tirto.id - Polisi menetapkan JW, sopir bus Transjakarta sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan lalu lintas. Pasalnya, kendaraan yang ia setir menabrak mobil Mitsubishi Pajero B 88 BRA di Jalan Sultan Iskandar Muda, Selasa (10/3/2020).
Mobil itu diduga ditumpangi istri dari Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar. JW dijerat Pasal 310 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Tersangka tidak ditahan lantaran ancaman hukuman di bawah lima tahun yaitu dipidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 juta. Namun ia harus lapor diri hingga rampung pemberkasan perkara di kepolisian.
Peristiwa itu bermula ketika TransJakarta melaju dari arah utara menuju selatan, sementara Pajero sedang berbelok dari selatan menuju timur. Tabrakan tak terhindari.
Kaca depan bus TransJakarta pecah, bumper depan ringsek, sedangkan Pajero alami kerusakan seperti as roda depan patah, pintu depan dan belakang samping kiri ringsek, serta spion kiri patah.
Tak hanya itu, berdasar foto yang beredar, mobil Pajero yang dijadikan kendaraan pribadi (pelat polisi kelir hitam) itu juga dipasangi strobo atau rotator.
Hingga kini belum diketahui apakah rekaman kamera pengawas di lokasi kecelakaan di Simpang Silkar, Jalan Sultan Iskandar Muda, Jakarta Selatan; dan kamera pengawas sopir TransJakarta telah dianalisis polisi. Sementara, penggunaan lampu isyarat disertai sirine itu diatur dalam Pasal 134 dan Pasal 135 UU LLAJ.
Pengacara Publik Alghiffari Aqsa berpendapat, pihak Transjakarta dan kepolisian harus membuka rekaman kamera pengawas kasus tabrakan yang melibatkan istri jenderal itu.
"Supaya publik tahu bahwa proses hukum terhadap sopir yang menabrak dilakukan secara profesional dan proporsional," ucap dia ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/3/2020).
Terdapat berbagai pertanyaan dari publik, kata Alghiffari, apakah betul sopir TransJakarta yang bersalah atau proses hukum dilakukan karena korban adalah istri dari jenderal polisi.
“Apakah kendaran pribadi yang ditumpangi sudah berbelok sesuai aturan, terlebih tabrakan terjadi di persimpangan/belokan jalur Transjakarta," kata dia menambahkan.
Pasal 112 UU LLAJ memerintahkan agar setiap orang yang berbelok memberikan tanda isyarat terlebih dahulu. Kemudian pada Pasal 113, jika pada belokan tidak ada alat pemberi isyarat lalu lintas, maka ada kendaran yang justru harus diberi prioritas berdasarkan arah datang kendaraan.
"Hal tersebut dapat diketahui jika CCTV Transjakarta dan jalan dibuka kepada publik," kata Alghiffari.
Kemudian terdapat pula dugaan penggunaan lampu khusus (strobo), yang berdasarkan Pasal 59 juncto Pasal 134 UU LLAJ hanya dapat digunakan oleh mobil petugas kepolisian dan kendaraan yang memiliki hak utama (pemadam kebakaran, ambulans, kendaraan pimpinan lembaga negara, tamu negara) bukan mobil pribadi. Alghiffari menegaskan penggunaan strobo di luar ketentuan justru sebuah pelanggaran dan ada sanksi pidana tersendiri.
"Setiap pelanggaran harus diusut oleh kepolisian, siapapun pihaknya. Terlebih jika strobo disalahgunakan agar mendapat prioritas," ujar dia.
Alghiffari tentu turut prihatin kepada setiap korban kecelakaan, tapi Alghiffari menyatakan jangan sampai juga ada korban unfair trial dalam kasus itu. "Keterbukaan dari TransJakarta dan kepolisian dapat menghindari unfair trial.”
Pengamat Kebijakan Transportasi dari Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Azas Tigor Nainggolan berujar rekaman kamera pengawas sebagai bukti dan data elektronik, maka harus dibuka untuk pengusutan perkara.
"Harusnya itu juga digunakan pihak TransJakarta untuk mengevaluasi kinerja (petugasnya) di lapangan. Menurut saya, selama ini belum digunakan, buktinya terus saja menabrak," ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto.
Polisi, lanjut Tigor, mesti tegas menindak terduga pelaku tabrakan dan TransJakarta agar muncul jera.
Sementara, pihak TransJakarta juga harus tegas terhadap sopir yang menabrak, apalagi jika korban tewas. Belum lagi ada rekaman kamera pengawas yang dipasang di bus tersebut, itu mestinya bisa diusut berdasarkan fakta lapangan.
“Pengawasan kinerja operator dan sopir TransJakarta juga harus benar. Jika terjadi kecelakaan, maka pengawasan tidak benar. Seolah-olah TransJakarta jadi pencabut nyawa di jalan raya," jelas Tigor.
Tak hanya sopir TransJakarta yang diusut ihwal pidana, tapi jajaran manajemennya juga bisa dimintai pertanggungjawaban. Pasal 359 KUHP menyebutkan “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
"Secara hukum kecelakaan itu bukan hanya tanggung jawab sopir, tapi juga tanggung jawab pengusaha, operatornya. Manajemen lalai karena tidak mengawasi, jangan hanya beban di sopir," kata Tigor.
Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta, Tory Damantoro, berpendapat lain. Menurut dia, alibi sopir masuk akal.
"Kalau pun lupa pasti cuma sedikit, karena akan buru-buru direm. Dalam hal ini, meski tertabrak tidak separah itu, karena jenis kecelakaannya adalah depan-samping," ujar dia ketika dihubungi Tirto, Jumat (13/3/2020).
Masih tentang jenis tabrakan depan-samping, lanjut Tory, harus dilihat kendaraan mana yang sedang jalan lurus dan mana yang berbelok.
Kerusakan pada sisi penumpang mobil biasanya merupakan pertanda bahwa pengemudi lain salah, terutama jika mobil lain menunjukkan kerusakan pada bagian depan. Misalnya, pengemudi mungkin keluar dari jalan tanpa melihat atau menyalakan lampu merah.
Totok mengatakan kerusakan pada kendaraan juga dapat memberikan bukti tabrakan ujung belakang. Ini bisa dilihat jika bagian belakang satu mobil rusak bersama dengan bagian depan yang lain. Dalam kebanyakan kasus, seorang pengemudi yang menabrak mobil lain dari belakang bersalah.
Demikian juga, kata dia, dalam kecelakaan belok kiri, jika ada kerusakan di ujung depan satu mobil dan di sisi kanan depan yang lain, maka mobil yang membuat belokan kiri biasanya dianggap salah.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz