tirto.id - Kami sekeluarga menonton siaran langsung peringatan Detik-detik Proklamasi, yang disiarkan secara langsung dari Istana Merdeka, 17 Agustus lalu. Saya selalu memberi tahu anak-anak saya bahwa hanya orang-orang terhormat yang diundang ke istana untuk acara penting ini. Mereka terhormat karena menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, atau karena suatu prestasi. Termasuk pula di dalamnya adalah anak-anak anggota Paskibraka yang bertugas mengibarkan bendera. Bersama menonton acara ini saya berharap anak-anak termotivasi untuk bisa menjadi warga terhormat yang bisa diundang ke istana, suatu saat kelak.
Kami sekeluarga mendengarkan dengan hikmat saat teks proklamasi dibacakan, oleh Ketua DPD saat itu, Irman Gusman. Saya sendiri merasa bungah melihat sosok Irman Gusman itu. Saya membayangkan diri saya berdiri pada posisi itu. Alangkah bangganya Emak, serta keluarga besar kami kalau saya bisa berdiri seperti itu. Saya sampaikan itu kepada anak-anak, bahwa kami semua akan sangat bangga bila ada di antara mereka sampai diberi amanah membaca teks proklamasi.
Tapi sebulan kemudian saya harus meralat kebanggaan itu. “Ayah, itu kan yang kemarin baca teks proklamasi,” komentar anak saya yang nomor 2, siswa kelas 6 SD, saat melihat Irman Gusman memakai rompi oranye di layar TV. “Dia kenapa, Ayah?”
“Dia ditangkap, karena korupsi.”
“Korupsi itu apa?”
“Korupsi itu kasarnya mencuri. Mengambil sesuatu (uang) yang bukan hak dia.”
“Mengambilnya dari mana?”
“Heeemmm, ada berbagai cara yang dilakukan oleh koruptor, orang yang korupsi itu. Misalnya, ia memimpin suatu kantor, dan karena itu ia harus mengelola sejumlah uang milik negara. Uang itu tidak dipakai untuk keperluan kantor, tapi dia ambil untuk dia sendiri.”
“Oh, jadi orang ini mengambil uang dari kantornya?”
“Kalau ini lain lagi. Dia menerima uang dari orang lain, dengan imbalan nanti orang itu akan dia bantu untuk mendapatkan izin, untuk perusahaan dia.”
“Kan waktu itu Ayah bilang orang ini terhormat. Kok dia korupsi?”
“Ya, itulah sayangnya. Dia seharusnya menjadi orang terhormat. Tapi sekarang tidak lagi. Dia akan diberhentikan dari jabatannya, dan akan masuk penjara.”
Ini bukan pertama kali saya mendapat pertanyaan dari anak saya soal korupsi. Waktu Ketua MK Akil Mochtar ditangkap, anak tertua saya yang waktu itu juga masih kelas 6 bertanya heran. “Dia kan hakim, kok korupsi? Hakim kan tugasnya menghukum orang jahat. Kalau hakimnya jahat, siapa yang akan menghukum orang jahat?” tanyanya kritis.
Ini semua bukan tontonan yang baik untuk anak-anak kita. Tapi kita tidak bisa menghalangi mereka dari melihat semua ini. Tentu saja kita juga tidak boleh membiarkan mereka melihat, tanpa memberikan penjelasan. Bila tidak dijelaskan, anak-anak akan bingung soal posisi dan peran lembaga-lembaga negara, serta pejabat-pejabat yang menduduki jabatan itu. Mereka juga akan bingung soal nilai-nilai moral.
Saya dengan jelas dan gamblang menjelaskan pada anak-anak saya tentang apa itu korupsi. Saya jelaskan beberapa jenis atau mekanisme yang ditempuh pejabat negara yang korup. Juga saya jelaskan mekanisme politik sampai seseorang menduduki suatu jabatan. Kemudian saya jelaskan akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh tindak korupsi itu. Saya tegaskan bahwa korupsi itu buruk, lebih buruk dari pencurian biasa. Ia merusak sistem pemerintahan, juga merusak keluarga pelakunya. Anak-anak pelaku akan kehilangan orang tua, yang dengan paksa akan dimasukkan ke penjara oleh negara.
Penjelasan ini memang punya resiko. Anak-anak saya jadi sedikit kehilangan kebanggaan, bahkan mungkin rasa hormat kepada pejabat negara. Mereka mungkin akan berpikir, orang yang sekarang keren dan terhormat menjadi pejabat negara, siapa tahu sebenarnya hanya seorang koruptor. Kita sebagai orang tua tidak bisa menunjukkan dengan pasti, mana di antara pejabat itu yang bersih, dan mana yang korup.
Apa boleh buat, anak-anak kita memang harus tumbuh dengan pengalaman itu. Saya memilih untuk memberi tahu mereka kenyataan itu. Bagi saya ini sangat penting. Anak-anak harus tahu keadaan yang sebenarnya. Mereka harus diberi tahu bahwa keadaan ini buruk. Mereka juga harus diajari untuk menghindarkan diri mereka sejauh-jauhnya dari praktek-praktek kotor ini. Baik kalau kelak mereka bekerja sebagai aparat negara, maupun sebagai warga masyarakat.
Perjuangan kita memberantas korupsi masih akan sangat panjang. Mungkin situasi ini masih akan berlanjut hingga ke generasi anak-anak kita, 20-30 tahun lagi. Maka sangat penting bagi kita untuk menjelaskan soal ini secara tuntas.
Banyak orang menganggap pendidikan anti korupsi cukup dengan mendidik anak-anak soal kejujuran. Tapi di tengah kebiasaan korup yang demikian luas, saya khawatir konsep kejujuran menjadi terlalu abstrak, bahkan klise. Maka saya memilih untuk menjelaskannya dalam format yang lebih kongkrit, dengan mengambil contoh dari hal-hal yang disaksikan anak-anak dalam kehidupan nyata mereka.
Ini baru pada tingkat rumah tangga. Bagaimana dengan sekolah? Entahlah. Saya tidak pernah mendengar anak saya bercerita soal pelajaran anti korupsi di sekolah. Besar kemungkinan sekolah tidak melakukannya. Pasalnya, banyak orang beranggapan bahwa korupsi bisa dihindari dengan agama. Maka sekolah-sekolah biasanya berusaha membekali anak dengan materi pelajaran agama sebanyak-banyaknya. Bagi saya semua ini sungguh sayang. Mereka mengingkari kenyataan bahwa pelaku korupsi itu banyak yang merupakan orang-orang religius, pemimpin lembaga keagamaan, bahkan menteri agama.
Bagi saya pendidikan anti korupsi memang tidak cukup dengan hanya mengajarkan nilai moral dan agama. Pengetahuan tentang seluk beluk korupsi lebih penting, sehingga anak-anak bisa mengindentifikasinya, kemudian menyikapinya dengan tepat.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.