Menuju konten utama

Ironi Poros Maritim di Balik Terbakarnya Museum Bahari

Kebakaran Museum Bahari bukan kali ini saja terjadi, padahal Poros Maritim ditetapkan sebagai visi Indonesia oleh Presiden Jokowi.

Ironi Poros Maritim di Balik Terbakarnya Museum Bahari
Petugas memadamkan api yang menghanguskan ruang koleksi museum saat terjadi peristiwa kebakaran di Museum Bahari, Jakarta, Selasa (16/1/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Selasa (16/1) pagi, Museum Bahari yang terletak di Penjaringan, Jakarta Utara, terbakar. Kobaran si jago merah menyeruak dari dalam dan menembus genting berwarna cokelat yang menutupi gedung berkelir putih tersebut. Seorang petugas pemadam kebakaran mengabarkan api menyala lumayan besar dan menjalar ke sebagian besar badan bangunan.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan langsung menuju lokasi. Ia kemudian meminta pengelola museum untuk mengevakuasi koleksi yang masih bisa diselamatkan. Anies juga menginstruksikan agar bangunan museum -- yang juga merupakan cagar budaya DKI -- selekasnya dipugar. Bangunan tersebut, aku Anies, sudah diasuransikan oleh Pemprov DKI Jakarta.

"Tempat ini tidak boleh dimasuki siapa pun karena kita harus mengamankan semua koleksi yang ada di sini," ujarnya di lokasi.

Museum Bahari Jakarta merupakan satu dari tiga museum di Indonesia yang mengoleksi khusus artefak-artefak kelautan. Dua museum lainnya berada di Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Koleksi Museum Bahari terdiri dari menara pemantau aktivitas pelabuhan di era Batavia (menara syahbandar), replika dan miniatur kapal layar, dan koleksi alat bantu navigasi pelayaran. Selain itu, di lantai dua terdapat diorama yang menceritakan legenda rakyat yang melekat dengan wilayah kelautan Indonesia dan diorama tentang para saudagar yang datang ke Indonesia melalui jalur laut.

Museum Bahari Yogyakarta menampilkan koleksi yang berhubungan dengan peralatan dan perlengkapan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Sementara Museum Bahari Ende menampilkan koleksi berbagai jenis biota laut yang ada di kawasan Nusa Tenggara.

Didirikan VOC dan Terabaikan

Pada mulanya gedung Museum Bahari Jakarta dikenal dengan nama Westzijdsche Pakhuizen, yang berarti "gudang-gudang bagian barat sungai". Gedung itu dibangun beberapa tahap oleh VOC. Tahap pertama pada 1718, kemudian tahap kedua, ketiga, dan keempat berlangsung pada 1773 hingga 1774. VOC membangun Westzijdsche Pakhuizen sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah.

Dian Trihayati dalam artikel "Dari Westzijdsche Pakhuizen menjadi Museum Bahari", menyebutkan keberadaan menara syahbandar, Pelabuhan Sunda Kalapa, Galangan Kapal VOC, dan Pasar Ikan yang berada di wilayah sekitar Museum Bahari merupakan bukti adanya aktivitas kebaharian di Jakarta pada masa lalu.

Sedangkan menurut sejarawan Andi Achdian, Museum Bahari adalah satu penanda bahwa Jakarta sejak dulu telah menjadi bagian dalam jaringan maritim global yang menghubungkan kepulauan Nusantara, Eropa, dan Asia.

"Dari situ dapat dilihat modernitas awal di Hindia Belanda. Ia sangat Asia namun juga memiliki unsur Eropa,” ujar Andi kepada Tirto.

Menurut Andi, nilai penting Museum Bahari terletak pada gedungnya yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Persoalannya adalah secara umum pemeliharaan cagar budaya di Indonesia masih buruk. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya belum terimplementasi dengan baik.

"Misalnya, ada bayak bangunan cagar budaya yang terletak di lingkungan yang padat penduduk. Selain itu, ada banyak tempat maritim lainnya yang bisa dieksplor lebih lanjut [namun belum dilakukan]," kata kepala penyunting Jurnal Masyarakat Sejarawan Indonesia ini.

Guru Besar Sejarah UI Susanto Zuhdi, melalui beberapa kali kunjungannya ke Museum Bahari, juga menyimpulkan hal serupa. Bahwa gedung tersebut tidak terawat. Terabaikan.

"Selagi museum ini ada, [sebelum terbakar] pun sebenarnya sudah terabaikan," ujar Susanto. "Kita harus punya rencana yang besar meskipun untuk membangun museum itu susah, tidak mudah, dan tidak murah. Harusnya kita memiliki museum maritim yang megah."

Infografik Current Issue museum Bahari

Ironi Sejarah dan Maritim

Terbakarnya Museum Bahari Jakarta adalah ironi. Sebab dalam lintasan sejarah, para pemimpin bangsa kerap menekankan pentingnya aspek maritim dan segala hal yang terkait dengannya. Hal itu idealnya membuat museum seperti ini diperhatikan betul.

Lihat saja penunjukan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Sukarno pada 1966. Menurut Sukarno, sebagaimana dikenang Ali Sadikin, penunjukan dirinya sebagai gubernur tidak terlepas dari status Ali sebagai mantan prajurit Korps Komando Operasi Angkatan Laut (KKO).

"Sebaiknya saya jadikan Gubernur daripada Jakarta satu orang yang tahu urusan laut, tahu urusan pelabuhan," ujar Sukarno dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).

Museum Bahari kemudian diresmikan Bang Ali, 7 Juli 1977, atau sepuluh tahun setelah dilantik.

Pun demikian dengan Presiden Jokowi. Pada 22 Juli 2014, misalnya, Jokowi menyampaikan pidato kemenangan sebagai presiden di Pelabuhan Sunda Kelapa.

"Kita sudah lama memunggungi laut," kata Jokowi, tanda bahwa ia akan menyeriusi pembangunan yang menekankan aspek kemaritiman.

Apa yang terjadi di Museum Bahari bertolak belakang dengan semua visi itu. Pengakuan Kepala UPT Museum Bahari Husnizon Nizar memperjelas semua. Ia mengatakan bahwa kasus serupa pernah terjadi "beberapa kali". Meski masih dugaan, ia mengatakan titik api berasal dari korsleting listrik di sisi utara gedung C, bisa jadi dari lantai dasar atau lantai satu.

"Makanya untuk anggaran tahun ini kita anggarkan penggantian instalasi listrik di Museum Bahari," kata Sonni, sapaan Husnizon.

Di sisi lain, Anies Baswedan mengaku bahwa sehari sebelum kejadian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) DKI baru saja menggelar rapat membahas antisipasi serta mitigasi kebakaran di seluruh museum dan cagar budaya yang ada di Jakarta. Pembahasan itu mengenai peralatan yang ada di museum seperti CCTV, alat pemadam kebakaran, telepon internal, instalasi listrik, sampai pengawasan aktivitas pengunjung dan petugas kebersihan oleh pengelola museum.

Tapi kini semua sudah percuma. Nasi sudah menjadi bubur.

Baca juga artikel terkait KEBAKARAN atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Rio Apinino