tirto.id - Setya Novanto mengajukan peninjauan kembali atas putusan perkara korupsi megaproyek e-KTP. Sidang PK itu digelar pagi ini, pukul 10.00 WIB di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Betul [menjalani sidang PK]," kata penasihat hukum Novanto, Maqdir Ismail saat dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (28/8/2019).
Dengan pengajuan PK ini, Novanto dipastikan memiliki novum alias bukti baru. Meski begitu Maqdir enggan menjawab apa novum baru yang dimiliki Novanto.
Jalan Berliku KPK Jerat Novanto
Pengajuan PK ini seolah membuka kembali "drama Novanto" dalam kasus e-KTP. KPK butuh waktu lima tahun buat menjerat Novanto sebagai tersangka setelah hampir lima tahun mendalami kasus tersebut. Novanto pun dua kali dijerat KPK sebagai tersangka dalam kasus ini.
Penetapan pertama terjadi setelah KPK memproses eks Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan pejabat pembuat komitmen dalam pengadaan e-KTP, Sugiharto. Namun, Novanto berhasil lolos dari jeratan tersebut lewat jalan praperadilan.
Dalam penetapan tersangka pertama, KPK mendasarkan alat bukti pada temuan dalam persidangan kasus Irman dan Sugiharto. Dalam dakwaan terhadap Irman dan Sugihato, Jaksa KPK menyebut Novanto ikut andil menentukan kelancaran anggaran pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012 senilai total Rp5,95 triliun.
"Kami punya dua alat bukti yang kuat," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Saat penyidikan pertama, Novanto kerap mangkir dari panggilan KPK. Ia bahkan sempat dirawat di Rumah Sakit Premiere Jatinegara saat KPK sedang menyidik kasusnya. Namun pada saat hampir bersamaan, Novanto lewat kuasa hukumnya mengajukan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 September 2017.
Freidrich Yunadi, kuasa hukum Novanto kala itu, mengklaim kliennya mengidap vertigo dan penyakit jantung. Pak Nov, demikian Yunadi menyebut, pun sempat menjalani operasi kateterisasi jantung selama di RS Premier.
Namun, semua penyakit itu seolah hilang begitu hakim praperadilan Cepi Iskandar menyatakan penetapan tersangka mantan Bendahara Umum Partai Golkar itu tidak sah pada 29 September 2017.
Hakim Cepi beralasan penetapan tersangka Novanto tidak sesuai prosedur perundang-undangan. Tiga hari berselang, Novanto melenggang keluar dari rumah sakit.
Tidak Mau Lepaskan Novanto
KPK tidak menyerah. Lembaga antirasuah kembali menyeret Novanto sebagai tersangka korupsi e-KTP dengan menerbitkan sprindik baru pada akhir Oktober 2017 dan diumumkan 10 November 2017. KPK kembali meyakini kalau Novanto bersalah dalam kasus korupsi e-KTP.
Mantan Ketua DPR ini pun kembali "bermanuver" dengan mengajukan praperadilan dan terus menerus mangkir dari pemeriksaan. "Manuver" kali ini pun tak lepas dari "drama".
Saat dikejar penyidik ke sejumlah tempat, Novanto akhirnya terdesak. Ia sempat muncul dalam laporan langsung lewat sambungan telepon di MetroTV. Namun, Novanto--bersama dokter Bimanesh dan Fredrich Yunadi--kemudian merekayasa seolah-olah mengalami kecelakaan dan kudu dirawat intensif di Rumah Sakit Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Namun, penyidik KPK tak mau kembali kehilangan bekas Ketua Umum Golkar itu. Mereka tetap menjemput paksa Novanto, yang diklaim Yunadi kepalanya benjol sebesar bakpao. Penyidik kemudian memindahkan Novanto Novanto dari RS Permata Hijau ke RSCM untuk diperiksa.
Tepat 20 November 2017, Novanto resmi dibawa keluar dari RSCM dan menjalani pemeriksaan perdana di Gedung Merah Putih KPK. Kala itu, Novanto menjalani pemeriksaan sambil duduk di kursi roda.
KPK terus menerus memeriksa Novanto sehingga berkas pemeriksaanya cepat rampung. Langkah ini diambil sebagai antisipasi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali membebaskan Novanto. Dan benar belaka, pembacaan dakwaan bisa dilangsungkan 13 Desember 2017, sehari sebelum putusan praperadilan.
Meski begitu, Novanto sempat kembali bikin sensasi dengan mengulur waktu sidang lantaran menampakkan diri sebagai orang yang sakit saat sidang pertama. Namun setelah diperiksa dokter, Novanto tak mengalami sakit sedikit pun. Sidang dakwaan pun berhasil digelar dan praperadilan menolak gugatan Novanto.
Sidang Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat kemudian berjalan 3 bulan lebih. Majelis hakim akhirnya memvonis Novanto bersalah dalam kasus korupsi e-KTP pada 24 April 2018. Ia dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Hak politik mantan Ketua DPR itu pun dicabut selama lima tahun setelah hukuman selesai. Ia pun dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar AS dikurangi Rp 5 miliar yang sudah disetorkan sebelumnya.
Novanto pun menyatakan tidak banding dalam putusan tersebut. Ia pun resmi dieksekusi dari Rutan KPK ke Lapas Sukamiskin dan meninggalkan rutan, Jumat, 4 Mei 2018. Ia pun berpamitan kepada awak media yang tak henti-hentinya menyorot perjalanan kasusnya.
"Saya sekarang mohon pamit, ya, dari kos-kosan akan menuju ke pesantren," ujar Novanto yang ternyata kerap berulang di tempat tahanan yang barunya itu.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih