tirto.id - Kala adzan Maghrib berkumandang, orang-orang bergegas membatalkan puasa. Minum es. Mengudap kurma. Menyalakan sebatang rokok. Tapi itu baru pembukaan. Setelah perut agak lega, mereka akan ambil piring dan masuk ke babak utama: nasi dan aneka lauk pauk.
Jika disatukan, konsumsi kurma, kolak, atau es kelapa muda di bulan puasa, masih tak bisa menggoyahkan nasi dari tahta makanan paling banyak disantap orang Indonesia.
Orang Indonesia, dan kebanyakan orang Asia, memang tak bisa lepas dari nasi. The Economist pernah menggambarkan kecintaan orang Asia pada nasi: 90 persen produksi beras dunia, dikonsumsi oleh orang Asia. Penduduk Cina, India, juga Indonesia punya andil mengonsumsi 60 persennya.
Orang Cina menyantap 143 juta metrik ton nasi pada 2017/2018. Sedangkan penduduk Indonesia mengonsumsi 37,4 juta metrik ton di tahun yang sama.
Apa boleh bikin, padi punya akar panjang dalam kehidupan orang Asia. Dalam "History of Rice in Southeast Asia and Australia", padi diperkirakan mulai ditanam manusia di Cina sejak 6000- 4000 SM. Dari sana, padi mulai menyebar. Ke Vietnam, Thailand, Indonesia, juga India. Kemudian sekitar 300 SM, padi sudah mulai ditanam di Asia Barat, bahkan Yunani, Roma, dan Mesir.
Padi juga dianggap sebagai tanaman yang sakral. Terbukti, banyak kebudayaan Asia punya Dewi padi. Orang Jawa dan Bali punya Dewi Sri. Di Sunda, ada Nyai Pohaci Shangyang Asri yang sama tetapi berbeda nama. Di Thailand ada Mae Phosop, sedangkan di Kamboja ada Po Ino Nogar.
Dari Nasi Uduk Hingga Nasi Kebuli
Namun orang Nusantara tak hanya lihai mengonsumsi nasi, tapi juga menciptakan variasinya. Bila merujuk pada Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) karya Fadly Rahman, nasi sudah jadi konsumsi utama masyarakat Jawa di abad 10.
"Untuk beras, mengingat secara arkeologis konsumsinya telah mengakar sejak ribuan tahun, tidak heran jika dalam perkembangannya varietas beras bukan hanya sekadar sega atau sekul," tulis Fadly.
Selain sega atau sekul yang merupakan bahasa Jawa ngoko dan krama untuk nasi, masyarakat Jawa punya beberapa varian hidangan dari beras. Misalkan: ketan. Lalu ada lepet. Makanan-makanan itu juga didukung oleh berbagai jenis varian padi yang tumbuh di Jawa.
Di Indonesia kiwari, daftar hidangan nasi juga terus bertambah. Ini menarik, karena dari satu jenis tanaman bisa hadir masakan dengan kemungkinan nyaris tak terbatas.
Nasi yang dimasak dengan santan, lalu diberi aneka rempah dan kunyit, jadilah nasi kuning. Beras dimasak dengan santan dan aneka rempah, bisa jadi nasi uduk. Ini salah satu jenis nasi paling populer di Jakarta. Meski konon nasi uduk adalah masakan asli Betawi, di Jakarta nasi ini juga dibuat dan dijual oleh para penjual lalapan (pecel) asal Lamongan.
Nasi dimasak dengan ikan asin, cabai, serai, daun salam, dan bawang, jadilah nasi liwet ala Sunda. Jika liwet ala Solo, beda lagi cara masak dan penyajiannya. Di Solo, nasi liwet dimasak dengan santan dan disajikan dengan sayur labu siam serta areh (kuah kental gurih dari kelapa).
Di Solo, nasi liwet menjadi bagian penting dalam kebudayaan. Bahkan nasi liwet juga muncul dalam Serat Centhini yang ditulis pada 1814-1823. Ketika ada acara syukuran atau bermunajat, nasi liwet turut hadir.
Mau yang agak unik dan kental bumbu ala Timur Tengah, ya nasi kebuli. Ini adalah contoh kesuksesan akulturasi budaya. Dengan rempah ala Timur Tengah dan beras basmati berbulir panjang, nasi ini sering didapuk sebagai makanan khas Indonesia yang bersaudara dengan nasi mandi (Yaman), kabsa (Arab Saudi), dan biryani (India).
Hidangan nasi ini juga makin tak terbatas variannya jika mengacu pada lauk pendamping. Ada nasi gudeg. Nasi pecel. Nasi gila. Nasi bungkus. Nasi campur. Nasi rames. Nasi Bali. Nasi bebek. Nasi Padang. Nasi soto. Nasi rawon. Teramat banyak, apalagi nyaris semua lauk di Indonesia disantap dengan nasi.
Di Indonesia, nasi seringkali jadi penanda status sosial. Mereka yang tak mampu makan nasi, sering dianggap sebagai kaum papa. Ini adalah anggapan yang salah dan merusak, tentu saja.
Akibat obsesi pada nasi, masyarakat yang dulu menyantap tanaman pangan alternatif semisal jagu atau jagung, dipaksa menanam padi dan mengonsumsi nasi. Karena medan yang tak cocok untuk menanam padi, dan sulitnya proses perubahan pola konsumsi, seringkali hal ini berakhir buruk: busung lapar hingga gizi buruk. Seruan para ahli tentang pentingnya mengupayakan pangan alternatif hanya jadi gema.
Sekarang, sebagian besar orang Indonesia sudah ketergantungan nasi. Dan bukan hal mudah untuk membuat mereka kembali mengonsumsi sagu, ketela, atau jagung sebagai makanan pokok. Untuk saat ini, mari nikmati saja nasi dan berupaya perlahan sembuh dari kecanduan ini.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti