tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengirimkan surat permintaan cegah untuk bepergian keluar negeri atas nama Lucas terkait penyidikan perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Mahkamah Agung (MA).
"KPK terhitung sejak 8 April 2021 telah mengirimkan surat ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI untuk melakukan pelarangan keluar negeri terhadap satu orang terkait dalam pengembangan penyidikan perkara dugaan korupsi dan TPPU dalam perkara pengurusan perkara di MA 2012-2016," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Senin (19/4/2021) dilansir dari Antara.
Sebelumnya pada 16 April 2021, KPK mengumumkan telah membuka penyidikan baru terkait dugaan pemberian suap, penerimaan gratifikasi serta pencucian uang terkait pengurusan perkara oleh mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro di MA periode 2012-2016.
"Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mendukung proses penyidikan," tambah Ali.
Pencegahan ke luar negeri tersebut, menurut Ali, berlaku selama 6 bulan.
"Pencegahan ke luar negeri ini tentu dalam rangka kepentingan pemeriksaan agar pada saat diperlukan untuk dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan pihak tersebut tetap berada di wilayah Indonesia dan kooperatif hadir memenuhi panggilan penyidik KPK," ujar Ali.
KPK sendiri belum mengumumkan tersangka dalam penyidikan perkara tersebut.
Namun diketahui Eddy Sindoro selaku mantan Presiden Komisaris Lippo Group telah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan pada 6 Maret 2019 karena terbukti menyuap mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution Edy Nasution sebesar Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS (senilai total Rp877 juta).
Tujuan pemberian uang itu adalah agar Edy Nasution mengurus dua perkara yaitu pertama menunda proses pelaksanaan aanmaning (pemanggilan pihak tereksekusi melaksanakan hasil putusan perkara secara sukarela) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dalam perkara PT MTP melawan PT Kwang Yang Motor Co.Ltd (KYMCO) pada 2013-2015 sehingga mendapat imbalah Rp150 juta.
Pada perkara kedua, Edy Nasution mendapat suap 50 ribu dolar AS karena menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam persidangan terungkap bahwa Eddy Sindoro pernah bertemu dengan mantan Sekretaris MA Nurhadi untuk menanyakan kenapa berkas perkara belum dikirimkan dan Nurhadi sempat menelepon Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas perkara PK.
Sedangkan Lucas selaku pengacara Eddy Sindoro awalnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena menghalang-halangi proses penyidikan dalam perkara Eddy Sindoro karena membantu Eddy Sindoro tetap berada di luar negeri dan tidak pulang ke Indonesia agar dapat menghindar dari penyidik KPK.
Lucas menyarankan Eddy Sindoro mencabut paspor Indonesia, agar bebas dapat pergi kemanapun, dan menunggu setelah 12 tahun untuk kadaluarsa perkaranya, karena jika Eddy Sindoro masih berstatus sebagai WNI maka KPK akan tetap dapat mengejarnya.
Putusan majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta pada 20 Maret 2019 menyatakan Lucas terbukti melakukan perbuatan menghalang-halangi penyidikan terhadap Eddy Sindoro sehingga divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Namun Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Lucas sehingga menyatakan Lucas tidak terbukti melakukan "obstruction of juctice" dalam perkara Eddy Sindoro dan telah bebas dari lembaga pemasyarakatan Tangerang pada 9 April 2021.
Dalam putusan PK Lucas terdapat beda pendapat (dissenting opinion) oleh satu dari tiga hakim yakni Salman Luthan menilai PK harus ditolak. Perbuatan merintangi penyidikan Eddy Sindoro terbukti dalam fakta persidangan hingga tahap kasasi ditopang bukti rekaman suara Eddy dengan Lucas dan kesaksian penyidik KPK Novel Baswedan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana vonis bebas Lucas tidak mengherankan. Sejak awal Mahkamah Agung tidak berniat memenjarakan Lucas. Itu tampak dari vonis kasasi Lucas menjadi hanya 3 tahun penjara.
Putusan PK ini, kata dia, sekaligus menambah catatan kelam lembaga kekuasaan kehakiman saat menyidangkan perkara korupsi. ICW mencatat Mahkamah Agung dalam dua windu terakhir kerap memvonis ringan para koruptor. Dari pemantauan terakhir pada 2020, ICW mendapati rata-rata hukuman koruptor hanya 3 tahun dan 1 bulan penjara.