Menuju konten utama

Puasa Ngrowot: Kita Bisa Hidup Tanpa Nasi

Praktik ngrowot mengingatkan bahwa kita mempunyai tradisi pangan lokal selain beras sebagai bahan pangan pokok.

Puasa Ngrowot: Kita Bisa Hidup Tanpa Nasi
Ilustrasi umbi-umbian. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Di Indonesia, kebutuhan pangan kerap diidentikkan dengan kebutuhan atas beras. Lihatlah yang umum ditemui dalam percakapan sehari-hari. Banyak orang Indonesia, terutama Jawa dan Sumatra, yang menganggap makan harus memasukkan menu nasi. Selebihnya: camilan.

Selama ini, revolusi hijau yang ditujukan memacu produksi beras telah berhasil membuat masyarakat Indonesia melihat beras sebagai satu-satunya bahan makanan pokok. Bahkan, kita sering menafikan produk pangan lain yang kita hasilkan. Sebenarnya, pada 1984 lalu, yang terjadi bukanlah swasembada pangan, melainkan swasembada beras.

Anggapan tersebut hingga kini tidak pernah diralat. Hira Jhamtani, penulis buku Pangan, mencontohkan kasus di NTT. Ketika rawan pangan dan gizi buruk di NTT, pemerintah menanggapi dengan mengirimkan beras untuk orang miskin (raskin). Padahal, bumi NTT menghasilkan aneka macam sumber pangan seperti kacang-kacangan (Leguminose) yang merupakan sumber protein dan jagung serta umbi-umbian yang merupakan sumber karbohidrat.

Dalam buku Pangan, ada petikan tentang seorang penduduk di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang menceritakan pengalamannya saat terjadi kekurangan beras. Dulu, jika kekurangan beras terjadi, penduduk makan jagung, arbila (sejenis kacang dari hutan), umbi-umbian, bahkan biji asam jawa. Beras bukanlah satu-satunya makanan pokok. Namun, kini generasi muda dan anak-anak tidak pernah mengenal makanan pokok selain beras, sehingga kekurangan beras pun menjadi masalah.

Bahkan Jawa, yang terkenal dengan kebudayaan agraris-sawah pun, punya tradisi yang bisa menjadi pengingat agar tak ketergantungan nasi: puasa ngrowot. Puasa ini dilakukan dengan menahan diri tidak mengkonsumsi nasi dan semua makanan yang terbuat dari beras selama waktu tertentu. Dalam praktiknya, pelaku puasa ngrowot akan memakan sayuran, buah-buahan, singkong, sagu, jagung, dan umbi-umbian lainnya.

Puasa ini intinya adalah tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa sebagai sarana penguatan batin dan simbol keprihatinan. Namun, melalui ngrowot pula, kita diingatkan bahwa makan tidak selalu harus nasi. Ada singkong, jagung, sagu, yang juga merupakan pangan lokal masyarakat Indonesia.

Sebelum Soeharto menggerakkan revolusi hijau di Indonesia, beras bukanlah makanan pokok nasional. Sebelum beras menjadi anak emas, penduduk daerah Gunungkidul, Yogyakarta biasa mengkonsumsi ketela dan produk turunannya. Di Pulau Madura, Jawa Timur, penduduknya dulu memakan jagung sebagai makanan pokok. Di pesisir Papua dan Maluku, penduduknya dulu memakan sagu.

Nilai-nilai positif yang dapat diambil dari puasa ngrowot tersebut membuat tradisi ini masih dilakukan sampai dengan saat ini. Di pesantren Miftachurrasyidin, puasa ngrowot merupakan amalan yang dianjurkan. Hal ini dikaji oleh Choiriyah, peneliti dari UIN Sunan Kalijaga, dalam penelitiannya yang berjudul Puasa Ngrowod: Studi Kasus di Pesantren Putri Miftachurrasyidin Cekelan, Temangggung.

Meski merupakan tradisi Jawa, banyak ulama salaf yang mengamalkannya. Berdasarkan penelitian tersebut, penulis menyipulkan bahwa pelaku puasa ngrowot membawa tiga alasan utama, yaitu alasan ilmiah, amaliah, dan maliyah.

Alasan ilmiah yang dimaksudkan terkait dengan ilmu pengetahuan, bahwa setiap bahan pangan yang tumbuh memiliki kandungan nutrisi yang baik. Alasan amaliah berkaitan dengan amal perbuatan dan akhlak seseorang: puasa ngrowot adalah sarana penguatan batin karena prosesnya mengajarkan tentang nilai-nilai sabar. Maliyah terkait bahwa puasa ngrowot dapat digunakan sebagai cara untuk menjaga harta yang menentukan kestabilan ekonomi seseorang.

Infografik Puasa Ngrowot

Kegagalan Diversifikasi Pangan

Usman, mahasiswa magister Agama dan Lintas Budaya UGM dalam tesisnya yang berjudul Food and Spirituality Undestanding Food Consumption in Sufi Perspective as a Cultural Basis for Food Diversification in Indonesia menyimpulkan program-program diversifikasi pangan di Indonesia masih tidak efektif dan belum dikatakan sukses.

Ia melihat bahwa ketidakberhasilan program-program tersebut dikarenakan program-program tersebut lepas dari perspektif religius. Sehingga menurutnya, fungsi spiritual ngrowot bisa menjadi motivator tersendiri bagi para santri untuk mengamalkannya. Kombinasi disiplin diri dalam pengembangan spiritual dan adanya tradisi diversifikasi pangan yang kuat dapat mempertajam kesadaran masyarakat Indonesia terkait konsumsi pangan.

Tentu saja, puasa ngrowot pertama-tama adalah laku spiritual. Ia tidak dimaksudkan untuk mengubah makanan pokok masyarakat. Tetapi jika praktik ini dilakukan secara luas, ia bisa membentuk pola pikir para pengamalnya, bahwa ada pilihan pangan selain nasi. Dan yang terpenting: kita, manusia Indonesia, bisa terpenuhi kebutuhan gizinya, sekalipun makan makanan selain nasi.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani