh (2009), disebutkan bahwa pengaruh India datang dari para pendakwah Islam dari Gujarat. Saat itu kapal dari Gujarat juga membawa pendakwah dari Arab dan Persia.
Dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara, ada dua teori yang dikenal. Pertama adalah: para pendakwah dari Arab dan Timur Tengah yang mengenalkan Islam ke Nusantara. Teori kedua yakni, para pedagang dari Gujarat yang mengenalkan Islam lewat pantai Sumatera. Dua teori ini sampai sekarang masih diperdebatkan.
Apapun itu, kedatangan para pedagang rempah dari Gujarat jelas punya andil besar dalam masakan Nusantara. Mereka membawa rempah dari tanah mereka, dan dikenalkan ke penduduk Nusantara. Jadi, selain membeli rempah seperti cengkeh dan lada dari Nusantara, mereka juga membawa dan menjual rempah dari tanah India dan Timur Tengah.
Menurut sejarawan Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara (2016), apa yang dikenalkan oleh orang India, antara lain, bawang/bakung, ketumbar, jintan, juga jahe. Bumbu-bumbu ini yang kemudian mempunyai peran penting dalam masakan Nusantara, terutama dari jazirah Sumatera.
Jintan, ketumbar, maupun jahe, digunakan untuk masakan seperti rendang, gulai, maupun kari. Ghee, sejenis mentega dari India yang vital di kultur masakan Asia Selatan, dikenal sebagai minyak samin di Indonesia. Benda berwarna kuning dengan tekstur lembut ini yang dipakai agar soto Betawi atau sop kaki kambing jadi lebih gurih dan aromatik. Minyak samin juga banyak dipakai di masakan seperti nasi minyak ala Sumatera Selatan, roti canai, hingga nasi kebuli.
Untuk nasi kebuli, bisa dibilang ini adalah kearifan Nusantara yang menginduk pada budaya India dan Arab. Nasi kebuli memakai beras basmati yang berasal dari India. Bulirnya besar dan pera. Secara bumbu dan penampilan, nasi kebuli ini adalah adik kembar nasi mandi atau kabsa dari tanah Arab, dan nasi biryani dari India.
Nasi kebuli populer di kampung-kampung Arab. Di Indonesia, ia populer di Jakarta, Surabaya, Gresik, juga Pekalongan. Salah satu nasi kebuli terbaik yang pernah saya makan ada di Kampung Ampel, Surabaya. Nasi kebulinya disajikan dengan kambing oven. Ketika makanan baru diangkat dari dapur, wanginya sudah membelai hidung dari kejauhan. Porsinya besar. Nasinya mengkilat oleh minyak samin. Tercium aroma jintan dan cengkeh yang manis. Daging kambingnya amat jinak dan tak melawan sama sekali, bisa terburai dengan sedikit sentuhan.
Sedangkan di Jakarta, jejak rasa India bisa ditemukan, salah satunya, di Pasar Tanah Baru. Ada beberapa restoran India, yang dikelilingi oleh pedagang tekstil. Saya pernah datang ke Salah satunya, spontan masuk saat sedang mengidar. Restoran ini ada di lantai dua sebuah rumah kecil. Cat dinding, lantai, dan meja makan, semua berwarna putih. Ini seperti hunian yang disulap sebagai tempat makan.
Di ujung, ada foto seorang guru spiritual sang pemilik. Lengkap dengan batang aroma terapi yang wanginya menyebar ke seluruh ruangan. Saya memesan beberápa makanan, termasuk samosa yang paling lekat di ingatan. Wuih, itu mungkin salah satu samosa paling bersahaja sekaligus paling menarik. Cacahan daging kambingnya berselimut wangi dan rasa jintan kuat, dengan isian kentang yang padat. Pengalaman makan tujuh tahun silam itu tak lekang dimamah lupa, walau saya sudah tak ingat lagi nama restorannya. Eling roso, lali rupo.
Selain itu, saya selalu ingat martabak malabar dari kampung halaman saya, Jember, Jawa Timur. Pendiri warung martabak malabar ini adalah Habib Ahmad seorang pendatang dari Pakistan. Ahmad membuka warung martabak pada 1936. Kata Malabar ia pakai untuk melambangkan Malabar, sebuah kota di India. Martabak ini berbeda, karena memakai adonan berbentuk amplop, kemudian dituangi telur yang dicampur daging, bawang daun, dan rempah-rempah seperti jintan dan kapulaga.
Sekarang, martabak Malabar dijalankan oleh generasi keempat, Firman. Ia pernah bilang bahwa kakeknya sering menceritakan asal-usul martabak. Menurut kakeknya, Ainul Yakin, martabak berasal dari India. Kata itu berasal dari maharaj-ba, kue maharaja. Terlepas dari akurat atau tidak dongeng kakeknya itu, martabak memang digadang-gadang berasal dari India. Walau ada pula yang bilang bahwa martabak berasal dari Arab dan Yaman.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti