Menuju konten utama

Masyarakat Sipil Ramai-ramai Tolak Revisi UU KPK Usulan DPR

Organisasi masyarakat sipil melihat upaya DPR merevisi UU KPK sebagai upaya melemahkan KPK. Mereka meminta agar Presiden menolak pelemahan KPK dan meminta DPR menunda pembahasan revisi UU KPK.

Masyarakat Sipil Ramai-ramai Tolak Revisi UU KPK Usulan DPR
Pekerja membersihkan kaca Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (5/8). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengeluarkan kritik terkait rencana DPR untuk merevisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Organisasi sipil ini beranggapan, poin-poin yang ingin direvisi DPR justru melemahkan kinerja KPK.

Masyarakat sipil pun menuntut Presiden Jokowi bersikap tegas atas upaya pelemahan KPK ini.

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas memandang sikap DPR yang berusaha merevisi UU KPK penuh masalah. PUSaKO pun khawatir potensi revisi UU KPK sebagai upaya melemahkan KPK.

"Rencana DPR untuk melakukan revisi terhadap UU KPK belum sampai ke tangan Presiden. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas berpandangan bahwa terdapat permasalahan dan berpotensi untuk melemahkan KPK," kata peneliti PUSaKO Hemi Lavour Febrinandez dalam keterangan tertulis yang diterima tirto, Jumat (6/9/2019).

PUSaKO melihat ada tiga persoalan dalam draf Revisi UU KPK. Pertama, DPR tidak taat dengan ketentuan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan. Pada pasal 45 ayat (1) UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa pembahasan sebuah RUU harus berdasarkan program legislasi nasional (prolegnas).

Padahal RUU KPK tidak masuk dalam Prolegnas tahun 2019 sehingga telah terjadi pelanggaran formil dalam pembahasan perubahan kedua UU KPK yang dilakukan oleh DPR.

Kemudian, PUSaKO melihat substansi RUU KPK bertentangan dengan konsep independensi dan tugas pokok KPK. Sebagai contoh, Pasal 7 ayat 2 RUU KPK mewajibkan KPK untuk membuat laporan pertanggungjawaban satu kali dalam satu tahun kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Padahal, KPK dibangun sebagai lembaga yang mandiri dan independen dan terlepas dari cabang kekuasaan lainnya. Kemudian isu mengenai penyadapan harus seizin Dewan Pengawas KPK padahal keberadaan Dewan Pengawas KPK tidak diatur di undang-undang.

Di sisi lain, DPR dianggap tidak fokus dalam bekerja. Hingga saat ini, DPR memiliki 55 prolegnas, tetapi RUU KPK tidak masuk prioritas pembahasan. Hemi mengingatkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memang memperbolehkan DPR atau presiden mengajukan RUU di luar prolegnas.

Akan tetapi, pengajuan diperbolehkan untuk mengatasi keadaan luar biasa, konflik, atau bencana; serta keadaan lain yang memastikan adanya urgensi nasional atau RUU yang dapat disetujui bersama oleh kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

"Pembahasan tentang Revisi UU KPK oleh DPR tidak memenuhi unsur yang diatur dalam pasal tersebut. Sehingga selain tidak fokus dengan mengabaikan pembahasan UU prioritas prolegnas, DPR juga melanggar UU dalam pembentukan dan revisi terhadap sebuah peraturan perundang-undangan," kata Hemi.

Oleh sebab itu, PUSaKO menolak rencana Revisi UU KPK. Mereka mendesak agar Presiden Jokowi menerbitkan surat presiden untuk menghentikan pembahasan Revisi UU KPK.

Di sisi lain, MaPPI FHUI juga mendesak agar revisi UU KPK ditunda. Menurut peneliti MaPPI FHUI Dio Ashar, DPR justru menambah berat kerja DPR. Sebab, DPR masih punya PR penyelesaian RUU Prolegnas, seleksi 10 calon pimpinan KPK, hingga masalah RKUHP dan Rancangan UU Tipikor yang belum selesai. MaPPI memandang, DPR harus menunda revisi UU KPK demi selesianya pekerjaan rumah yang menumpuk.

"DPR agar lebih lebih memprioritaskan untuk membahas secara mendalam kegiatan yang memiliki urgensi yang lebih besar, seperti pembahasan RKUHP, dan mengedepankan proses seleksi calon pimpinan KPK," kata Dio dalam keterangan tertulis, Jumat.

Sementara itu, YLBHI melihat aksi DPR sudah masuk kategori pelemahan KPK. Pelemahan tidak hanya lewat Revisi UU KPK dari sisi penanganan perkara seperti penyidikan, penyadapan, hingga operasi tangkap tangan yang ditentukan oleh Dewan Pengawas KPK yang berada di luar KPK serta mencari pemimpin KPK yang melemahkan pemberantasan korupsi.

"Pelemahan itu terindikasi berjalan melalui dua jalur secara bersamaan yaitu memilih calon pimpinan KPK yang visi-misinya memperlemah pemberantasan korupsi dan revisi UU KPK. Secara diam-diam revisi UU KPK dilakukan meskipun tidak masuk dalam daftar prioritas legislasi dan rencana pembahasan revisi UU KPK ini tidak pernah terdengar sebelumnya," kata Kadiv Advokasi YLBHI M Isnur dalam keterangan tertulis, Kamis (5/9/2019) malam.

YLBHI meminta presiden tidak menerbitkan surat presiden agar revisi terhadap UU KPK bertendensi melemahkan KPK. Kemudian meminta DPR selaku wakil rakyat untuk menghentikan aksi pelemahan KPK serta mengajak publik bersuara dan meminta DPR dan Presiden Jokowi menolak pelemahan KPK.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Andrian Pratama Taher