tirto.id - Istilah Stockholm syndrome atau sindrom Stockholm kembali merebak seiring dengan dirilisnya serial Netflix Inventing Anna Februari ini.
Serial tersebut merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Anna Delvey yang melakukan penipuan senilai jutaan dolar AS setelah mengaku sebagai ahli waris asal Jerman.
Sejumlah pihak mengkhawatirkan penggambaran sang tokoh utama pada serial pendek tersebut yang seolah didewakan meskipun seorang pelaku kriminal. New York Post dalam rilisnya baru-baru ini bahkan mengkritik bagaimana seorang penipu sekaligus pelaku kriminal disetarakan seperti ikon feminis dalam Inventing Anna.
"Anna Delvey adalah mantan narapidana yang menipu banyak orang untuk mendapatkan banyak uang dengan berbohong. Tidak masalah bahwa dia karismatik dan lucu, atau bahwa korbannya mudah tertipu," tulis Johnny Oleksinski dalam New York Post, "dia (justru) menyakiti kaum wanita dengan menjadi penipu yang tidak menyesali perbuatannya," lanjutnya.
Fenomena ini kemudian dikaitkan dengan istilah sindrom Stockholm, yaitu respons emosional berupa perasaan positif dan bersimpati terhadap pelaku kriminal atau penjahat.
Ini bukan kali pertama Netflix dikecam karena dianggap mengglorifikasi perilaku kriminal. Pada 2020 lalu, sebuah film Polandia yang tayang terbatas untuk pelanggan Netflix Inggris dan Amerika Serikat, 35 DNI, juga memperoleh kritik serupa.
Film tersebut diklaim meromantisasi Stockholm syndrome yang terjadi pada seorang wanita kepada lelaki yang menculiknya.
Apa Itu Stockholm Syndrome?
Melansir Healthline, sindrom Stockholm adalah respons psikologis pada korban kejahatan. Kondisi ini bisa terjadi ketika korban merasa terikat dan bersimpati kepada penculiknya.
Sindrom ini diklaim sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, namun mulai memiliki nama pada 1973 setelah perampokan bank di Stockholm, Swedia. Saat kasus tersebut mencuat, para korban yang disandera selama 6 hari menolak memberikan kesaksian yang melawan penyandera. Bahkan para korban mengumpulkan uang untuk membela para penjahat tersebut.
Istilah sindrom Stockholm umumnya ditunjukkan bagi korban pelaku kejahatan, seperti penculikan atau pelecehan seksual. Alih-alih merasa takut atau marah, sang korban justru mengembangkan perasaan positif terhadap sang penculik.
Sebaliknya, korban bahkan dapat memiliki perasaan negatif terhadap polisi atau orang yang berusaha menolongnya. Hal ini kemudian menyebabkan korban membenci orang-orang yang berusaha membebaskan mereka dari situasi berbahaya.
Situasi yang Memicu Stockholm Syndrome
Belum ada yang yakin mengapa sindrom Stockholm dapat terjadi. Namun, ada pendapat bahwa sindrom tersebut terjadi akibat mekanisme koping atau cara korban bertahan dan menangani trauma dari situasi yang mengerikan.
Melansir dari WebMD ada beberapa situasi yang dapat meningkatkan risiko mengembangkan sindrom Stockholm, yaitu:
- Korban berada dalam situasi yang penuh emosi dalam jangka waktu lama.
- Korban berada di ruang yang sama dengan penyandera dalam kondisi buruk, contohnya tidak cukup makanan atau ruangan yang tidak nyaman.
- Korban bergantung pada penyandera untuk kebutuhan dasar.
- Ancaman terhadap nyawa korban tidak jadi dilakukan, misalnya pelaku melakukan eksekusi palsu.
- Korban sandera belum diberikan perilaku yang kasar atau tidak manusiawi.