tirto.id - "Saya selaku pedagang pasar meminta kebijakan itu ditinjau kembali atau bahkan dibatalkan. Mengingat pasar tradisional adalah soko gurunya kebutuhan masyarakat menengah ke bawah. Menjual bahan-bahan kebutuhan pokok."
Pernyataan itu disampaikan oleh Sulistiyanto (45), pedagang barang interior di Pasar Kliwon, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (4/2/2021). Ia menolak program Gubernur Jateng Ganjar Pranowo bernama 'Gerakan Jateng di Rumah Saja', yang tujuannya mengurangi mobilitas sehingga diharapkan menekan penyebaran COVID-19. Program akan dilaksanakan pada akhir pekan ini, 6-7 Februari 2021.
Rencananya program ini bakal meniadakan car free day, menutup beberapa ruas jalan, toko, mal, pasar, destinasi wisata, hajatan, serta kegiatan lain yang memunculkan potensi kerumunan. Pemerintah Provinsi Jateng akan mengirimkan surat edaran kepada pihak terkait.
Sulistiyanto atau Yanto mengatakan pedagang akan rugi. Akhir pekan bisa disebut sebagai masa panen pedagang untuk meraih transaksi yang lebih besar karena biasanya lebih banyak kunjungan ke pasar. "Di era pandemi, para pedagang itu momennya Sabtu, Minggu, dan libur. Ketika libur, banyak yang ke pasar. Kalau pasar ditutup, kami bisa rugi lebih besar," katanya.
Yanto sendiri dalam sehari mampu meraup pendapatan sebesar Rp10-15 juta. Maka saat pasar tutup dua hari ditutup, ia akan kehilangan maksimal Rp30 juta.
"Kami mohon kepada pembuat kebijakan, baik gubernur atau bupati, untuk meninjau kembali kebijakannya atau membatalkan rencana penutupan tanggal 6-7 Februari 2021," kata Ketua Himpunan Pedagang Pasar Kliwon (HPPK) sekaligus Ketua Asosiasi Pengurus Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Kudus ini.
Tak hanya pedagang, Hery Setyawan, pemasok daging sapi di Pasar Semarang, juga merasa keberatan dengan kebijakan ini. "Panik juga, soalnya poin-poinnya berkesan bias dan membingungkan. Kami keberatan atas kebijakan tersebut," katanya.
"Jangankan dua hari di rumah untuk tidak berkegiatan di luar, di masa pandemi sekarang ini saja semakin memperparah kondisi untuk wiraswasta seperti kami," kata pengurus Perkumpulan Pengusaha Daging Sapi (PPDS) Semarang ini.
Ketua APPSI Jateng Suwanto menyebut di Jateng kurang lebih terdapat 1.300 pasar tradisional yang terdiri dari 350 ribu pedagang. Dia memperkirakan dengan jumlah sebanyak itu, jika pasar ditutup selama 2 hari, kerugian ditaksir mencapai triliunan rupiah. "Lelang ikan satu malam di Pasar Rejomulyo, Semarang saja omzetnya bisa Rp2,5 miliar," tuturnya kepada reporter Tirto, Kamis.
Kebijakan ini juga tak hanya berdampak kepada para pedagang, tetapi juga para petani, pemasok barang, karyawan, kuli panggul, tukang becak, hingga warung makan. "Kalau petani sudah petik hasilnya terus tidak dipasok ke pasar gimana, kan nanti bisa busuk. Warung makan juga tidak jualan."
Oleh karena itu dia berharap pemerintah tidak menutup pasar dan mencari solusi lain. Misalnya memperketat protokol kesehatan dan menerjunkan aparat untuk memantau. "Kasihan pedagang, ekonomi terpuruk. Kami hanya memohon kepada Pemprov Jateng agar tetap bisa berdagang."
Ketua Umum IKAPPI Abdullah Mansuri mendesak pemerintah agar tak hanya menetapkan kebijakan, tetapi juga memberikan solusi yang konkret. Dia juga menyesalkan minimnya sosialisasi terkait.
"Yang kami sesalkan itu [kebijakannya] belum sampai ke kami. Apa alasannya ditutup, bagaimana solusinya, apakah dapat ganti rugi, apa ada opsi cara jual yang lain, kami belum dapat info itu," katanya.
Alasan Pemerintah
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan kebijakan ini merupakan respons terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut pelaksanaan PPKM gagal. Lewat kebijakan ini ia juga menegaskan pandemi belum melandai.
"Kita mau uji coba ke masyarakat. Ini Covid-nya masih tinggi lho, korban sudah banyak, rumah sakit makin penuh," kata Ganjar, Selasa (2/2/2021), dikutip dari Antara.
Sementara dalam program Kompas Petang, Kamis kemarin, Ganjar bilang program ini dimaksudkan agar masyarakat terlibat aktif dalam menekan penyebaran pandemi. "Kita berikan empati kepada para tenaga kesehatan, penggali kubur, pak dokter yang berjuang keras," katanya.
Dia juga bilang saat ini yang dibutuhkan "bukan diksi pelarangan" tapi anjuran-anjuran. Oleh karena itulah dia menamakan kebijakan ini Gerakan di Rumah Saja.
Meski alasannya jelas, beberapa kepala daerah di Jateng memilih tidak mengikuti program. Mereka menolak dan tidak akan menutup pasar. Beberapa kepala daerah tersebut adalah Bupati Batang Wihaji, Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati, hingga Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino