Menuju konten utama

Ironi Indonesia sebagai Negara Maritim, tapi Masih Impor Ikan

Ironi bagi Indonesia karena sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tapi masih impor ikan dari negara lain. Mengapa?

Ironi Indonesia sebagai Negara Maritim, tapi Masih Impor Ikan
pedagang smenunggu pembeli di tempat pelelangan ikan (tpi) pantai depok, bantul, di yogyakarta, selasa (12/6). sejumlah pedagang menyatakan harga ikan laut naik seperti ikan tuna dari rp30 ribu menjadi rp35 ribu, cumi-cumi rp38 ribu menjadi rp45 ribu, dan udang rp45 ribu menjadi rp50 ribu per kilogram, karena dipicu kurangnya pasokan ikan dari nelayan yang belum melaut karena gelombang tinggi. antara foto/hendra nurdiyansyah/aww/16.

tirto.id - Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia atau dijuluki negara maritim, Indonesia belum mampu berdaya saing di sektor perikanannya sendiri. Dengan luas wilayah laut Indonesia mencapai 5,8 juta kilometer persegi, total potensi laut yang baru dimanfaatkan Indonesia hanya sekitar 59 persen. Ini membuat Tanah Air belum mampu swasembada ikan dan masih bergantung pada impor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia melakukan impor ikan dari sejumlah senilai 130,03 juta dolar AS dengan volume sebesar 56,80 juta kilogram (kg) sepanjang periode Januari-Agustus 2024. Ikan tersebut didatangkan dari berbagai negara mulai dari Norwegia, Cina, Rusia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

“Nilai impor ikan Januari-Agustus 2024 sebesar 130,039 juta dolar AS,” ujar Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers, dikutip Rabu (18/9/2024).

Khusus pada periode Agustus 2024, terjadi peningkatan impor ikan dibanding sebelumnya, Juli 2024. Tercatat impor ikan pada Agustus sebesar 19,23 juta dolar AS dengan volume 9,7 ribu ton. Sedangkan bulan sebelumnya tercatat 15,63 juta dolar AS dengan berat 6,8 ribu ton.

Dari sisi volume, impor ikan makarel dengan kode HS 03035420 (Scomber japonicus) tercatat sebanyak 3,76 juta kg. Kemudian, impor ikan beku (Gadus morhua, Gadus ogac, Gadus macrocephalus) dengan kode HS 03036300 sebanyak 759 ribu kg.

Ikan lainnya yang diimpor dalam jumlah besar adalah ikan trout (Salmo trutta, Oncorhynchus mykiss, Oncorhynchus clarki, Oncorhynchus aguabonita, Oncorhynchus gilae, Oncorhyncus apache dan Oncorhynchus chrysogaster) dengan kode HS 03021100 sebanyak 322 ribu kg. Ikan tuna skipjack dengan HS 03034300 sebanyak 1,25 juta kg.

Selanjutnya, Indonesia juga impor ikan salem Atlantik (Salmo salar) dan salem Danube (Hucho hucho) dengan 03021400 sebanyak 175 ribu kg. Serta ikan jenis lainnya sebanyak 3,42 juta.

Sebagai negara maritim, tentu impor ikan menjadi sebuah ironi. Ini juga tidak sejalan dengan cita-cita dan agenda Pemerintahan Joko Widodo pada periode pertama yang menginginkan Indonesia menjadi poros maritim dunia.

Dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Jokowi mencanangkan lima pilar utama yang salah satunya adalah menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut. Ini dilakukan melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.

Alih-alih menjadi poros maritim dunia, impor ikan ini justru dinilai masih menjadi isu yang krusial. Karena menurut Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef, Dhenny Yuartha, terjadi kontradiksi di negeri sendiri yang mana sebagai negara penghasil ikan, namun impornya masih cukup besar.

“Impor ikan ini memang masih menjadi isu yang pelik,” ujar Dhenny kepada Tirto, Rabu (18/9/2024).

Menurut Dhenny, peningkatan impor ikan bahkan masih cukup signifikan. Pada 2015, impor ikan ada di angka 130 juta kg dengan nilai 195 juta dolar AS. Angka ini naik sekitar 145 persen menjadi 479 juta dolar AS dengan volume 218 juta kg pada 2023.

Impor Sulit Dihindarkan

Peneliti Institute For Demagraphic and Poverty Studies (IDEAS), Tira Mutiara, mengatakan, fenomena impor memang sulit untuk dihindari, termasuk pada komoditas ikan. Bahkan bukan hanya ikan sebenarnya, Indonesia masih bergantung impor pada sejumlah bahan pangan, seperti beras, kedelai, gula, bawang putih, dan daging sapi.

“Indonesia merupakan negara maritim, tetapi masih melakukan impor ikan, sama halnya dengan Indonesia adalah negara agraris, tetapi masih melakukan impor beras,” jelas dia kepada Tirto.

Pemerintah sendiri, kata Tira, sempat mengatakan bahwa impor ikan masih dilakukan karena memang jenis ikan yang diimpor tidak ada di Indonesia dan tidak bisa digantikan. Namun, IDEAS melihat tata kelola perikanan yang belum sepenuhnya baik, juga menjadi pemicu masih tingginya impor ikan.

“Potensi sumber daya alam (SDA) laut masih belum dimanfaatkan secara maksimal,” ujar dia.

Dari sisi masyarakat, kata Tira, meningkatnya kebutuhan ikan yang tidak ada di Indonesia ini mungkin terjadi karena semakin meningkatnya variasi menu dari ikan impor tersebut. Misalnya kebutuhan ikan salmon-trout yang dibutuhkan sejumlah hotel, restoran, catering, dan pasar modern, untuk olahan sushi dan sashimi.

“Jika yang dibutuhkan masyarakat adalah kandungan gizi ikannya, kami melihat Indonesia sebenarnya memiliki ikan lokal yang kandungan gizinya hampir sama bahkan setara dengan jenis ikan yang saat ini diimpor, misalnya ikan kembung, kakap, patin, dan nila,” ujar dia.

Produktivitas Nelayan Kecil & Permintaan Segmented

Di sisi lain, salah satu persoalan Indonesia masih melakukan impor disebabkan lebih karena persoalan logistik dan penyimpanan. Di samping kebutuhan ikan di kota besar seperti Jakarta dan Pulau Jawa dengan jenis permintaan yang spesifik dan segmented, tidak dapat dipenuhi dari hasil pesisir di sekitarnya.

Supply ikan yang segmented tadi biasanya dipenuhi dari kawasan pesisir yang jauh dari lokasi permintaannya. Persoalannya, biaya logistik antar pulau di Indonesia tidak murah. Sehingga skala ekonomi pasokan ikan antara pemasok dan pasar tidak tercapai,” jelas Dhenny.

Sebagai contoh saja, kata Dhenny, produksi ikan cukup berlimpah dan beraneka ragam di kawasan Sulawesi dan Indonesia Timur lainnya. Namun permintaan-permintaan justru banyak berasal dari kawasan Pulau Jawa.

Sedangkan di sisi lain, perusahaan logistik dan pengiriman tidak hanya mempertimbangkan muatan dari pulau di kawasan timur ke Jawa, namun juga muatan dari arah sebaliknya untuk dapat menekan biaya angkutan. Seringkali, pasokan barang dari arah sebaliknya tidak banyak dan bahkan kosong.

“Aliran perdagangan ikan lebih murah antar negara dibandingkan dengan antar pulau. Akibatnya, permintaan yang segmenged tadi lebih mudah didapatkan dari negara lain. Saya melihatnya karena ini,” jelas dia.

Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menambahkan secara geografis dan sumber daya semestinya Indonesia bisa swasembada ikan. Hanya Indonesia masih dihadapkan dengan persoalan rendahnya produktivitas nelayan.

Eliza menuturkan, salah satu penyebab rendahnya produktivitas nelayan karena mayoritas nelayan skala kecil, dan mereka terjerat kemiskinan. Kondisi ini menyebabkan rendahnya penerapan teknologi, kecilnya ukuran kapal yang digunakan sehingga melautnya tidak bisa jauh-jauh, sehingga tidak maksimal hasil tangkapannya.

“Karena kecilnya ukuran kapal ini menyebabkan zona ekonomi eksklusif dan beberapa wilayah pengelolaan perikanan belum teroptimalkan. Karena kecil jadi ada kepadatan di wilayah tertentu saja terutama di sekitar Jawa, Timur Indonesia belum teroptimalkan. Ini yang menyebabkan kesenjangan,” jelas Eliza kepada Tirto.

Untuk mengatasi kesenjangan itu, maka menurut Eliza, pemerintah perlu meningkatkan produksi melalui modernisasi alat tangkap, pengembangan budidaya, dan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Di sektor produksi juga perlu adanya peningkatan kualitas hasil tangkapan atau budidaya, perbaikan fasilitas pelabuhan dan sarana budidaya, peningkatan konektivitas antar pulau juga perlu jadi perhatian.

Sementara untuk meningkatkan produksi ikan, yang dibutuhkan nelayan adalah infrastruktur pendukung yang memadai. Ini mulai dari alat tangkap yang berkelanjutan, kapal besar yang dapat digunakan kelompok nelayan, pemberdayaan nelayan untuk peningkatan kapasitas SDM-nya, infrastruktur cold storage, mengurangi aktivitas ekonomi yang merusak ekosistem laut, serta konsistensi kebijakan pemerintah untuk terus mendukung keberlanjutan lingkungan.

“Karena saat ini akibat perubahan iklim, nelayan sudah terdampak. Jumlah tangkapan ikan menurun,” kata dia.

Eliza khawatir, jika kerentanan nelayan ini tidak segera dibenahi, maka kesejahteraan nelayan akan terus menurun, produktivitasnya rendah dan pada akhirnya Indonesia sulit mencapai swasembada ikan. Karena kunci bisa swasembada ikan ini adalah nelayannya sejahtera dan didukung dengan kebijakan yang memadai dan berpihak kepada nelayan.

Di sisi lain, IDEAS juga mendorong pemerintah melakukan pengendalian impor ikan agar tidak menambah potensi penurunan permintaan terhadap ikan lokal dan sebagai upaya mengurangi defisit neraca perdagangan.

Beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk menurunkan impor, kata Tira, adalah dengan melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat mengenai jenis-jenis ikan yang kandungan gizinya tidak kalah dengan ikan impor, serta meningkatkan produksi ikan lokal yang bisa menjadi substitusi dengan memperbaiki kualitasnya.

Selain itu, impor ikan mesti dibarengi dengan memaksimalkan ekspor ikan yang menjadi andalan selama ini seperti udang, tuna, kerapu, kakap, tenggiri, tilapia, cumi-cumi, gurita cuttlefish, daging kepiting, ranjungan, kepiting, rumput laut, teripang, dan lobster untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan.

Tidak Sembarang Impor

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Budi Sulistyo, mengatakan karena Indonesia negara maritim, justru impor berlaku. Terutama untuk ikan yang tidak memiliki substitusi lokal dan dibutuhkan oleh industri pengolahan spesifik, serta untuk keperluan hotel, restoran dan katering (horeka).

"Pelaksanaan impor ikan mempertimbangkan ketersediaan pasokan dan kebutuhan domestik yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi lokal," kata Budi kepada Tirto, Rabu.

Budi menjelaskan, kebijakan impor sendiri telah diatur secara ketat oleh pemerintah melalui peraturan seperti PP Nomor 9 Tahun 2018, Perpres Nomor 61 Tahun 2024 tentang Neraca Komoditas, dan Permen KP Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyusunan Neraca Komoditas Perikanan sebagaimana diubah melalui Permen KP Nomor 14 Tahun 2024.

Peraturan di atas dalam rangka pengendalian impor dan sebagai bentuk keberpihakan sekaligus proteksi terhadap ikan lokal.

Sementara mekanisme pelaksanaan impor terintegrasi dengan Indonesia National Single Window (INSW), yang memudahkan pengawasan dan transparansi dalam proses impor. ⁠Pengawasan terhadap impor perikanan pun berlapis dilakukan oleh beberapa pihak, seperti Ditjen Bea dan Cukai serta Ditjen PSDKP.

"Ini dilakukan untuk memastikan bahwa impor digunakan sesuai dengan peruntukannya, misalnya untuk kebutuhan pengolahan atau konsumsi," jelas dia.

Keputusan impor, lanjut Budi, juga dilakukan melalui koordinasi antar-lembaga terkait yang dipimpin oleh Kemenko Bidang Perekonomian. Peninjauan dilakukan secara rutin untuk menyesuaikan pasokan dan kebutuhan dalam negeri.

Lebih lanjut, Budi mengatakan, secara produknya sampai dengan Agustus 2024, beberapa produk impor, seperti makarel mengalami penurunan (- 60,82 persen), rajungan-kepiting jenis tertentu (-26,18 persen), cod (-17,04 persen), dan tepung ikan (-24,48 persen) apabila dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Berdasarkan data BPS dari 502 HSCODE 2022 terkait produk perikanan, sepanjang Januari hingga Agustus 2024, total impor perikanan mencapai 315,51 juta dolar AS, sementara ekspor jauh lebih besar, yakni 3,73 miliar dolar AS. Dengan kata lain, Indonesia masih mencatatkan surplus perdagangan sebesar 3,41 miliar dolar AS

"Ini menunjukkan bahwa meskipun ada impor, Indonesia tetap merupakan eksportir netto di sektor perikanan," katanya.

Dari sisi ekspor terbesar adalah udang (1,03 miliar dolar AS) dan tuna-cakalang-tongkol (651,59 juta dolar AS). Dengan surplus neraca perdagangan tersebut, impor perikanan yang dilakukan lebih untuk memenuhi kebutuhan spesifik industri dan pasar yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi domestik.

Sementara jenis ikan yang diimpor meliputi salmon-trout (47,27 juta dolar AS), makarel (38,33 juta dolar AS), rajungan jenis tertentu (38,13 juta dolar AS), dan cod (23,31 juta dolar AS).

Untuk salmon-trout, misalnya, tidak memiliki substitusi lokal dan dibutuhkan oleh industri pengolahan tujuan ekspor dan kebutuhan horeka. Penurunan impor makarel yang cukup signifikan sebesar -60,82 persen juga menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap beberapa jenis ikan impor bisa menurun.

"Di tahun 2024, Pemerintah tidak memberikan alokasi tambahan untuk impor ikan makarel (salem/ scomber japonicus) mengingat pasokan dari produksi dalam negeri mencukupi," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait IKAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz