tirto.id - Di pengujung masa kerjanya, DPR periode 2014-2019 mengusulkan perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi UU KPK). Semua fraksi kompak mendukung revisi UU KPK. DPR kini tinggal menanti respons Presiden Joko Widodo.
Sementara Menteri Hukum dan HAM (Mnekumham) Yasonna Laoly mengaku sudah diminta oleh Jokowi untuk mempelajari isi draf revisi UU KPK. "Saya diberikan draf revisi Undang-undang KPK untuk saya pelajari. Itu saja dulu," kata Yasonna, Senin (9/9/2019).
Sebaliknya, Ketua KPK Agus Rahardjo sampai dua kali menyampaikan pernyataan resmi, yakni pada 5 dan 9 September, guna menolak revisi UU KPK. Di pernyataan terakhinya, ia mengingatkan kehadiran KPK merupakan amanat dua TAP MPR dan dua UU yang lahir di awal reformasi.
“Apakah berlebihan jika kita menyebut bahwa jika ada upaya melumpuhkan KPK adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi? Tentu saja, tidak,” kata Agus. “Upaya melemahkan, melumpuhkan atau mematikan KPK adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi.”
Di sisi lain, DPR semakin keras mengkritik KPK. Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu bahkan bilang, “Cara berpikir teman-teman KPK sudah anarko. Anarko itu anti-sistem. Anarkis itu perbuatannya," kata salah satu pengusul revisi UU KPK itu dalam rapat bersama Pansel Capim KPK di Gedung DPR, hari ini.
Usulan Revisi UU KPK pada Era Jokowi
Di era pemerintahan Jokowi, DPR tercatat 4 kali mengusulkan revisi UU KPK. Selain pada tahun ini, Pansus Hak Angket KPK pernah memasukkan revisi UU itu dalam rekomendasinya pada 2017.
Jauh sebelumnya, atas usul DPR, revisi UU KPK sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2015. Namun, Jokowi dan pimpinan DPR saat itu bersepakat menunda revisi tersebut.
Revisi UU KPK kemudian masuk Prolegnas Prioritas lagi pada 2016 atas usul DPR. Memasuki awal 2016, Baleg sudah menggelar pleno untuk membahas harmonisasi dan pemantapan konsepsi RUU KPK. Hanya fraksi Gerindra yang menolak hasil pleno itu dibawa ke sidang paripurna.
Usulan revisi UU KPK pada 2016 juga batal diparipurnakan sebab Jokowi dan para pimpinan DPR bersepakat lagi menunda pembahasannya dalam batas waktu yang tidak ditentukan.
Kemiripan Draf Revisi UU KPK 2015, 2016 dan 2019
Selama era pemerintahan Jokowi, setidaknya terdapat tiga draf naskah revisi UU KPK usulan DPR yang pernah muncul. Ketiga draf tersebut sama-sama menuai kritik karena dinilai memuat banyak ketentuan yang bisa melumpuhkan KPK.
Misalnya, pada Oktober 2015, tercatat muncul draf revisi UU KPK yang mendapat penolakan dari Komisi dan pegiat antikorupsi. KPK mencatat ada 17 hal krusial yang bermasalah di dalam draf itu.
Adapun 17 hal itu adalah: Umur KPK dibatasi 12 tahun; KPK tidak punya wewenang penuntutan; KPK kehilangan wewenang monitoring; KPK hanya menangani korupsi dengan kerugian negara di atas Rp50 miliar; KPK difokuskan pencegahan korupsi; KPK tak bisa membuat perwakilan daerah.
Selain itu, poin lainnya: KPK harus meminta izin ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan; KPK dapat menghentikan penyidikan kasus korupsi; KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai secara mandiri; KPK wajib lapor kejaksaan dan Polri saat menangani korupsi; KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri.
Enam hal bermasalah sisanya: Pemberhentian penyelidik dan penyidik KPK harus berdasar usulan kejaksaan dan Polri; Pimpinan KPK minimal usia 50 tahun; KPK tidak dapat menggelar pendidikan antikorupsi; Penyitaan harus seizin ketua pengadilan negeri; serta Pembentukan Dewan Eksekutif dan Dewan Pengawas KPK.
Pada Februari 2016, juga muncul draf revisi UU KPK yang hanya sedikit berbeda dari sebelumnya. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 10 poin bermasalah di dalam draf itu.
Sepuluh poin itu ialah: Pembentukan Dewan Pengawas KPK oleh presiden; Penyadapan harus atas izin Dewan Pengawas; Penyadapan hanya bisa dilakukan saat penyidikan; Dewan Pengawas punya wewenang yang membikin dualisme kepemimpinan di KPK; KPK tidak bisa mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri.
Lima poin lainnya: Penyidikan hanya dilakukan penyidik KPK dari Kejaksaan dan Polri; Prosedur pemeriksaan mengacu pada KUHAP (mempersulit pemeriksaan pejabat); Penyitaan harus dapat izin Dewan Pengawas; KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi; Tidak ada ketentuan peralihan (penyadapan tak bisa dilakukan sebelum Dewan Pengawas terbentuk).
Sedangkan di draf revisi UU KPK yang diusulkan pada 2019, sesuai dengan catatan KPK, ada 10 poin bermasalah yang bisa melumpuhkan Komisi Antikorupsi. Rinciannya secara ringkas adalah:
- KPK tidak disebut sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, menjadi lembaga Pemerintah Pusat, dan pegawainya berstatus ASN/PNS;
- Penyadapan bisa dilakukan atas izin Dewan Pengawas dan waktunya dibatasi 3 bulan;
- Dewan Pengawas dipilih DPR dan menyampaikan laporannya ke DPR setiap tahunnya. Dewan Pengawas berwenang memberi izin untuk penyadapan, penggeledahan dan penyitaan;
- Penyelidik KPK cuma berasal dari Polri. Adapun penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS (tak ada lagi penyidik dan penyelidik independen);
- KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan perkara korupsi;
- Kasus yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat tidak lagi menjadi salah satu kriteria perkara yang ditangani KPK;
- Pengambilalihan perkara oleh KPK hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan. KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK;
- KPK tidak berwenang lagi melakukan pelarangan bepergian ke luar negeri, menghentikan transaksi keuangan terkait korupsi, meminta keterangan perbankan, serta meminta bantuan Polri dan Interpol;
- KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan;
- Wewenang KPK mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas sehingga lembaga ini hanya bisa melakukan koordinasi dan supervisi terkait LHKPN.
Jika melihat rincian di atas, ada sejumlah ketentuan bermasalah yang konsisten muncul dalam tiga draf revisi UU KPK. Misalnya, pembentukan dewan pengawas dan kewenangannya, pembatasan kewenangan KPK dalam penyadapan, KPK tidak bisa merekrut penyidik dan penyelidik sendiri dan penggerusan independensi KPK.
Menurut Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman, aturan terkait rekrutmen penyidik dan penyelidik, prosedur penuntutan serta dewan pengawas dalam draf revisi versi 2019 jelas mengancam independensi KPK sekaligus kerja-kerja Komisi dalam memberantas korupsi.
"Jika draf ini lolos menjadi undang-undang, independensi KPK akan runtuh dan KPK menjadi 100 persen bergantung pada institusi lain," ujar dia.
Makanya, Zaenur curiga DPR memang ingin mempersulit KPK, khususnya dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Apalagi, kata dia, usulan revisi dipaksakan pada akhir masa kerja DPR periode saat ini, meskipun sebelumnya telah sering ditolak banyak pihak.
“Jika Presiden Jokowi memiliki komitmen di pemberantasan korupsi, presiden harus menolak revisi UU KPK,” kata Zaenur.
Editor: Agung DH