Menuju konten utama

Janggalnya MA Bebaskan Lucas: Dissenting Opinion & Abai Bukti Utama

Mahkamah Agung seharusnya memperkuat pemberantasan korupsi di tengah maraknya terpidana korupsi mengajukan Peninjauan Kembali.

Janggalnya MA Bebaskan Lucas: Dissenting Opinion & Abai Bukti Utama
Terdakwa kasus dugaan merintangi penyidikan KPK, Lucas (kedua kanan) berjalan keluar seusai mengikuti sidang lanjutan dengan agenda putusan sela, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/11/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

tirto.id - Lucas (54) seorang pengacara senior di Jakarta kelahiran Sulawesi Selatan dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena menyarankan kliennya tetap bersembunyi dari buruan penyidik KPK. Eddy Sindoro—kliennya yang diburu telah menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution—adalah Presiden Komisaris Lippo Group ketika kasus terjadi pada 2018.

KPK kemudian menerapkan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi tentang perbuatan merintangi penyidikan Eddy Sindoro. Dakwaan jaksa KPK terbukti, dan Lucas divonis selama 7 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan oleh PN Tipikor Jakarta pada 20 Maret 2019.

Keputusan pengadilan tingkat pertama diapresiasi oleh KPK. Tidak lama kemudian situasi berbalik berturut-turut. KPK mengalami kekalahan dalam sidang banding hingga Peninjauan Kembali (PK).

Hukuman Lucas dikurangi 2 tahun menjadi 5 tahun saat banding, dan dalam putusan kasasi vonis berkurang 2 tahun lagi menjadi 3 tahun—hukuman minimal sesuai Pasal 21 UU Tipikor. Dari putusan PN Tipikor, banding dan kasasi di Mahkamah Agung berjalan cepat sepanjang 2019.

Sekitar setahun kemudian, putusan PK Mahkamah Agung memungkasi semua upaya KPK menjerat Lucas. Hakim PK terdiri atas Abdul Latif, Sofyan Sitompul, dan Salman Luthan dalam putusan 7 April lalu mengabulkan semua permintaan Lucas dalam PK: bebas dari tahanan secepatnya, nama baik dipulihkan hingga barang bukti yang dilelang oleh KPK pada Maret lalu dikembalikan.

“Diputus bebasnya narapidana korupsi pada tingkat PK tentu melukai rasa keadilan masyarakat,” kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Firki setelah tahu PK Lucas dikabulkan, Kamis (8/3).

Namun menurut pengacara Lucas, Aldres Napitupulu putusan PK sudah sesuai dan kliennya harus segera dibebaskan dari Lapas Kelas I Tangerang.

"Terkait dengan barang-barang itu kami menunggu dahulu ekstrak vonisnya, putusannya semua. Kami akan bersurat ke KPK agar KPK melaksanakan dahulu salah satu amar putusan, yakni mengeluarkan Lucas dari lapas, kemudian mengenai barang bukti dan lainnya tentunya kami akan minta untuk dikembalikan," kata Aldres, melansir Antara.

Beda Pendapat Hakim

Dalam putusan PK Lucas terdapat beda pendapat (dissenting opinion) oleh satu dari tiga hakim yakni Salman Luthan menilai PK harus ditolak. Perbuatan merintangi penyidikan Eddy Sindoro terbukti dalam fakta persidangan hingga tahap kasasi ditopang bukti rekaman suara Eddy dengan Lucas dan kesaksian penyidik KPK Novel Baswedan.

Pelarian Eddy bermula sejak ditetapkan sebagai tersangka suap panitera PN Jakpus pada 2016. Saat itu Eddy buron dan diduga berada di luar negeri. Pada 29 Agustus 2018, Eddy dilaporkan dideportasi ke Indonesia dari tempat persembunyiannya. Namun, baru tiba di Indonesia, Eddy berhasil lolos lagi ke luar negeri diduga dibantu oleh Lucas.

Sementara Eddy berniat menyerahkan diri ke KPK, Lucas terus mendorong Eddy bersembunyi di Bangkok, Thailand. Eddy akhirnya menyerah ke KPK pada Oktober 2018. Perbuatan Lucas merintangi penyidikan itulah jadi pokok perkara.

“Perbuatan terpidana memenuhi kualifikasi tindak pidana merintangi atau menghalangi penyidikan yang·dilakukan penyidik KPK terhadap Eddy Sundoro dan harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya,” begitu kutipan pendapat Salman Luthan sebagai ketua majelis hakim PK Nomor 78 PK/PID SUS/2021 tanggal 7 April 2021.

Namun menurut Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro dalih Lucas mengajukan PK terkait kekhilafan atau kekeliruan dalam putusan Kasasi MA dapat dibenarkan bahwa tidak cukup bukti merintangi penyidik KPK. Andi mengamini putusan akhir majelis hakim bahwa Lucas tidak bersalah.

Ali Fikri dari KPK berbeda pandangan dari MA bahwa KPK sejak awal meyakini penetapan tersangka hingga sidang kasasi alat bukti sudah kuat untuk memenjarakan Lucas.

“Alat bukti yang kami miliki kuat sehingga sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung pun dakwaan jaksa KPK maupun penerapan hukum atas putusan pengadilan tingkat di bawahnya tetap terbukti menurut hukum secara sah dan meyakinkan,” ujar Ali.

Robohnya Benteng Hukum Terakhir

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana vonis bebas Lucas tidak mengherankan. Sejak awal Mahkamah Agung tidak berniat memenjarakan Lucas. Itu tampak dari vonis kasasi Lucas menjadi hanya 3 tahun penjara.

Putusan PK ini, kata dia, sekaligus menambah catatan kelam lembaga kekuasaan kehakiman saat menyidangkan perkara korupsi. ICW mencatat Mahkamah Agung dalam dua windu terakhir kerap memvonis ringan para koruptor. Dari pemantauan terakhir pada 2020, ICW mendapati rata-rata hukuman koruptor hanya 3 tahun dan 1 bulan penjara.

“Kini, selain Presiden dan DPR yang selalu menjadi biang kerok pelemahan pemberantasan korupsi, pengadilan juga menjalani praktik serupa. Jadi, lengkap sudah seluruh cabang kekuasaan menolak memperkuat agenda pemberantasan korupsi,” kata Kurnia.

Ali Fikri menilai MA seharusnya waspada dan ikut memperkuat pemberantasan korupsi di tengah maraknya PK yang diajukan oleh terpidana korupsi.

“Pemberantasan korupsi butuh komitmen kuat seluruh elemen bangsa, terlebih komitmen dari setiap penegak hukum itu sendiri,” ujar Ali.

Baca juga artikel terkait SUAP LIPPO GROUP atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Alfian Putra Abdi
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino