Menuju konten utama

Jabatan Ganda Petinggi Danantara Rawan Konflik Kepentingan

Danantara seharusnya dikelola oleh orang profesional, lepas dari kepentingan politik dan individu tertentu.

Jabatan Ganda Petinggi Danantara Rawan Konflik Kepentingan
Presiden Prabowo Subianto (kelima kiri) didampingi Wapres Gibran Rakabuming Raka (ketiga kiri) bersama Presiden ketujuh Joko Widodo (keempat kanan), Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (keempat kiri), Wapres ke-13 Ma'ruf Amin (kedua kanan), Wapres ke-12 Jusuf Kalla (ketiga kanan), Wapres ke-11 Boediono (kedua kiri), Menteri BUMN Erick Thohir (kiri), serta Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Rosan Roeslani (kanan) meluncurkan secara simbolis badan pengelola investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (24/2/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/app/nz

tirto.id - Peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara atau Danantara seharusnya menjadi momentum besar dalam sejarah perekonomian Indonesia. Namun, langkah ini justru memicu lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, terutama soal penempatan Menteri dan Wakil Menteri sebagai direksi Danantara. Sebab, ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran tentang independensi lembaga tersebut, tetapi juga menandakan lemahnya komitmen terhadap prinsip tata kelola yang baik.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menunjuk Menteri BUMN, Erick Thohir, sebagai Ketua Badan Pengawas Danantara. Prabowo juga mempercayai Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, sebagai Chief Executive Officer (CEO), dan Wakil Menteri BUMN, Dony Oskaria, sebagai Chief Operating Officer (COO). Ketiganya secara tidak langsung akan mengemban dua tugas sekaligus atau istilahnya merangkap jabatan.

“Dengan para direksi yang juga menjabat sebagai pejabat negara, muncul pertanyaan mengenai konflik kepentingan dan kurangnya dedikasi penuh terhadap pengelolaan Danantara,” ujar Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dalam pernyataannya kepada Tirto, Selasa (25/2/2025).

Baik Erick Thohir, Rosan Roeslani, dan Juga Donny Oskaria sebaiknya memang tidak menjabat dua jabatan dalam waktu yang bersamaan. Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai jika tetap mengemban dua tugas akan sulit untuk masalah koordinasi dan rawan terjadi benturan kepentingan.

“Menteri investasi menjadi regulator urusan investasi, sedangkan Danantara merupakan operator investasi dari BUMN. Ada potensi benturan konflik kepentingan antara regulator dan operator,” terang Huda kepada Tirto, Selasa (25/2/2025).

Maka, ada baiknya menurut Direktur NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan, untuk orang-orang yang menjabat dan masih merangkap sebagai menteri dan wakil menteri seperti Erick, Rosan dan Doni, segera mundur dan jangan tunda-tunda. Sebab, dari segi kepantasan tak patut regulator merangkap jadi operator.

“Ini hanya terjadi (mungkin) zaman jahiliah,” jelas Herry kepada Tirto, Selasa (25/2/2025).

Jangan sampai, harapan besar terhadap Danantara justru dikerdilkan oleh rangkap-rangkap jabatan seperti itu. Mengingat ke depan, peran Danantara sangat krusial, yaitu mendorong perekonomian nasional dengan menjadi katalisator dalam meningkatkan investasi, sekaligus menjadi penopang perekonomian nasional.

“Kalau tata kelolanya tidak baik, kepercayaan calon mitra akan sulit diperoleh. Akhirnya, Danantara bisa jadi beban baru bagi BUMN,” jelas dia.

Rangkap jabatan ini, juga seolah menunjukkan bahwa Danantara bukanlah entitas yang memiliki struktur profesional yang kuat. Tetapi lebih merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah. Apalagi pemilihan nahkoda Danantara juga tidak mencerminkan pemilihan pejabat yang berdasarkan profesionalitas, tapi lebih ke syarat kepentingan politik dan individu.

Menurut Celios, pemilihan pejabat di Danantara hanya merupakan cerminan koalisi dan Tim Kemenangan Nasional (TKN) Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 silam. Nama-nama seperti Rosan dan Pandu juga sangat erat kaitannya dengan Pemerintahan Jokowi. Bahkan Jokowi sendiri dikabarkan akan menjadi dewan penasihat Danantara.

“Danantara harus dikelola oleh orang profesional, lepas dari kepentingan politik dan individu tertentu,” jelas dia.

Bagaimana Secara Aturan?

Jika dilihat secara aturan, rangkap jabatan menteri dalam perusahaan BUMN atau entitas lain yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan publik memang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Dalam konteks Danantara, yang merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF), kehadiran Erick Thohir, Rosan Roeslani, dan Dony Oskaria sebagai pengurus bisa menjadi isu yang sensitif.

Mengacu pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, disebutkan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha swasta. Selain itu, aturan soal konflik kepentingan juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menekankan bahwa pejabat publik tidak boleh memiliki kepentingan pribadi dalam keputusan yang mereka buat.

“Dari perspektif tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), idealnya seorang menteri atau wakil menteri tidak rangkap jabatan di institusi yang bisa terdampak langsung oleh kebijakan yang mereka buat. Hal ini untuk menjaga independensi, transparansi, dan akuntabilitas kebijakan yang diambil,” ujar Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, kepada Tirto, Selasa (25/2/2025).

Namun sayangnya memang, rangkap jabatan ini tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 mengenai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pasal 3R UU BUMN hanya melarang pengurus dan anggota partai politik menjadi bagian dari Badan Pelaksana Danantara.

“Bukan pengurus dan/atau anggota partai politik,” bunyi poin e Pasal 3R UU BUMN sebagaimana dikutip Tirto.

Selain itu, pasal 3R juga memuat beberapa syarat lain menjadi bagian dari badan pelaksana Danantara. Diantaranya memiliki pengalaman dan/atau keahlian di bidang investasi, ekonomi, keuangan, perbankan, hukum dan/atau manajemen perusahaan; tidak pernah dipidana penjara karena melakukan tindak pidana; tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit; dan tidak dinyatakan sebagai orang perseorangan yang tercela di bidang investasi dan bidang lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Tidak masalah [rangkap jabatan], kita berjalan beriringan," sebut Rosan saat disinggung mengenai rangkap jabatan di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (24/2/2025).

Rosan mencontohkan di Uni Emirat Arab ada menteri yang juga menjabat sebagai kepala badan investasinya. Jadi menurutnya, praktik rangkap jabatan semacam ini bukan pertama kali dilakukan. "Jadi itu adalah suatu terobosan yang baru karena di banyak negara seperti di UAE juga Menteri Investasinya itu juga kepala dari Sovereign Wealth Fund-nya," beber Rosan.

Upaya Konsolidasi Kekuasaan

Kendati tidak diatur di dalam UU BUMN yang baru, rangkap jabatan ini tidak hanya menjadi persoalan hukum dan etika tata kelola, tetapi juga mencerminkan dinamika politik yang lebih luas di Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana hubungan antara elite politik dan ekonomi semakin erat, memperkuat pola patronasi yang sudah mengakar dalam birokrasi pemerintahan.

Dari perspektif politik, lanjut Felia, keputusan ini bisa dibaca sebagai upaya pemerintah untuk mengonsolidasikan kekuasaan dalam mengelola sumber daya strategis. Dengan menempatkan pejabat tinggi dalam struktur SWF, pemerintah memastikan bahwa arah kebijakan investasi tetap dalam kendali elite yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan.

“Ini bukan sekadar soal kompetensi individu, tetapi juga menjaga agar pengambilan keputusan ekonomi tidak lepas dari kepentingan politik yang lebih besar,” tegas dia.

Selain itu, fenomena ini memperlihatkan bagaimana jaringan elite bisnis dan politik terus saling menopang. Alih-alih menyerahkan pengelolaan SWF kepada profesional independen, pemerintah memilih figur yang memiliki posisi strategis dalam pemerintahan. Ini menandakan bahwa akses terhadap kebijakan ekonomi masih sangat bergantung pada kedekatan politik, bukan sekadar pertimbangan teknokratis.

“Hal ini justru membuat adanya bias kepentingan ekonomi dan politik elite yang bisa memengaruhi kinerja pengelolaan SWF dan tujuan yang ingin dicapai,” ujarnya.

Jika mereka tetap ingin berperan dalam Danantara, sebaiknya ada mekanisme mitigasi konflik kepentingan yang jelas. Misalnya dengan mengundurkan diri dari posisi menteri atau wakil menteri, serta menunjuk pengganti yang profesional dan tidak bias kepentingan, apalagi rangkap jabatan.

Perlu dicatat juga, kata Felia, bahwa posisi-posisi kunci di Danantara mendapatkan alokasi dengan nominal tertentu yang tidak sedikit mengingat tanggung jawab dan jumlah masif dana yang dikelola. Jelas hal ini menambah polemik, bukan hanya karena bias kepentingan akibat rangkap jabatan, namun juga beban di anggaran di tengah gaung kencang upaya efisiensi pemerintah untuk menekan anggaran.

Maka dari itu, penting menjamin bahwa pengelolaan SWF dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel tanpa ada potensi intervensi kebijakan yang menguntungkan kepentingan tertentu dan/atau dikendalikan pihak tertentu. Sebab ini akan menjadi bumerang untuk memenuhi tujuan awal didirikan Danantara itu sendiri, yaitu untuk kepentingan publik dan akselerasi pembangunan.

Baca juga artikel terkait HOLDING BUMN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang