tirto.id - Suciwati, istri almarhum aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib, menilai argumen-argumen Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin terkait sulitnya pengusutan kasus-kasus HAM berat hanyalah alasan.
"Saya pikir ini kan alasan yang selalu dicari-cari dari dulu. Saya rasa ini kan alasan yang selalu diulang-ulang," ujar Suciwati kepada reporter Tirto saat ditemui di sela Aksi Kamisan, depan Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Kamis (7/11/2019).
Suciwati pun menilai langkah-langkah yang selama ini diambil Kejaksaan Agung hanyalah cara untuk melepas tanggung jawabnya dalam penegakan hukum dan HAM.
"Dulu ngomongnya kurang bukti, terus dibalikin lagi ke Komnas HAM, terus Komnas HAM bilang sudah oke. Artinya, kalau memang kurang bukti, sampai P21, harusnya kan disampaikan apa yang kurang," jelas Suciwati.
"Tapi intinya kan enggak ada hal yang memang serius untuk ditangani, dan mencari alasan saja untuk menolak penegakan hukum dan HAM dengan cara menarik-ulur. Ini kan sebenarnya permainan tarik ulur karena negara tak mau menyelesaikan," lanjutnya
Kemudian, alasan bahwa kasus pelanggaran HAM berat kurang bukti pun juga dikritik oleh Suciwati. Padahal testimoni para korban dinilainya juga bagian dari bukti.
Oleh karena itu ia Kejaksaan Agung dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat dinilainya tak pernah membuahkan hasil.
"Nilai kejaksaan nol karena sampai sekarang enggak ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang diselesaikan oleh kejaksaan, bahkam kasus Munir pun sampai sekarang enggak dituntaskan oleh Kejaksaan," tegasnya.
Sebelumnya Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan sejumlah hambatan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Ia mengatakan salah satu hambatan itu yakni belum adanya pengadilan HAM ad hoc untuk memutus kasus-kasus tersebut.
"Penyelidikan yang dilakukan oleh komnas HAM sifatnya pro justisia sehingga perlu izin dari ketua pengadilan, dan juga diperiksa serta diputus perkaranya oleh pengadilan ad hoc yang sampai saat ini belum terbentuk," kata Burhanuddin dalam rapat kerja perdana dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Selain itu, Burhanuddin juga berdalih kesulitan memperoleh alat bukti lantaran waktu kejadiannya sudah terlalu lama. Banyak alat bukti maupun saksi yang telah berpindah tempat sehingga menyulitkan pembuktian.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencapai kepastian hukum soal penanganan pelanggaran HAM berat, kata Burhanuddin yakni perlu ditinjau kembali regulasi ketentuan penyelesaian perkara.
"Lalu mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan instrumen HAM secara universal," jelasnya.
Burhanuddin menuturkan ada 15 kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Dari 15 kasus itu, ia mengkalim tiga di antaranya sudah selesai yakni kasus Timor Timur 1999, kasus Tanjung Priuk 1984 dan peristiwa Abepura pada tahun 2000.
Sementara 12 perkara yang belum diselesaikan yaitu tragedi 1965, peristiwa penembakan misterius (Petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa simpang KKA, peristiwa rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun Santet, ninja dan orang gila Banyuwangi 1998.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Irwan Syambudi