Menuju konten utama

Jejak Bermasalah Edhy Prabowo Selama Setahun Menjabat Menteri KKP

Kebijakan Edhy Prabowo yang bermasalah tak hanya ekspor benih lobster. Beberapa terkait langsung dengan kebijakan menteri lama, Susi Pudjiastuti.

Jejak Bermasalah Edhy Prabowo Selama Setahun Menjabat Menteri KKP
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (tengah) meninggalkan gedung KPK usai konferensi pers penetapan tersangka kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster, Jakarta, Kamis (26/11/2020) dini hari. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Edhy Prabowo mundur dari jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (26/11/2020). Politikus dari Partai Gerindra ini ditangkap atas dugaan suap ekspor benih lobster, sebuah kebijakan yang ia buat pada Mei 2020, setelah pada era menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti, dilarang.

Selain perkara ekspor benih lobster yang memang penuh kejanggalan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) era Edhy juga memiliki borok lain. Edhy masih punya sederet kebijakan kontroversial yang bagi sebagian kalangan hanya merugikan nelayan dan pada saat yang sama menguntungkan pengusaha besar.

“Ini gunung es, ya. Harus dilihat semua kebijakan yang hadir di meja KKP. Kalau KKP selanjutnya masih melakukan ‘dosa’ yang sama dengan Edhy, maka pilihannya dua: bubarkan atau dipimpin nelayan,” ucap Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati kepada reporter Tirto, Kamis.

Kiara adalah salah satu kelompok yang paling vokal menentang kebijakan ekspor benih lobster dan berbagai kebijakan Edhy lain.

Salah satu kebijakan bermasalah lain adalah legalisasi penggunaan cantrang yang dulu juga dilarang Susi Pudjiastuti. Tergusurnya kebijakan Susi ditandai dengan pencabutan Keputusan Menteri KP No. 86/KEPMEN-KP/2016 pada Juni 2020 lalu.

Kebijakan ini sempat ditolak Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN) lantaran tidak mewakili kepentingan nelayan kecil. Penggunaan alat tangkap itu berpotensi merusak ekosistem sehingga memaksa nelayan menangkap di perairan lebih jauh yang lebih mahal dan merugikan. Berkebalikan dengan itu, dua asosiasi pelaku usaha yang diwawancara Tirto pada November 2019 mendukung.

Kebijakan kedua berlaku sejak Desember 2019, yaitu penghentian kebijakan penenggelaman kapal era Susi yang sempat dianggap lumayan memberi efek jera bagi para pencuri ikan di laut Nusantara. Sebagai gantinya, Edhy memilih menghibahkan kapal hasil tangkapan yang ia klaim ditujukan kepada nelayan dan kampus.

Menurut Kiara, kapal-kapal ini akan sulit digunakan sebab biaya operasional dan bahan bakar mahal. Kapal hasil sitaan berukuran 30 Gross Ton (GT) atau lebih, sementara nelayan biasanya menggunakan kapal ukuran 10 GT. Hibah juga dianggap tak efektif. Contohnya, di tahun 2012, 5 kapal asing hasil sitaan yang diserahkan ke kampus di Kalimantan tak terpakai. Sebaliknya kapal-kapal ini dinilai rawan dijual lagi dan jatuh kembali ke tangan pelaku illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing.

Ketiga, pencabutan batasan ukuran kapal besar yang diatur era Susi melalui Surat Edaran Nomor B.1234/DJPT/Pl.410/D4/31/12/2015 pada September. Pembatasan itu sebetulnya dimaksudkan untuk melarang kapal di atas 150 GT menangkap di perairan ZEE dalam rangka melindungi nelayan kecil yang jumlahnya menurut Kiara mencapai 98 persen dari total penangkap ikan.

Kemudian, pada Januari 2020 lalu, Edhy mengirim nelayan Pantura untuk menyelesaikan maraknya kapal asing pencuri ikan di Laut Natuna. Rencana ini ditolak nelayan Natuna karena nelayan Pantura menggunakan kapal besar dan alat tangkap cantrang yang bisa merugikan nelayan lokal. Sayangnya Edhy tak percaya. Ia memilih bersikeras menjalankan rencana itu.

Selain kebijakan, ada pula sikap dan pernyataan Edhy yang bermasalah. Pada September 2020 lalu, Kiara pernah mengecam pernyataan Edhy yang mempersilahkan penjualan pulau untuk kepentingan investasi. Kiara menilai hal itu bertentangan dengan UUD 45--bahkan jika pulau tidak dihuni siapa pun--dan mengabaikan hak rakyat pesisir yang bergantung pada pulau-pulau itu untuk sumber penghidupan.

Edhy selama ini juga dianggap absen membela hak masyarakat pesisir dari perampasan ruang. Kiara menilai KKP lebih banyak memilih diam dalam berbagai kasus seperti reklamasi teluk Jakarta, reklamasi Teluk Benoa, hingga kasus penambangan pasir di laut yang mengganggu ekosistem dan mata pencaharian nelayan hingga petambak garam.

Performa Perikanan Indonesia

Merespons kasus hukum yang membelit menterinya, KKP menyatakan menghargai proses hukum yang berlaku. Dalam keterangan tertulis, Kamis (26/11/2020), Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar menyerukan agar “kita fokus saja bekerja melayani masyarakat.”

Masalahnya, selama satu tahun kepemimpinan Edhy, sektor perikanan Indonesia masih relatif tertinggal. Selama Januari-September 2020, sektor perikanan hanya tumbuh 0,61 persen yoy. Angka ini lebih rendah dari Vietnam. Negara tetangga itu juga mengalami penurunan, tetapi masih tumbuh 2,44 persen yoy.

Ekspor perikanan juga masih relatif tertinggal dibanding Vietnam. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama Januari-September 2020, ekspor perikanan Kode HS 03 dan 16--yaitu ikan dan olahannya--hanya mencapai 3,48 miliar dolar AS, naik tipis dari 2019 3,16 miliar dolar AS. Sementara Vietnam, menurut data bea-cukai mereka, ekspor kategori fishery products mencapai 6,03 miliar dolar AS pada periode yang sama. Itu pun sudah turun dibanding periode yang sama di 2019 yang mencapai 6,22 miliar dolar AS.

Dengan kata lain, meski Vietnam turun dan Indonesia naik sedikit, ekspor perikanan negara kita masih belum dapat mengungguli Vietnam.

Baca juga artikel terkait EKSPOR BENIH LOBSTER atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Politik
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino